Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kabar tertangkapnya David Nusa Widjaya sungguh terasa bagai setitik air di padang pasir. Begitu berharga dan dibutuhkan, namun sekaligus jauh dari memadai. Sebab, setidaknya, masih belasan lagi penilap triliunan rupiah dana talangan Bank Indonesia (BLBI) yang bebas berkeliaran kendati telah divonis pengadilan. Kebanyakan dikabarkan tinggal di Singapura dan hidup dengan gaya wah.
Ini jelas mengganggu rasa keadilan orang ramai. Bagaimana mungkin mereka yang telah terbukti mencuri uang negara sebesar itu tak menjalankan hukumannya? Bagaimana mungkin mereka dapat melenggang melewati para petugas imigrasi di bandar udara? Juga, mengapa aparat keamanan Singapura yang begitu trengginas menangkap para teroris membiarkan mereka berkeliaran di jalan-jalan?
Jawaban atas berbagai pertanyaan ini, mudah-mudahan, akan terungkap dari hasil pemeriksaan David Nusa Widjaya. Setidaknya, kenyataan bahwa bekas pemilik Bank Servitia ini memiliki dua paspor menunjukkan indikasi patgulipat dalam pengurusannya. Bahwa namanya dikabarkan tak masuk daftar cegah tangkal Direktorat Jenderal Imigrasi sejak menjalani proses pemeriksaan jelas menunjukkan terjadinya kelalaian oleh aparat penegak hukum.
Kelalaian ini mungkin saja karena para petugas tidak kompeten atau—ini lebih banyak dipercaya orang—disengaja karena ada yang menerima imbalan haram. Bahwa ketegasan pejabat Indonesia sering layu di hadapan uang sogok memang sudah menjadi keyakinan banyak orang.
Kini, dengan tertangkapnya David di San Francisco, keyakinan itu mungkin goyang sedikit. Ternyata tak semua aparat bisa dibeli dan, yang lebih penting, pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memang serius melaksanakan janji memerangi korupsi. Selain itu, sukses yang layak diacungkan jempol ini juga membuktikan bahwa menangkap para pencuri uang negara yang kabur ke luar negeri tak selalu memerlukan perjanjian ekstradisi. Melalui jaringan Interpol, polisi dapat mendeteksi kehadiran para buron di luar negeri dan meminta tuan rumah menangkap dan mendeportasi para pencuri itu ke tangan hamba wet yang ditugaskan menjemput mereka.
Sukses di Amerika Serikat ini tentu dapat diulangi di negara lain, termasuk di Singapura, negeri yang dikabarkan merupakan tujuan populer para penggondol dana BLBI. Pemerintah wajib menyampaikan pemberitahuan resmi ke pihak berwenang di negara tempat para penjahat itu bersembunyi bahwa paspor para pelaku kriminal itu telah dicabut dan melalui fasilitas Interpol meminta agar mereka segera ditangkap lalu dideportasi ke tangan petugas Polri yang menjemput.
Selain itu, pemerintah Indonesia juga harus meminta bantuan aparat setempat agar memblokir semua aset para penjahat ekonomi itu, terutama rekening mereka di bank. Hal ini sepatutnya tak sulit dilakukan jika memanfaatkan jalur kerja sama internasional dalam memberantas kegiatan pencucian uang haram. Negeri yang mengandalkan sektor keuangan internasional seperti Singapura, misalnya, tentu berkepentingan mempunyai reputasi tinggi dalam upaya pembasmian kegiatan pencucian uang hasil korupsi.
Tim Pemburu Koruptor yang telah dibentuk pemerintah pada 2004 sepatutnya memanfaatkan jurus-jurus ini dalam memburu 12 target mereka setelah David tertangkap. Jangan lupa, keberhasilan tim ini dalam menjalankan misinya sangat ditunggu-tunggu masyarakat, terutama sebagai penghibur lara setelah menderita akibat krisis moneter tahun 1997 dulu. Pemenjaraan para pencuri uang rakyat itu tak hanya akan membantu memulihkan rasa keadilan masyarakat, tetapi juga—melalui penyitaan aset—dapat membantu meringankan beban utang negara yang selama ini terasa begitu berat, antara lain karena harus menanggung biaya BLBI.
David kini telah ditangkap dan dibui. Aset penanggung jawab dana BLBI senilai Rp 1,3 triliun itu pun sedang diburu untuk disita. Majalah ini berharap keberhasilan memenjarakan David ini bukan yang terakhir, tapi malah awal dari serentetan keberhasilan yang lain. Satu telah terjaring, belasan yang lain mesti terus diburu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo