Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SULIT sekali melepaskan kesan lamban dalam proses pengungkapan pembunuh Munir. Hampir tiga tahun berlalu sejak aktivis hak asasi manusia itu dihabisi, upaya penyidikan tampaknya berputar di situ-situ saja, maju-mundur, ibarat kepiting di lubang batu. Kadang seolah muncul titik terang: penemuan bukti baru, kehadiran saksi baru, dan seterusnya. Tapi ujung-ujungnya hanyalah antiklimaks—atau bahkan dagelan yang tidak gecul.
”Titik terang” terakhir muncul dua pekan lalu, ketika Kapolri Jenderal Sutanto menyatakan akan mengumumkan tersangka baru dalam kasus pembunuhan yang tampaknya ribet betul itu. Banyak orang berharap, terutama para pencinta perubahan yang masih punya sekubit harapan akan penegakan hukum di negeri ini.
Hasilnya tak kalah jumud dari yang kemarin-kemarin. Kedua tersangka baru itu adalah pejabat Garuda yang dulu juga sudah pernah diperiksa sebagai saksi. Tuduhan terhadap kedua ”tersangka baru” itu pun tak jauh-jauh dari dakwaan yang pada akhirnya menyebabkan Pollycarpus Budihari Priyanto, ”aktor pengganti” dalam kasus pembunuhan ini, melenggang bebas dari bui setelah ditahan tak lebih dari dua tahun—yakni pemalsuan dokumen.
Jika mata rantai terakhir ”konspirasi” pembunuhan terhadap Munir adalah kedua ”tersangka baru” itu, lantas apa yang bisa disimpulkan? Dalam setiap kasus pembunuhan, pertanyaan dasar yang selalu dikembangkan para penyidik adalah: siapa yang paling berkepentingan dengan lenyapnya korban? Pertanyaan ini berlaku untuk jenis pembunuhan apa saja, apalagi jenis pembunuhan politik, seperti yang terjadi atas mantan koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) itu.
Artinya, jika penyidikan berhenti pada kedua pejabat Garuda yang baru dijadikan tersangka, pertanyaan berikutnya adalah: keuntungan apa yang diperoleh Garuda dengan kematian Munir? Sampai di sini, pengusutan sepertinya kembali membentur tembok beton. Tetapi, jika diikuti dengan cermat dan seksama, polisi tampaknya punya strategi yang tidak asal-asalan dalam mengungkap kasus ini. Ada konsep pengembangan penyidikan yang membuat kita layak berbesar hati dan mengapresiasi langkah para hamba wet itu.
Perkara pemalsuan dokumen tampaknya hanyalah ”pintu masuk” untuk mencapai sasaran akhir. Pekan lalu, misalnya, polisi sudah menyerahkan bukti baru ke Kejaksaan Agung, yang akan digunakan dalam peninjauan kembali keputusan Mahkamah Agung yang menghukum Pollycarpus semata-mata karena penggunaan dokumen palsu. Dua pejabat Garuda yang dijadikan tersangka baru juga sudah diterungku.
Di antara bukti baru yang diajukan polisi adalah hasil pemeriksaan laborato-rium forensik di Amerika Serikat. Dari kecepatan bekerja racun arsenik di tubuh manusia, menurut pemeriksaan laboratorium itu, polisi menyimpulkan bahwa Munir diracun di Bandar Udara Changi, Singapura, ketika pesawat Garuda yang ditumpanginya melakukan stop over. Jadi, bukan di atas pesawat yang sedang terbang dari Jakarta ke Singapura—seperti yang semula diungkapkan. Perubahan tempat kejadian perkara ini tentu saja secara otomatis mengubah banyak praduga yang tidak saja menyangkut setting (lokasi), tetapi juga dramatis personae (para pelaku).
Pembunuhan terhadap Munir bukanlah tindakan kriminal biasa. Kejahatan ini bisa dianggap sebagai teror sistematis untuk menindas nyali para aktivis yang peduli pada kemaslahatan masyarakatnya—atau untuk tujuan politik yang lebih besar. Upaya keji itu juga bisa dipandang sebagai bagian dari gerakan yang bertujuan menimpaskan modal sosial bangsa ini, dan dengan demikian sama sekali tidak menaruh rasa hormat terhadap penegakan peradaban.
Itulah sebabnya para aktor di belakang pembunuhan Munir harus dibekuk dan diajukan ke depan hukum. Langkah ini merupakan bagian dari upaya bangsa untuk membersihkan diri dari paradigma lama yang masih memberikan peluang pembenaran terhadap tindakan kekejaman, seperti pelenyapan warga yang dianggap bermasalah dari kaca mata sekelompok orang yang merasa berhak melakukan ”pembersihan”.
Dari langkah-langkah terakhir yang diayunkan polisi, tersirat keinginan kuat untuk kali ini sampai pada sasaran akhir yang sesungguhnya. Penetapan dua tersangka baru, dan pengajuan barang bukti baru, harus dipandang sebagai langkah maju polisi untuk membuka simpul misteri pembunuhan yang sudah berlalu hampir tiga tahun ini. Bukan pekerjaan gampang, memang.
Hanya dengan memahami kehati-hatian dan kecermatan yang harus ditempuh polisi, kesan lamban mengungkap kasus pembunuhan Munir ini bisa dihapus dari anggapan. Setelah itu, kita tetap menaruh harapan dan kepercayaan bahwa polisi akan terus melangkah maju menangkap (para) pembunuh Munir. Bukan sekadar mereka yang beroperasi di lapangan, melainkan juga para perancang dan penyusun grand design di belakang meja dan di kamar-kamar rahasia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo