Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Sudah Saatnya Penyidikan BLBI Dituntaskan

Kendati BPPN telah dibubarkan dua tahun silam, kasus yang ditinggalkannya masih banyak yang gelap. Perlu dibuat tim khusus untuk membuatnya terang.

13 Februari 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Syafruddin Temenggung dijadikan tersangka oleh Kejaksaan Tinggi Jakarta, Jumat dua pekan lalu. Mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasio-nal (BPPN) ini diduga terlibat korupsi dalam penjual-an saham dan hak tagih utang PT Pabrik Gula Rajawali III di Gorontalo pada Desember 2003. Aset dengan nilai buku lebih dari Rp 600 miliar itu dijual BPPN dengan harga Rp 95 miliar. Aparat kejaksaan menduga terjadi patgulipat dalam aksi obral itu. Bila sangkaan itu terbukti, ancaman hukumannya tak main-main: bisa pidana mati.

Dugaan itu dibantah keras oleh Syafruddin Temenggung. Ini tentu hal biasa saja, ada aparat hukum yang merasa telah memiliki cukup bukti untuk menyidik seseorang, dan ada bantahan pihak tersangka. Soal siapa yang benar dalam silang-sengkarut ini, biarlah para hakim di pengadilan nanti yang memutuskan. Yang penting semua prosedur hukum berlangsung menurut aturan yang berlaku. Pesan Presiden Yu-dhoyono kepada para penegak hukum sudah jelas dan tegas: jangan sampai seseorang ditangkap pagi hari dengan dugaan korupsi, tapi malamnya diajak negosiasi untuk menghentikan penyidikan jika mendapat imbalan yang memadai.

Pesan Presiden tentu bukan tanpa alasan. Sudah menjadi keyakinan banyak orang bahwa pada masa lalu upaya pembongkaran korupsi kerap berhenti karena ada transaksi bawah tangan. Hal seperti ini, jika memang terjadi, yang tak boleh terulang. Karena itu proses penyidikan BPPN tak boleh hanya berhenti pada pemeriksaan Syafruddin Temenggung, tapi merembet ke semua pihak yang memiliki indikasi kuat telah mencuri harta negara.

Indikasi ini bisa digali dari banyak pihak yang pada masa silam mungkin tak berani bicara karena menyangkut kepentingan orang kuat yang berkuasa saat itu. Keterang-an juga dapat digali dari para pengutang dana BLBI yang kini mulai mengalir kembali ke Tanah Air dan berjanji melunasi kewajibannya. Mudah-mudahan, dengan ketekunan dan niat baik, jejaring hukum dapat ditebar lebih luas untuk menjerat semua orang yang terlibat dalam "perampok-an" aset negara di BPPN. Lebih baik lagi bila proses ini dapat menghasilkan pengembalian aset yang telah dicuri, kalaupun tak mungkin sepenuhnya.

Soalnya, kegiatan ini menyangkut transaksi yang b-esar jumlahnya. BPPN memang didirikan antara lain untuk me-ngais aset dari para debitor yang telah menerima kucuran dana BLBI senilai Rp 600 triliun yang kemudian raib. Sebagian aset penerima BLBI itu kemudian dilelang, dan umum-nya laku dengan harga jauh di bawah nilai buku. Banyak yang curiga pelelangan itu penuh patgulipat antara pejabat BPPN dan pemilik lama, mungkin juga melibatkan pihak ketiga yang berkaitan dengan penguasa, yang berujung pada kembalinya aset mereka dengan harga murah.

Kecurigaan itu perlu dituntaskan, kendati BPPN telah resmi dibubarkan dua tahun silam. Apalagi pemerintah Pre-siden Yudhoyono kini sedang gencar-gencarnya meme-nuhi janji kampanye memberantas korupsi tanpa pandang bulu. Maka inilah saatnya masyarakat yang mempunyai informasi dan bukti tindakan korupsi pada masa lalu menyerahkannya ke pihak berwenang.

Laporan masyarakat ini tentu perlu dicek dan digali le-bih dalam, sehingga dapat dipilah mana yang dapat diteruskan menjadi penyidikan dan mana yang masih perlu penyelidik-an tambahan atau malah harus dibuang ke keranjang sampah. Soalnya belum tentu semua penjualan aset dengan harga jauh lebih murah ketimbang nilai bukunya terjadi karena ada kegiatan korupsi. Bahkan kadang kala justru nilai buku itu yang sebenarnya tidak tepat karena merupa-kan hasil manipulasi debitor nakal pada masa silam.

Aparat penegak hukum memang harus cermat dan teliti dalam mengendus berbagai dugaan penyimpangan di BPPN ini. Sebab, persoalannya rumit dan membutuhkan keahlian khusus di bidang keuangan. Walhasil lebih baik mengkonsentrasikan kekuatan pada kasus-kasus yang buktinya kuat ketimbang menebar jaring terlalu luas tanpa dukungan bukti yang memadai. Memburu koruptor kelas kakap pasti butuh waktu, ketekunan dan kesabaran tinggi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus