Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof Haedar Nashir datang ke kantor Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) di Jakarta. Ia langsung disambut KH Yahya Cholil Staquf. Pertemuan pada pekan lalu itu masih dalam kaitan dengan silaturahmi di antara kedua petinggi ormas Islam terbesar tersebut. Silaturahmi yang juga ramai dilakukan para petinggi partai dengan mengunjungi sesama petinggi partai lainnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ada yang membedakan kunjungan-kunjungan ini. Para elite partai membicarakan adanya kemungkinan berkoalisi menghadapi pemilihan presiden pada tahun depan. Meski mereka bagian dari anggota koalisi yang berbeda, siapa tahu ada yang tertarik untuk keluar dari koalisi awal. Tujuannya memperkuat koalisi atau ada tujuan lain yang lebih dahsyat, yakni ada partai yang keluar dari koalisi awal. Jika hal itu terjadi, ada koalisi yang bubar dan tak bisa mencalonkan presiden pada 2024. Ya, namanya usaha, ada teknik menjegal. Adapun pertemuan pimpinan Muhammadiyah dan PBNU itu juga menyinggung soal pemilu serta pilpres. Bedanya, bukan membagi kekuasaan, apalagi upaya jegal-menjegal capres. Tujuannya mulia, mewujudkan pemilu dan pilpres bermartabat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jika negara ibarat kendaraan, partai politik adalah gas sebagai sarana memacu kendaraan itu melesat. Semuanya bergantung pada “petugas partai”, apakah pedal gas itu terus diinjak. Bisa saja kendaraan melaju tanpa kendali, menabrak tebing, atau bahkan masuk jurang. Tergantung sorak-sorai para penumpang yang fanatik. Namun ada rem dalam setiap kendaraan. Dan itu yang dijaga para ulama dan pemimpin ormas keagamaan, bagaimana kendaraan bisa berjalan dengan aman. Cuma masalahnya, para ulama dan tokoh agama itu sangat mengendalikan diri untuk tidak terlalu ribut. Bahkan nyaris diam. Situasi saat ini tidak memberikan tempat bagi para pemuka agama untuk ikut cawe-cawe. Alih-alih mereka bertindak keras untuk menjaga rem, menasihati sopir supaya berhati-hati saja bisa riskan. Bisa disalahpahami dianggap tidak netral, lalu dibuli, bahkan digoblok-goblokkan di media sosial.
Dalam situasi penguasaan kendaraan tidak seimbang antara gas dan rem ini, menjadi menarik bahwa ormas keagamaan besar, seperti Muhammadiyah dan NU, bertemu serta bersatu mengupayakan bagaimana pemilu itu berlangsung dengan martabat mulia. Walau formula untuk itu belum disampaikan, pernyataan Ketua Umum PBNU Gus Yahya bahwa siapa pun calon presiden dan calon wakil presiden jangan membawa-bawa nama NU seharusnya menjadi perhatian untuk diikuti. Muhammadiyah sudah pasti juga sepakat, jangan membawa-bawa agama untuk hajatan yang sesungguhnya hanya berebut kekuasaan. Jika kita melirik agama yang umatnya minoritas di negeri ini, sebut saja contohnya Hindu, sudah lama ada imbauan agar para pendeta Hindu tidak aktif dalam politik praktis. Bahkan tidak ikut memilih, pertanda tak ada keberpihakan dalam masalah politik. Namun, setelah pemimpin terpilih, haruslah didukung sebagai perwujudan taat kepada guru wisesa, yakni pemerintah.
Pemilu yang bermartabat merupakan pemilu yang punya harga diri sebagai hajatan demokrasi dan juga bagi pelaku hajatan itu. Bukan pemilu yang saling merendahkan hakikat kemanusiaan, pemilu yang dipenuhi caci maki kepada lawan politik, pemilu yang saling membongkar aib tokoh lawannya. Semua orang punya aib, tapi tidak harus aib kecil yang selama ini tak bermasalah dibesar-besarkan. Mari kita beradu gagasan, bukan mempertentangkan hal remeh-temeh soal identitas asal-usul, apalagi soal mengambil minuman memakai tangan kiri. Prof Haedar Nashir menyebutkan kepemimpinan moral diharapkan bisa menjadikan Pemilu 2024 lebih bermartabat. Kepemimpinan moral itu yang melahirkan arah dan visi kebangsaan yang jelas sehingga kontestasi politik tak hanya berupa upaya mencapai kekuasaan semata. Saatnya para pemuka agama mulai bicara soal moral untuk mengimbangi suara politikus yang semakin keruh. Untuk pemilu yang bermartabat.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo