Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kristianus Jimy Pratama
Magister Hukum Bisnis dan Kenegaraan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Presiden Joko Widodo mengumumkan rencana lanjutan pengelolaan sumber daya alam yang dikenal sebagai kebijakan "hilirisasi" atau penghiliran industri pada 21 Desember lalu. Kebijakan ini pada prinsipnya bertujuan untuk memberikan nilai tambah pada komoditas industri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Salah satu contoh kebijakan itu adalah penghiliran nikel melalui pelarangan ekspor bijih nikel, yang berlaku sejak 1 Januari 2020. Namun pelarangan tersebut kemudian digugat oleh Uni Eropa di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dalam kasus DS592: Measures Relating to Raw Materials. Panel pada badan penyelesaian sengketa (DSB) mengabulkan gugatan Uni Eropa dengan alasan kebijakan Indonesia melanggar ketentuan Pasal XI:1 The General Agreement of Tariffs and Trade (GATT 1947) dan GATT 1949 mengenai larangan restriksi kuantitatif, yang telah diratifikasi Indonesia. Kebijakan pelarangan bijih nikel oleh Indonesia juga tidak termasuk dalam pengecualian yang diatur dalam Pasal XX GATT. Pemerintah Indonesia telah mengajukan banding terhadap keputusan DSB tersebut.
Yang menjadi permasalahan adalah dalil yang digunakan oleh Indonesia bahwa hak Indonesia sebagai negara berdaulat dalam mengelola hasil sumber daya alamnya tanpa harus disertai dengan intervensi dari negara lain. Pola tersebut kembali coba diterapkan pemerintah Indonesia melalui rencana pelarangan ekspor bijih bauksit serta mendorong pengolahan dan pemurnian bauksit di dalam negeri pada Juni 2023. Maka, pada prinsipnya, terdapat pengulangan model kebijakan perdagangan internasional oleh pemerintah.
Mengenai hal ini, terdapat dua hal yang perlu ditekankan. Hal pertama adalah dalam kasus DS593: Certain Measures Concerning Palm Oil and Oil Palm Crop-Based Biofuels, pemerintah Indonesia juga mengajukan gugatan pelarangan minyak kelapa sawit (CPO) asal Indonesia oleh Uni Eropa dengan menggunakan ketentuan Pasal XI:1 GATT. Hal ini menunjukkan Indonesia mengakui bahwa pemberlakuan aturan restriksi kuantitatif itu bertentangan dengan GATT. Dalam kasus DS593 pula terlihat bahwa kepentingan dalam negeri Uni Eropa juga sejalan dengan kepentingan Indonesia untuk memberikan nilai tambah yang implikasinya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dapat dikatakan bahwa argumentasi Indonesia dalam menggugat Uni Eropa dalam kasus DS593 justru menjadi serangan balik untuk kasus DS592 atau potensi gugatan lain dalam rencana pelarangan bijih bauksit, yang efektif berlaku pada Juni 2023.
Keadaan ini menunjukkan pula bahwa terdapat pembelaan “standar ganda” untuk menggunakan alasan dalam negeri sebagai dalil pelarangan komoditas industri. Apabila pelarangan bijih bauksit tersebut ditujukan kepada semua negara sekalipun, hal ini juga rentan melanggar prinsip national treatment (prinsip antidiskriminasi yang melarang negara membedakan perlakuan produk barang/jasa dalam konteks WTO) yang diatur dalam ketentuan Pasal III:4 GATT. Ini berpotensi besar bagi investor asing yang membangun industri pengolahan dan pemurnian bauksit di Indonesia untuk merasakan keuntungan lebih dibanding negara lain yang tidak turut melakukan tindakan serupa.
Dalam kasus DS593, pemerintah Indonesia juga menggunakan ketentuan Pasal III:4 GATT sebagai dasar gugatan. Dengan demikian, patut untuk dikatakan bahwa kebijakan pelarangan itu didasari oleh penghindaran atas upaya “ekspor paksa” dari negara-negara tertentu terhadap bahan mentah komoditas Indonesia, sehingga tindakan yang terjadi justru upaya “penghiliran paksa” yang melibatkan investor asing.
Hal kedua adalah dengan berulangnya kebijakan pelarangan ekspor komoditas industri, yang dimulai dari bijih nikel dan dilanjutkan dengan pelarangan ekspor bijih bauksit, akan menimbulkan distorsi pemahaman yang akut terhadap perangkat hukum internasional. Bahkan apabila perangkat hukum internasional tersebut sudah diratifikasi.
Dalil demi kepentingan dalam negeri menjadi tidak patut digunakan, mengingat kedudukan satu negara berdaulat juga merupakan bagian dari masyarakat hukum internasional. Dengan demikian, kebijakan pelarangan ekspor komoditas industri, yang selalu berlindung dengan alasan dalam negeri hanya akan mendorong distorsi yang sama, akan dianut oleh negara-negara lain yang justru akan merugikan Indonesia di masa mendatang.
PENGUMUMAN
Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan nomor kontak dan CV ringkas.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo