Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rio Christiawan
Dosen Hukum Universitas Prasetiya Mulya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Presiden Joko Widodo baru saja menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19. Namun sejauh mana peraturan tersebut dapat diimplementasikan secara tepat guna? Philipus Hadjon (1999) menjelaskan bahwa suatu produk hukum akan bermanfaat bagi masyarakat jika memiliki substansi yang tepat guna dengan kondisi yang sedang dihadapi oleh masyarakat. Dengan melihat substansi yang ada pada peraturan itu, sulit dikatakan bahwa ia akan dapat berlaku efektif dan efisien.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jika ditelaah secara menyeluruh, secara hukum, peraturan tersebut akan berpotensi kontraproduktif dengan tujuan pembuatannya. Substansi peraturan yang "hanya" berisi tujuh pasal tersebut tampaknya justru berpotensi membuat ketidakpastian masyarakat di tengah wabah. Di samping itu, bentuk formal sebagai peraturan pemerintah terlihat dipaksakan, mengingat seharusnya peraturan pemerintah merupakan aturan hukum yang berlaku umum (tidak berlaku dengan hanya mengacu pada satu peristiwa). Terbitnya peraturan itu jelas dalam rangka percepatan penanganan wabah corona sehingga hanya merujuk pada satu peristiwa khusus.
Dengan mengesampingkan persoalan formalitas, peraturan itu juga masih menyisakan persoalan substansial. Pasal 1 peraturan tersebut mendefinisikan pembatasan sosial berskala besar sebagai "pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi Covid-19 sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran Covid-19".
Persoalan yang terkandung dalam pasal itu adalah adanya frasa "kegiatan tertentu penduduk", tapi arti kata "tertentu" tidak didefinisikan lebih lanjut. Persoalannya adalah pada aspek penegakannya, yakni kegiatan apa yang dilarang dan dibolehkan, mengingat tidak ada definisi kegiatan tertentu tersebut. Tanpa definisi yang jelas, selain tidak efektif, peraturan tersebut rawan penyimpangan dalam penegakan hukumnya.
Persoalan berikutnya adalah pada Pasal 3 huruf a, yakni frasa kata "menyebar secara signifikan". Peraturan ini tidak menjelaskan lebih lanjut ukuran "signifikan" itu. Tanpa kejelasan ukuran, ia akan berpotensi menimbulkan pemahaman berbeda sehingga menyebabkan pasal tersebut tidak dapat diimplementasikan. Demikian juga dalam Pasal 4 dengan frasa "pembatasan sosial berskala besar paling sedikit meliputi…" . Frasa "paling sedikit" tersebut justru menimbulkan multitafsir dan menyebabkan penegakan hukum tidak memiliki ukuran yang pasti dan obyektif. Hal ini sangat berbahaya bagi masyarakat.
Persoalan berikutnya adalah kewenangan penetapan pembatasan sosial dalam skala besar sebagaimana diatur dalam Pasal 6 peraturan tersebut. Dalam rumusan pasal itu terlihat bahwa menteri dapat mengambil keputusan pembatasan sosial dengan usulan kepala daerah atau Gugus Tugas Covid-19. Bagaimana jika terdapat penilaian yang berbeda antara kepala daerah dan Gugus Tugas? Perlu dipertegas kewenangan menteri dalam menentukan pembatasan sosial berskala besar. Apakah hal itu perlu diusulkan oleh kepala daerah dan mendapat persetujuan Gugus Tugas sebagai bentuk koordinasi ataukah menteri dapat mengesampingkan usul kepala daerah dan Gugus Tugas dalam mengambil keputusan.
Peraturan tersebut juga tidak menyebutkan sanksi apabila substansi di dalam peraturan itu dilanggar atau tidak terlaksana. Artinya, peraturan tersebut tidak memiliki daya paksa untuk dipatuhi. Hal ini sangat bertolak belakang dengan adanya kebutuhan yang mendesak untuk melaksanakan pembatasan sosial berskala besar. Beberapa persoalan hukum yang telah diuraikan di atas menunjukkan bahwa peraturan tersebut akan memiliki banyak kendala sehingga harus didukung dengan peraturan pelaksana yang tingkatannya di bawah peraturan pemerintah.
Substansi yang belum diatur maupun perlu dijelaskan harus dimasukkan sebagai bagian dari substansi peraturan pelaksanaan dari peraturan pemerintah. Demikian juga peraturan pelaksanaan yang didesain pada tahap implementasi nantinya, selain harus mengandung ukuran yang pasti, harus mengandung sanksi. Dalam situasi pandemi seperti saat ini, penegakan hukum yang obyektif akan dapat membentuk perilaku masyarakat sebagaimana diharapkan.
Perilaku masyarakat akan terbentuk apabila peraturan pelaksana memiliki ukuran yang pasti (tidak multitafsir) dan mengandung sanksi jika dilanggar. Dengan demikian, sebagaimana dikatakan oleh Roscoe Pound, hukum sebagai alat untuk merekayasa perilaku masyarakat, dalam hal ini perilaku pembatasan sosial guna melindungi masyarakat dari pandemi Covid-19, dapat terwujud.