Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Masjid, Radikalisme, dan Kita

Survei Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) dan Rumah Kebangsaan baru-baru ini terhadap 100 masjid di kementerian, lembaga negara, dan badan usaha milik negara (BUMN) memverifikasi apa yang selama ini menjadi kekhawatiran kita bersama, yakni 41 masjid terindikasi berpaham radikal.

3 Agustus 2018 | 07.33 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Paham Radikalisme di Kampus (Rio Ari Seno)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Husein Ja’far Al Hadar
Peneliti di Gerakan Islam Cinta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Survei Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) dan Rumah Kebangsaan baru-baru ini terhadap 100 masjid di kementerian, lembaga negara, dan badan usaha milik negara (BUMN) memverifikasi apa yang selama ini menjadi kekhawatiran kita bersama, yakni 41 masjid terindikasi berpaham radikal. Bahkan, enam masjid lembaga negara dan 33 persen masjid BUMN terindikasi radikal tinggi. Topik radikalisme di masjid-masjid itu yang tertinggi adalah ujaran kebencian, sikap negatif terhadap agama lain dan minoritas, serta sikap positif terhadap khilafah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tahun lalu, ABC News juga menerbitkan laporan penelitian terhadap 41 masjid di 16 provinsi di Indonesia. Hasilnya, 16 masjid di tujuh provinsi dinyatakan mendukung Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS).

Tentu, kita tak bisa menyederhanakan masalah ini. Ada sederet faktor yang tumpang-tindih akibat kegagalan manajemen masjid yang tidak sejalan dengan filosofi masjid itu sendiri sesuai dengan ajaran Islam. Salah satu yang mendasar dan signifikan adalah abainya kalangan moderat muslim terhadap masjid. Padahal, mengacu pada survei-survei itu, masjid menjadi salah satu tempat yang efektif untuk mempengaruhi dan membangun keberislaman seseorang atau sekelompok masyarakat muslim, minimal di sekitarnya.

Di samping itu, masjid merupakan aset umat Islam di Indonesia yang perannya begitu sentral, besar, dan signifikan. Ketika kalangan moderat abai menjadikan masjid sebagai pusat peradaban Islam, kalangan radikal menyambutnya dengan menjadikan masjid sebagai pusat ketidakberadaban atas nama Islam: radikalisme.

Pengabaian itu merupakan wujud karakteristik kalangan moderat, khususnya di perkotaan, yang memang bermasalah dalam kuantitasnya. Mereka sebenarnya mayoritas tapi diam dan relatif berjarak dengan muslim akar rumput. Mereka cenderung "berdakwah" di kelas menengah dan atas dengan penyampaian yang akademis dan di ruang-ruang akademis pula. Mereka mengabaikan "popularitas", lantaran ketidakmampuan berdakwah dengan gaya dan narasi populer atau ketidakmauan lantaran dinilai bukan medan dakwah mereka. Sehingga, sebagaimana dikritik oleh Quraish Shihab sejak tulisannya pada1990, ruang-ruang publik keagamaan, khususnya masjid, diisi oleh kalangan radikal atau minimal yang hanya bermodalkan niat tapi minim kompetensi (Quraish Shihab, 2007).

Gagalnya masjid menjadi pusat peradaban ini lantaran ia cenderung hanya dijadikan sebagai tempat ibadah oleh kalangan moderat. Ia jadi tempat berzikir, bukan juga berpikir. Sedangkan kalangan radikal melihatnya sebagai pusat peradaban: lembaga pendidikan hingga institusi sosial. Di dalamnya dilakukan politisasi hingga propaganda radikalisme.

Padahal, masjid secara genealogis dan substansial memang bervisi pusat peradaban moderat, bukan sekadar rumah ibadah. Pertama, mengacu pada makna etimologisnya, "masjid" berarti "tempat sujud". QS Al-Jin: 18 menegaskan bahwa ia tempat ekspresi ketundukan kepada Tuhan, yakni simbol ketundukan ego di bawah kemahabesaran Tuhan. Ia bukan pemujaan ego yang berujung pada radikalisme: monopoli kebenaran hingga penafian corak keberislaman yang lain.

Kedua, masjid adalah simbol kelembutan. Dalam hadis riwayat Imam Bukhari dikisahkan bahwa Nabi Muhammad pernah menegur sahabatnya yang bertakbir dengan suara keras di masjid. "Kalian tak menyembah Tuhan yang tuli," sabda Nabi. Jika bertakbir saja tak boleh dengan keras di masjid, apalagi mempropagandakan anarkisme.

Ketiga, masjid adalah simbol kolektivitas (jemaah). Syarat utama kolektivitas adalah inklusivisme di tengah keragaman, bukan eksklusivisme atas yang lain.

Maka, dalam Muktamar Risalatul Masjid di Mekah pada 1975, disepakati bahwa masjid sebenar-benarnya adalah yang berfungsi bukan hanya sebatas sebagai rumah ibadah, melainkan pusat peradaban: pendidikan, sosial, budaya, dan lain-lain. Dengan membangun peradaban di sana, ketidakberadaban akan tergeser. Terlebih bagi masjid di lokasi-lokasi pemerintahan, tempat ia berpotensi menjadi ruang dialog dan musyawarah antara ulama dan umara (pemerintah) bagi tata kelola keberagamaan dan kebangsaan kita yang beradab.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus