Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Zaim Saidi
Peneliti senior PIRAC
Menurut Menteri Agama Sayyid Agil H. Munawar, potensi zakat di Indonesia mencapai Rp 7,5 triliun setahun. Perkiraan ini berdasarkan pada asumsi Badan Pusat Statistik bahwa 90 persen penduduk Indonesia atau sebanyak 40 juta kepala keluarga beragama Islam. Sebagian dari jumlah itu atau sebanyak 32 juta kepala keluarga (KK) adalah penduduk "sejahtera", berpenghasilan Rp 10 juta-Rp 1 miliar per KK per tahun. Dengan kewajiban zakat 2,5 persen dari batas nisab (setara 85 gram emas), diperolehlah angka Rp 7,5 triliun itu.
Sementara itu, menurut survei empiris Public Interest Research and Advocacy Center (PIRAC), total zakat yang telah dibayarkan masyarakat muslim saat ini mencapai Rp 3,74 triliun. Ini baru dari responden di sebelas kota besar, di antaranya Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan, dan Makassar. Dari survei berteknik sampel acak bertingkat ini, ternyata sebagian besar responden (94 persen) merupakan muzaki atau orang yang mampu dan wajib membayar zakat. Nilai zakat yang dibayar antara Rp 44.600 per tahun (responden kelas sosial ekonomi C) dan Rp 338.500 per tahun (responden kelas sosial ekonomi A). Dari angka tersebut, diperoleh rata-rata nilai zakat sebesar Rp 116.750 per kapita per tahun.
Dengan asumsi jumlah penduduk muslim yang "sejahtera" sebanyak 32 juta KK, diperoleh pula angka zakat terhimpun, yakni sebesar Rp 3,74 triliun (32 juta x Rp 116.750). Sementara itu, dana zakat yang dihimpun oleh lembaga dan badan amil zakat sekitar Rp 0,5 triliun-Rp 1 triliun per tahun. Berarti, total zakat terhimpun di Indonesia mencapai Rp 4 triliun-5 triliun per tahun.
Lantas, ke mana dana sedekah tahunan sebesar Rp 5 triliun yang jumlahnya tak sedikit itu? Kenapa kontribusinya dalam penanganan kemiskinan tak tampak? Berdasarkan survei lanjutan PIRAC, rupanya dana tersebut "tercecer" di masyarakat karena tak terkelola dengan baik. Hampir seluruh pembayar zakat (94 persen) membayar langsung kepada yang berhak atau panitia di sekitar rumah. Hanya sedikit yang menyalurkannya melalui lembaga "resmi" seperti Bazis (4 persen) atau "yayasan amal" (2 persen). Golongan penerima yang diprioritaskan pun sangat sempit, yaitu dua golongan utama: fakir miskin dan yatim piatu (85 persen), serta janda tak mampu dan orang tua jompo (9 persen). Sedangkan golongan penerima yang lain cuma 4 persen.
Saat ini peran Bazis sebagai lembaga resmi pengelola zakat yang semi-pemerintah juga cuma dipercaya oleh 4 persen responden. Bazis hanya mampu menggalang zakat sekitar Rp 270 miliar per tahun, ditambah 2 persen yang diserahkan ke Yayasan Amal. Jumlah Bazis di tingkat kabupaten sebanyak 277 buah, di tingkat kecamatan 3.160 buah, dan tingkat desa per kelurahan sebanyak 38.117 buah. Ini berarti tiap Bazis rata-rata hanya mengumpulkan zakat dan sedekah sekitar Rp 7 juta per tahun.
Bandingkan kemampuan Bazis dengan Lembaga Amil Zakat (Lazis), yang berbasis inisiatif masyarakat. Jumlahnya memang belum banyak sehingga belum dikenal luas oleh masyarakat. Tak mengherankan bila hanya 2 persen responden yang menyalurkan zakatnya lewat Lazis. Kendati demikian, Lazis, yang mengalami profesionalisasi sejak pertengahan 1990-an, terbukti mampu menggalang dana ZIS secara baik, yakni Rp 2,5 miliar-15 miliar per tahun per lembaga (lihat tabel). Lazis yang disurvei terdiri dari tiga Lazis di Jakarta (Yayasan Dompet Dhuafa, PKPU, dan Baitulmaal Muamalat), dua di Bandung (Darut Tauhid dan Umul Qura'), serta satu di Surabaya (Al-Falah). Dari enam Lazis itu terhimpun dana sekitar Rp 32 miliar (tahun 2000), atau rata-rata sebesar Rp 5,3 miliar per Lazis. Suatu perbandingan yang tak sepadan antara Bazis dan Lazis (lebih dari 750 kali).
Jelas, hal itu terkait dengan soal kepercayaan masyarakat pembayar zakat kepada si amil atau pengelola. Dari survei PIRAC, diperoleh informasi bahwa alasan utama (sebesar 45 persen) masyarakat menolak memberi adalah ketidakpercayaan. Harap maklum, sebagaimana diberitakan luas di media massa akhir-akhir ini, Departemen Agama menempati urutan pertama dalam hal korupsi di kalangan pemerintah. Disinyalir, korupsinya berupa penyalahgunaan dana Bazis. Fakta ini seharusnya memperkuat tekad untuk lebih memberdayakan Lazis daripada Bazis. Sikap pemerintah dalam pengelolaan zakat, sedekah, dan infak, yang cenderung ngrusuhi (intervensif), pun harus segera diubah.
Berdasarkan uraian di atas, tampak betapa pentingnya melakukan sistematisasi mobilisasi zakat sehingga penggunaannya lebih optimal. Mendorong masyarakat agar membayar zakat melalui suatu lembaga profesional harus dilakukan dengan cara membangun kepercayaan lebih. Dari segi hukum agama, menyerahkan langsung zakat kepada yang berhak tentu tidak salah. Tapi cara ini berdampak sangat sedikit bagi penyelesaian beragam masalah sosial. Sebab, sifatnya sangat personal dan tidak melalui program yang terencana dengan baik, untuk tujuan yang jauh lebih dari sekadar keperluan konsumtif sesaat.
Memobilisasi zakat, infak, dan sedekah untuk "pembangunan" rakyat yang masih dirundung krisis ekonomi akan optimal bila kesadaran kaum mampu makin tinggi. Sebab, kemampuan kelas A membayar zakat (Rp 338.500) adalah tiga kali lebih besar dari kelas B (sebesar Rp 112.250) dan 7,5 kali dari kelas C (Rp 44.600). Tanpa organisasi yang baik dan penggalangan sistematis, bisa dikatakan dana zakat sebesar Rp 4 triliun-5 triliun dari masyarakat "tercecer" tanpa program yang jelas.
|
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo