Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PULANG kampung merayakan Lebaran sudah tak bisa lepas dari budaya Indonesia. Silaturahmi ini punya muatan religius yang tinggi. Bukan cuma maaf-memaafkan dan sungkem kepada mereka yang lebih tua, tetapi berkumpulnya sebuah keluarga besar setahun sekali memberikan arti penting. Ada hati yang saling terpaut, sukar dilukiskan dengan kata-kata.
Itu yang menyebabkan apa pun kesulitan dalam perjalanan mudik akan dilalui. Duduk di atas gerbong kereta api, berdiri berdempetan di lokomotif, naik sepeda motor dengan membonceng dua anak plus barang bawaan yang lumayan besar. Inilah pemandangan yang terlihat pekan lalu, menjelang dan setelah hari raya Idul Fitri.
Setiap tahun pemerintah sudah meningkatkan kenyamanan mudik dengan memperbanyak perjalanan kereta api, memperbaiki jalan utama, mengerahkan petugas polisi di banyak tempat. Namun upaya perbaikan ini kalah jauh dibandingkan dengan lonjakan mudik yang setiap tahun meningkat pesat. Upaya pemerintah belum mampu memperkecil jumlah kecelakaan lalu lintas. Korban tewas sampai akhir pekan lalu mencapai 427 jiwa.
Kecelakaan terbanyak ada pada pemudik sepeda motor. Ini sudah bisa diduga. Sepeda motor yang bukan ”kendaraan berpenumpang” dan bukan pula ”kendaraan bermuatan” tiba-tiba bisa dinaiki empat orang dengan satu atau dua kardus lagi. Awalnya, rombongan sepeda motor ini dicegat di Bekasi, yang membawa dua anak atau dengan kardus berlebih tak boleh meneruskan perjalanan. Namun, seperti biasanya, sepeda motor itu lincah berkelit, apalagi kemudian polisi mengendurkan pengawasan.
Kenapa pemudik memilih naik motor? Selain sulit mendapat angkutan yang lebih nyaman, biayanya juga murah. Jika pemerintah ”menertibkan” cara mudik ini dengan alasan keselamatan, tak ada cara lain selain menambah armada kereta api dan bus besar dengan tarif yang terjangkau warga pemudik. Penggunaan sepeda motor dikembalikan kepada ”yang semestinya”, hanya bisa membonceng satu orang tanpa lagi ada barang bawaan. Yang melanggar ditahan kendaraannya.
Upaya pihak swasta—termasuk partai politik—yang menyelenggarakan ”mudik bareng”, apalagi gratis, patut didukung. Itu pun harus disertai pengawasan yang ketat: kendaraan layak jalan, sopir diperiksa kesehatannya, seperti yang dilakukan oleh Departemen Perhubungan. Ini yang kurang diperhatikan oleh penyelenggara ”mudik bareng” itu. Sisi promosinya—bagi partai politik tentu sisi kampanyenya—lebih ditonjolkan daripada keselamatan pemudik. Seharusnya, ”mudik bareng” ini dikawal sampai di tempat tujuan, jika perlu dibuat pula pos pengamanan di jalur mudik.
Strategi pembangunan juga perlu diperbaiki. Pemerintah harus memikirkan bagaimana membangun pusat industri yang tidak berpusat di Jakarta dan sekitarnya saja. Kalau kota lainnya seperti Bandung, Cirebon, Cilacap, Semarang, Solo, Surabaya, Malang juga dikembangkan sebagai ”pusat peredaran uang”, arus mudik akan terbagi-bagi. Kota yang menjadi pengirim ”wong mudik” akan bertambah. Selama Jakarta tetap menjadi satu-satunya kota yang menyediakan ”gula”, maka para ”semut” akan berebut ke sini. Lalu, jutaan semut, eh, pemudik, serentak meninggalkan Jakarta hanya untuk beberapa hari merayakan Lebaran, dan balik lagi dengan membawa sanak yang baru. Konvoi jutaan orang yang tak terelakkan setiap tahun. Kalau begitu halnya, bagaimana membuat konvoi itu tertib dan nyaman?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo