KEMARIN mayat Ardatan, 10 tahun, ~~dan Kemat, 11 tahun, masih terbaring di atas bale-bale kayu bulat. Tapi esoknya kedua mayat suku anak dalam Kubu itu raib. Bahkan balai-balai beratap dedaunan tanpa dinding berukuran 2 x 3 meter itu bak ikut ditelan bumi. Inilah prosesi penguburan etnik Kubu di Sumatera Selatan. Mereka bisa mengubur mayat tanpa menunjukkan bekas galian. "Tak ada batu nisan, tak ada palang salib," tulis Marlis, wartawan TEMPO yang sempat menjelajah habitat Kubu di pedalaman Musirawas, Sum-Sel, sejak 28 November hingga 1 Desember lalu. Yang memprihatinkan, sejak Oktober hingga November lalu, bertiup kabar buruk. Prosesi kematian itu tiba-tiba menghebat. "Saya kira, sudah hampir seratus orang yang meninggal," kata Idrus, Kepala Desa (Kades) Tebingtinggi Kelumpang. Kades di Kecamatan Rawas Ilir ini memang membawahkan permukiman Kubu - meskipun letaknya tersuruk jauh di utara Tebingtinggi. Idrus memang tak bisa memberi angka akurat. Soalnya, menurut Idrus, dua tahun lampau masih mudah menjumpai orang Kubu yang berdiam di hutan dekat Tebingtinggi. "Kini kita harus melanglang ke pedalaman, baru bisa bertemu mereka," sambungnya. Untuk tiba di sana - hutan yang dikenal bernama Aer Hitam - harus naik bis dari Lubuklinggau, ibu kota Musirawas, ke Tebingtinggi. Kemudian dilanjutkan jalan kaki melewati hutan dan sungai sejauh 75 km. Cerita Idrus itu dibenarkan tiga anak suku dalam yang ditemui TEMPO di hutan Aer Hitam. "Dalam sehari bisa satu atau dua warga kami yang mati," kata Maropah, 59 tahun. Cerita serupa juga diungkapkan Tani, 49 tahun, seorang Kubu di tepi Sungai Kelumpang, masih di Kecamatan Rawas Ilir. Tapi, begitulah, sehari kemudian mayat itu dikubur bersama balai-balainya. Usaha mencatat berapa yang meninggal masih jauh dari kebiasaan mereka. Persis seperti tak adanya catatan tentang tanggal lahir. Keadaan ini semakin musykil oleh tradisi kepercayaan orang Kubu yang hidup terpencar-pencar dalam banyak kelompok. Satu kelompok biasanya terdiri dari empat atau lima keluarga. Misalnya ada warga kelompok yang sakit kuat, yang dalam keyakinan mereka sukar sembuh, ia akan ditinggal dan hanya ditemani seekor anjing yang terikat pada tiang balai-balai. Warga kelompok lainnya berpindah ke hutan lain. Sekali waktu salah seorang datang melihat apakah si sakit sembuh atau malah mati. Kehadiran anjing itu adalah sebagai pandu bagi si sakit jika ia sembuh. Penciuman hewan ini memang tajam. Ia bisa mencari jejak ke mana kelompok itu berpindah. Tapi jika si sakit mengembuskan napas terakhir, kelompok itu pun berkumpul untuk upacara penguburan, yang dulu merupakan ritus. Ada tetabuhan, tarian mirip pencak, dan pesta makan babi. Tapi kini tidak lagi. "Karena babi hutan sukar didapat," kata Naniek, 60 tahun, seorang Kubu di Sungai Jernih, Muara Rupit, tetangga Rawas Ilir. Jika mayat dan balai-balai sudah dikubur, kelompok itu pun kembali ke tempat baru. Soalnya, tempat lama dianggap mendatangkan bencana dan tak boleh dihuni lagi. "Malangon, dalam istilah bahasa kami," kata Naniek melalui Ngabes, seoran~g Kubu yan~g sudah membaur dengan kehidupan masyarakat biasa, yang jadi penerjemah TEMPO berkomunikasi dengan suku terasing itu. Jika di tempat baru ada lagi yang sakit dan meninggal, mereka pun hijrah lagi. Tradisi nomaden itu juga berakibat pada proyek Pemukiman Masyarakat Suku Terasing (PMST) di kabupaten yang berbatasan dengan Jambi itu. Sejak 1968, di sana memang ada lima PMST. Misalnya di Sungai Jernih, Muara Rupit, Sungai Kijang, Cebur Anjing, Sukaraya, Pangkalan Bkl Ulu Rawas, dan Pulau Kidak. Tapi suku anak dalam yang bertahan di setiap PMST paling banter 15 kk saja. Wartawan TEMPO yang juga mengikuti rombongan Bupati Musirawas, Nang Ali Solichin, masuk ke pedalaman pada 6 Desember lalu, cuma menyaksikan 10 kk lagi di permukiman Kubu di PMST Pangkalan Bkl Ulu Rawas. Semula ada 100 kk. Selebihnya diisi pendatang dari Jawa. Proyek PMST itu malah masih jauh di bawah standar transmigrasi. Misalnya, jatah hidup transmigran diberikan selama satu atau dua tahun. Tetapi PMST hanya setengah tahun. Yang juga berbeda adalah tingkat keterampilan transmigran dibanding suku Kubu. Para transmigran jelas adalah anggota masyarakat biasa dengan gaya hidup normal - meski mungkin miskin. Sebaliknya, untuk mengenalkan sistem pertanian saja, masih sulit pada orang Kubu. Bahkan soal sepele seperti cara berpakaian dan cara memasak pun, mereka masih nol. Keprihatinan itulah yang diakui blak-blakan oleh Kepala Dinas Sosial Musirawas, Haji Moch. Yahya Nanie, pada TEMPO. Yahya sama sekali tak tahu apa yang mengakibatkan kasus kematian itu. "Cari makanan sangat sulit," kata Maropah, seorang Kubu di Aer Hitam. Ia menunjuk betapa banyaknya perusahaan kayu (HPH, maksudnya) yang merembes hutan yang jadi habitat mereka sejak 1970-an. "Akibatnya, kami makin tersuruk jauh ke dalam." Dalam data TEMPO, luas hutan lindung dan produksi di sana ada 1,2 juta hektare lebih dari separuh luas kabupaten itu. Tapi sekarang sekitar 636.660 ha sudah digarap perusahaan HPH. Belum termasuk areal transmigrasi seluas 40 ribu ha yang dihuni 81.030 jiwa. Bahkan masih ada 120 ribu ha tanaman karet dan 27.750 ha persawahan. Artinya, dalam kurun dua dasawarsa ini setidaknya tinggal sekitar 30% hutan perawan - termasuk hutan lindung. Dengan kata lain, habitat yang tadinya merupakan sumber kehidupan dan makanan suku Kubu - seperti umbi-umbian buah buahan, binatang buruan -- makin ciut. Hewan seperti babi, kijang, rusa, kura-kura pun kian terdesak dan sukar didapat. Memang jumlah anjing dan kucing lumayan. "Tapi adat mengharamkan mereka memakannya," kata Ngabes. Mereka juga kalah terampil dibanding kaum transmigran dalam soal mengambil rotan. Belakangan ini penduduk sudah nampak mulai makan beras. Tapi karena hasil rotan menciut, beras tidak terbeli. Wartawan TEMPO melihat bagaimana mereka hidup dari terong rebus dan ubi hutan. Misalnya, di Air Jernih, Kelumpang, Kepahyang, dan Bkl Ulu Rawas. Yang tragis, ada bisik-bisik bahwa mereka yang kelaparan sudah memakan jasa~l yang meninggal. Kabar burung itu beredar karena adat mereka, kabarnya, mengenal kanibalisme. Mereka yang kedapatan menzinai istri sesamanya, konon, "halal" dimakan. Tapi Idrus, sang Kades Tebingtinggi, kontan menyanggah. "Itu tak benar. Adat Kubu tak mengenal tradisi itu," katanya. Direktur Bina Masyarakat Terasing Departemen Sosial, Drs. Sri Rachmadi W.S., juga membantah isu kanibalisme di kalangan suku Kubu. Bupati Nang Ali Solichin tak tinggal diam mendengar angka kematian suku Kubu melonjak. Pekan lalu ia menerobos ke pedalaman. Meski tak menemukan mayat bergelimpangan, ia menjaring informasi dari penduduk. "Ini harus diakhiri dan tak perlu ditutup-tutupi," katanya pada TEMPO. Menurut data Dinas Sosia~l Musirawas, pada 1979 tercatat 12.000 jiwa etnik Kubu, tapi sekarang tinggal 2.642 jiwa. Nang Ali melihat penyelamatan mereka tak kalah penting dengan proyek satwa gajah di Lampung. Ia mengimbau pelbagai kalangan. Dipujinya bahwa kultur Kubu banyak yang positif. Tengoklah, misalnya, tarian mereka yang mirip pencak. Atau cara menombak kura-kura, dengan melontarkan tombak ke atas lalu membiarkannya turun menancap ke sasaran. Bersih~ar Lubis ~(P~alemban~g)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini