Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEMANGAT memberantas korupsi tentu harus tetap tinggi. Tapi jangan sampai membuat kita kurang cermat mengambil keputusan. Vonis terhadap bekas Deputi Gubernur Bank Indonesia Budi Mulya merupakan contoh kekurangcermatan itu. Jaksa dan hakim tidak membedakan penyuapan, yang memang masalah kriminal, dengan pengambilan kebijakan, yang sesungguhnya tidak bisa dipidanakan.
Rabu pekan lalu, majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi memvonis Budi Mulya dengan penjara 10 tahun dan denda Rp 500 juta. Budi dinilai bersalah melakukan tindak pidana korupsi terkait dengan pengucuran Fasilitas Pinjaman Jangka Pendek (FPJP) dan penetapan Bank Century sebagai bank berdampak sistemik. Ia juga dianggap memperkaya diri sendiri dengan menerima Rp 1 miliar dari Robert Tantular, mantan pemilik Bank Century.
Vonis ini bermula pada 2008, ketika Bank Century sekarat. Bank Indonesia memiliki pilihan untuk membiarkan bank itu bangkrut atau menyelamatkannya dengan alasan tertentu. Bank Indonesia, yang saat itu dipimpin Boediono—dan Budi Mulya salah satu deputinya—memilih menyelamatkan Bank Century dengan alasan bangkrutnya Bank Century akan berdampak sistemik terhadap ekonomi Indonesia. Karena itu, BI setuju mengucurkan FPJP, yang totalnya berjumlah Rp 689 miliar.
Uang ini ternyata disikat Robert Tantular dan pemilik Century lainnya. Para pemilik Bank Century juga menggondol bantuan yang dikucurkan setelah itu, hingga hampir Rp 7 triliun. Hal inilah yang membuat Komisi Pemberantasan Korupsi menganggap Budi Mulya dan sejumlah pihak lain melakukan korupsi: merugikan negara untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain. Pemberian FPJP yang diteken Budi dianggap merugikan negara dan memperkaya pemilik Century. Hal ini dikuatkan dengan suap Rp 1 miliar dari Robert Tantular ke Budi.
Pertanyaannya adalah benarkah Budi Mulya menyetujui pemberian FPJP itu dengan maksud agar pemilik Century dapat merampok uang negara, atau ia justru berusaha menyelamatkan negara dari krisis. Untuk menjawab pertanyaan itu, dibutuhkan kecermatan para ahli. Sayangnya, hal ini kurang digali oleh hakim dari saksi ahli.
Dari para saksi, hakim akan tahu bahwa, pada kuartal keempat 2008, Amerika Serikat mengucurkan dana talangan kepada banyak bank besar di sana, bahkan terpaksa menurunkan suku bunga dari 5 persen menjadi 0,25 persen. Ada krisis besar di Amerika. Artinya, sebagai negara besar di dunia, krisis tersebut membawa pengaruh bagi negara-negara yang bergantung pada Amerika, termasuk Indonesia. Itu tampak dari pelemahan rupiah pada akhir 2008, dari Rp 9.000 menjadi Rp 13.000.
Kekhawatiran itu ada di depan mata, sehingga wajar jika Bank Indonesia, dan kemudian Komite Stabilitas Sistem Keuangan, mengucurkan dana ke Century. Kalaupun dana penyelamatan itu kemudian digarong Robert Tantular cs, itu bukan kesalahan Budi Mulya dan kawan-kawannya di BI. Itu sama saja dengan menyewakan mobil kepada seseorang yang dinilai memerlukan, tapi kemudian mobil itu dibawa kabur. Yang salah bukan yang meminjamkan, melainkan yang meminjam.
Kalau Budi Mulya harus dipidanakan, itu karena dia menerima suap Rp 1 miliar dari Robert Tantular. Tentu suap itu sedikit-banyak memberi pengaruh pada pencairan FPJP. Tapi, dengan atau tanpa suap, BI pasti akan memutuskan untuk memberikan FPJP. Suap kepada Budi bisa menjadi faktor pelicin, tapi bukan penentu. Budi seharusnya dihukum karena penyuapan ini saja, bukan oleh kebijakan yang dibuatnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo