Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SELEPAS Komisi Pemilihan Umum menyiarkan hasil resmi Pemilu Presiden 2014 pada Selasa pekan ini, semestinya perseteruan itu berakhir sudah. Calon presiden yang dinyatakan kalah harus dengan dada lapang mengakui kekalahannya. Pasangan yang menang tak boleh jemawa dan meninggikan dagu.
Kedua kandidat tak sepatutnya ngotot dan terus-menerus menarik garis antara "kami dan kamu". Seruan pendukung calon presiden Joko Widodo agar mengganti salam dua jari—ciri khas kandidat dengan nomor urut dua itu—dengan salam lima jari patut dipuji. Maksudnya, inilah saatnya kedua kandidat beruluk salam dan menawarkan rekonsiliasi. Di pihak lain, tak ada salahnya jika pasangan Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa melakukan hal serupa. Garuda merah yang selama ini menjadi simbol pasangan itu sudah saatnya dikembalikan menjadi Garuda Pancasila, simbol negara yang mencerminkan kebersamaan dan keberagaman.
Pemilu presiden kali mungkin telah menjadi pemilu paling brutal dalam sejarah Republik. Kampanye jahat dilakukan terang-terangan, baik melalui media sosial maupun tabloid abal-abal. Serangan politik menggunakan isu suku, agama, ras, dan antar-golongan menjadi sesuatu yang lumrah dilakukan.
Hampir tiga bulan penduduk Indonesia terbelah dua: pendukung Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Perseteruan itu diamplifikasi pelbagai media sosial: Twitter, Facebook, Path, Instagram, dan aplikasi virtual lainnya. Perdebatan muncul di mana-mana, sering kali dengan saling ejek antar-pendukung.
Kini pemenang pemilihan presiden sudah bisa diketahui. Dari penghitungan berjenjang yang formulirnya diunggah ke situs Komisi Pemilihan Umum, Jokowi-Kalla hampir dipastikan akan memimpin Indonesia lima tahun ke depan.
Tak jauh berbeda dengan hasil hitung cepat oleh sejumlah lembaga survei, pasangan yang diajukan koalisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai NasDem, Partai Hanura, serta Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia itu memperoleh 52,8 persen suara. Adapun Prabowo-Hatta mendapat 47,2 persen. Pasangan yang terakhir ini disokong Koalisi Merah Putih, yang terdiri atas Partai Gerindra, Partai Amanat Nasional, Partai Golkar, Partai Demokrat, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Keadilan Sejahtera, dan Partai Bulan Bintang.
Rekonsiliasi ini semestinya bisa diselesaikan sebelum presiden terpilih dilantik pada 20 Oktober nanti. Sejauh ini, Jokowi dikenal bukan sebagai orang yang berat kaki mendekati kelompok yang berseberangan dengannya. Prabowo akan dikenang sebagai orang yang berjiwa besar jika mau melakukan hal serupa.
Wajar belaka jika kubu yang kalah mengajukan gugatan sengketa hasil pemilihan ke Mahkamah Konstitusi. Undang-Undang Pemilihan Presiden jelas membuka kesempatan itu. Di tengah sempitnya waktu untuk mengadili—undang-undang memberi waktu satu bulan buat penyelesaian sengketa—Mahkamah selayaknya menangani kasus ini dengan netral dan adil. Main mata antara Mahkamah dan salah satu kandidat hanya akan membuat runyam: hasil pemilu terus-menerus diragukan dan Mahkamah kehilangan kredibilitasnya.
Pendekatan politik dapat pula dilakukan untuk mempererat dan mempercepat rekonsiliasi. Merangkul pihak yang kalah bukanlah aib dalam politik. Sejauh ini, Partai Golkar, Partai Demokrat, Partai Persatuan Pembangunan, dan Partai Amanat Nasional diketahui telah membuka komunikasi dengan Jokowi dan partai pendukungnya. Kata putus memang belum diambil meski Jokowi diperkirakan tidak akan menutup pintu.
Dengan tambahan partai pendukung, koalisi Jokowi akan kukuh di Dewan Perwakilan Rakyat. Tanpa tambahan tenaga, dengan hanya didukung 37 persen kursi parlemen, aliansi Jokowi-Kalla bakal terseok-seok dan kebijakan pemerintah sering diganjal.
Optimisme Jokowi bahwa ia didukung mayoritas orang banyak tentu baik-baik saja. Tapi, sebelum kekuatan rakyat dikerahkan untuk melawan legislatif yang dianggap merongrong, sepatutnya lobi politik dengan tekun dilakukan.
Bersikap lentur menghadapi lawan politik bukan berarti kubu Jokowi harus terjerembap dalam kubangan politik transaksional. Tekad Jokowi membentuk kabinet kerja harus ia pertahankan. Wakil partai dalam kabinet harus sedapat mungkin dikurangi, sedangkan porsi kaum profesional diperbanyak.
Skenario menyusun kriteria menteri lebih dulu, baru kemudian mencari calon yang cocok, layak dicoba. Cara ini membuat penyusunan kabinet didasari kebutuhan organisasi dan bukan bagi-bagi kursi.
Pemilu pada akhirnya adalah ritual demokrasi yang tidak perlu diikuti permusuhan abadi. Yang menang tak perlu bersorak terlalu lama. Yang kalah tak sepatutnya memelihara dendam. Republik membutuhkan mereka semua: baik sang pemenang juga sang pecundang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo