Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Nuzul Achjar
LAPORAN tahunan Bank Dunia 2009: Reshaping Economic Geography (Menata Kembali Geografi Ekonomi) mempunyai nuansa yang agak berbeda dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Isu geografi ekonomi dalam laporan tersebut tampaknya sedikit banyak diilhami konsep peraih Nobel Ekonomi 2008, Paul Krugman, tentang ”Geografi Ekonomi Baru” (New Economic Geography) dan ”Teori Perdagangan Baru” (New Trade Theory).
Melalui perspektif geografi ekonomi (ekonomi ruang), Bank Dunia menyoroti berbagai ketimpangan melalui jendela berbingkai 3-D, yaitu konsentrasi kegiatan ekonomi (density), aspek biaya transportasi (distance), dan faktor integrasi ekonomi (division) lintas daerah dan lintas negara. Ketiga faktor ”D” tersebut diharapkan dapat mengubah tatanan ekonomi ruang untuk mengatasi persoalan ketimpangan, baik pada skala lokal maupun regional, temasuk regional lintas negara.
Analisis dan arah rekomendasi kebijakan Bank Dunia ini diperkirakan akan menimbulkan polemik atau kontroversi, karena agak berbeda dengan kebijakan yang diambil banyak negara, termasuk Indonesia. Bank Dunia mengatakan bahwa persoalan disparitas pada level antardaerah, misalnya, tidak dapat diatasi hanya dengan menyebarkan kegiatan ekonomi ke semua daerah. Bagi Bank Dunia, memeratakan kegiatan ekonomi di semua daerah atau lokasi justru menghambat upaya mengurangi kemiskinan itu sendiri. Sebaliknya, di belahan dunia lain, banyak negara justru menempuh kebijakan pemerataan kegiatan ekonomi ke berbagai wilayah yang dihuni sekitar satu miliar penduduk miskin seluruh dunia.
Ada apa gerangan di balik argumentasi Bank Dunia bahwa konsentrasi kegiatan ekonomi tidak dapat digerakkan di seluruh daerah atau lokasi? Konsep ”Geografi Ekonomi Baru” yang dilontarkan Krugman dengan jelas mengindikasikan bahwa konsentrasi kegiatan ekonomi atau aglomerasi bagaimanapun memerlukan kegiatan produksi dengan skala ekonomis (economies of scale) tertentu yang tidak dapat diciptakan di semua daerah atau lokasi begitu saja.
Dalam lingkup yang lebih kecil, konsentrasi toko-toko buku di Kwitang (sebelum digusur) di Jakarta adalah fenomena paling sederhana adanya aglomerasi spasial di daerah perkotaan. Bagi calon pembeli buku, tempat paling pas untuk berburu buku adalah Kwitang. Di benak pedagang buku, Kwitang adalah lokasi paling tepat untuk menggelar dagangannya karena pembeli pasti akan ke sana. Konsentrasi jasa keuangan di Jakarta yang mencapai lebih dari 90 persen nilai tambah bruto total jasa keuangan Indonesia adalah fenomena kekuatan aglomerasi. Meminjam istilah ilmu fisika, Paul Krugman mengindikasikan adanya kekuatan sentripetal yang mendorong konsentrasi kegiatan ekonomi, dan sebaliknya ada kekuatan sentrifugal lebih besar yang dapat membuyarkannya.
Bagi Bank Dunia, mendorong aglomerasi adalah mendekatkan penduduk ke kota-kota pusat kegiatan ekonomi yang sedang tumbuh melalui migrasi dan urbanisasi. Kecenderungan semakin pendeknya jarak tempuh, terutama penduduk negara-negara maju, ke pusat kegiatan ekonomi memberikan indikasi bahwa faktor biaya transportasi masih tetap menjadi hal yang tidak boleh diremehkan. Pandangan ini seolah meruntuhkan mitos bahwa the distance is dead.
Tapi bukankah urbanisasi menimbulkan persoalan ekonomi, sosial, dan politik? Tak usah khawatir. Yang penting adalah bagaimana menjadikannya sebagai urbanisasi inklusif. Toh, urbanisasi tidak bisa dihentikan. Kuncinya terletak pada penyediaan pelayanan dan infrastruktur dasar.
Jika demikian, seberapa relevankah perspektif geografi ekonomi dapat digunakan untuk mengevaluasi hasil pembangunan regional Indonesia, baik melalui bingkai 3-D maupun dari kacamata kita sendiri? Relevansi dari pendekatan yang ditawarkan Bank Dunia ini adalah peneguhan (kembali) bahwa ruang ekonomi bukanlah sebuah lanskap datar. The world is not flat adalah kalimat yang disampaikan Walter Isard, penggagas Regional Science, sekitar empat dasawarsa lalu, setelah memperhatikan ketidakmampuan pendekatan ekonomi makro mengatasi persoalan perekonomian regional.
Kita juga melihat suatu masa ketika arah perencanaan regional mulai terlihat lebih terang sejak Pelita III, rancangan institusi perencanaan seperti Bappenas sangat diwarnai dengan penentuan pusat-pusat pertumbuhan berikut hierarkinya. Isu kesenjangan Jawa versus luar Jawa, dan selanjutnya dikotomi Kawasan Timur Indonesia (KTI) versus Kawasan Barat Indonesia (KBI), memberikan justifikasi lebih kuat bahwa konsep tersebut seolah langkah yang tepat. Dengan isu yang sama pula, di bawah pemerintahan Presiden Habibie pada akhir dekade 1990, pemerintah menetapkan 13 kawasan ekonomi terpadu di 13 provinsi di KTI.
Kita boleh berdebat apakah program atau konsep pembangunan regional seperti telah disebutkan itu berjalan efektif atau tidak. Dengan tetap memberikan apresiasi terhadap keberhasilan beberapa program pembangunan regional, kita juga tidak boleh menutup mata atas banyaknya kegagalan yang terjadi.
Pertama, penentuan lokasi kegiatan ekonomi pada umumnya masih bersifat supply driven tanpa memperhatikan skala ekonomis sebagaimana terjadi pada kawasan ekonomi terpadu, dan juga pada pusat pertumbuhan lainnya. Ketika belakangan pemerintah merencanakan kawasan ekonomi khusus, yang rancangan undang-undangnya saat ini sedang disiapkan, tidak sedikit pula daerah yang menawarkan diri menjadi lokasi kawasan ekonomi khusus tanpa memperhatikan peluang munculnya kekuatan aglomerasi.
Kedua, pemerintah lalai memperhatikan lemahnya keunggulan geografis (geographical advantage) karena tingginya biaya transportasi. Penentuan lokasi kegiatan ekonomi lebih banyak karena tawar-menawar politik ketimbang pertimbangan yang obyektif. Lihatlah kasus pelabuhan Sabang sebagai salah satu kawasan ekonomi terpadu. Lepas dari pertimbangan politik, pelabuhan Sabang dewasa ini bukanlah Sabang ”tempo doeloe” yang perlu disinggahi oleh kapal-kapal konvensional karena letaknya dianggap strategis untuk perdagangan. Pergeseran konstelasi ekonomi Asia Pasifik dan munculnya konsentrasi kegiatan ekonomi baru Thailand, Malaysia, Vietnam, dan sebagainya menyebabkan posisi pelabuhan Sabang secara ekonomi tidak lagi strategis. Jika harapan diletakkan di pundak Sabang untuk menggerakkan perekonomian regional melalui ekspor, pada kenyataannya sekitar 80 persen kegiatan pelabuhan Sabang justru untuk impor.
Tertutupkah peluang daerah untuk mengembangkan perekonomian regional tanpa harus mengikuti jejak-jejak lama pendekatan konvensional yang sudah semakin kabur itu? Ketika kita berbicara tentang bagaimana mengalokasikan sumber daya yang terbatas secara efisien, dimensi aglomerasi dan biaya transportasi dalam penentuan lokasi kegiatan ekonomi menjadi sangat relevan.
Sesungguhnya, perspektif geografi ekonomi tidak hanya berbicara tentang aglomerasi, kluster industri, dan biaya transportasi, tetapi juga tentang institusi, termasuk modal sosial (social capital). Sebagaimana dikatakan filsuf Prancis Henri Lefebvre (1991) dalam The Production of Space bahwa lanskap ruang ekonomi dan ruang sosial akan sangat dipengaruhi oleh kekuasaan atau kekuatan (power) dari institusi dan ideologi yang melatarbelakanginya. Lanskap ekonomi perkotaan seperti Jakarta dan kota besar lainnya merupakan cerminan dari kebijakan institusi dengan ideologi ekonomi yang mendasarinya. Lebih jauh, tata kelola pemerintahan yang baik serta inovasi yang menyertainya adalah buah dari kekuatan institusi.
Penganugerahan 10 Tokoh 2008 oleh majalah Tempo (edisi khusus akhir tahun 22-28 Desember 2008) menunjukkan dengan tegas bahwa tokoh-tokoh pemimpin daerah tersebut tidak hanya bekerja dengan hati, tetapi juga dengan inovasi tanpa harus berbicara tentang aglomerasi dan urbanisasi inklusif. Kata-kata inovasi inilah yang justru tidak banyak keluar dari janji politik dalam kampanye pemilihan kepala daerah, janji untuk menerobos kebuntuan penyediaan pelayanan dan infrastruktur dasar: pendidikan, kesehatan, perumahan, sanitasi, air bersih dan listrik secara terintegrasi dan kreatif, yang sangat dituntut pada era otonomi daerah ini.
Menata kembali geografi ekonomi nasional tentu tidak cukup dengan membangun kekuatan aglomerasi, memperkecil hambatan migrasi dan urbanisasi, ataupun integrasi ekonomi lintas daerah bahkan ekonomi global, tetapi juga menata kembali institusi lokal yang masih centang-perenang, dan budaya rasa saling percaya (trust) yang masih rendah. Dengan semua pencerahan pendekatan geografi ekonomi melalui kekuatan aglomerasi, mempermudah transportasi dan integrasi ekonomi, Laporan Bank Dunia 2009 layak diapresiasi sekaligus perlu dikritik karena perspektif ”Geografi Ekonomi Baru” ala Paul Krugman yang mewarnai pandangan Bank Dunia agak menafikan aspek institusi, ideologi ekonomi, dan politik di luar kerangka liberalisme dalam menata kembali geografi ekonomi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo