Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JARAK antara gedung Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia dan kantor Menteri Tenaga Kerja tak jauh-jauh amat. Tak sampai lima kilometer. Keduanya ada di ruas jalan yang sama: Departemen Tenaga Kerja di Jalan Gatot Subroto, sedangkan Badan Nasional di Jalan M.T. Haryono, dengan Tugu Pancoran di tengah-tengah. Jika jalanan sepi, perjalanan dari kantor Badan Nasional ke gedung Departemen tak akan makan waktu lebih dari sepuluh menit.
Kantor dekat tak menjamin hubungan kedua lembaga pemerintah ini harmonis. Sejak badan nasional urusan buruh migran ini berdiri dua tahun lalu, sudah tak terhitung Menteri Tenaga Kerja Erman Suparno dan Ketua Badan Nasional Jumhur Hidayat perang mulut di media massa. Terakhir, Jumhur tak muncul di kantor Erman Suparno, Rabu pekan lalu. Padahal, sebuah acara penting sedang berlangsung di sana.
Hari itu Direktur Jenderal Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja I Gusti Made Arka mengumumkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 22 Tahun 2009 yang memangkas wewenang lembaga yang dipimpin Jumhur. Dengan beleid baru ini, wewenang mengurus penempatan dan perlindungan buruh migran Indonesia, yang semula ditangani Jumhur, kini dialihkan ke dinas tenaga kerja di daerah.
”Saya memang tidak diundang,” kata Jumhur pekan lalu, saat ditanya soal ketidakhadirannya. Malah, dia mengaku tak tahu rencana Menteri menerbitkan peraturan baru yang mengebiri lembaganya. Juru bicara Departemen Tenaga Kerja Sumardoko membenarkan Jumhur memang tidak diundang. ”Kami hanya melibatkan wakil para pemangku kepentingan: perusahaan jasa tenaga kerja dan asosiasinya,” katanya.
Sikap keras ini seperti membalas aksi Badan Nasional yang absen dari Rapat Koordinasi Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Hotel Bumikarsa, Bidakara, dua pekan sebelumnya. ”Padahal Pak Jumhur saat itu diundang secara resmi,” kata Sumardoko. Ketika berpidato di sesi pembukaan, Menteri Erman sempat geram, ”Mana ini Badan Nasional?” katanya. ”Sudah diundang kok tidak datang.”
Terbitnya peraturan menteri pekan lalu adalah babak terbaru perseteruan Erman Suparno versus Jumhur Hidayat. Meski resminya disangkal, ada kesan aturan Erman ini bermaksud menyunat kekuasaan Jumhur.
PEMBENTUKAN Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia adalah amanat Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004. Dalam bab 10 peraturan itu disebutkan bahwa Badan Nasional bertanggung jawab menangani semua urusan penempatan dan perlindungan buruh migran Indonesia baik yang dikirim oleh perusahaan swasta maupun yang ditempatkan berdasarkan perjanjian antarpemerintah.
Dua tahun setelah undang-undang itu berlaku, pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2006 tentang pembentukan badan ini. Januari 2007, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menunjuk Jumhur Hidayat menjadi Ketua Badan Nasional. Upacara pelantikan Jumhur dipimpin Erman Suparno.
Tapi bibit konflik sudah muncul sejak awal. ”Ada kesan Departemen Tenaga Kerja tak rela kewenangannya saya ambil,” kata Jumhur, ketika ditemui di kantornya, dua pekan lalu. Menurut Jumhur, sesuai dengan Peraturan Presiden, Badan Nasional seharusnya mewarisi semua aset, staf, dan anggaran Direktorat Jenderal Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja—lembaga yang sebelumnya mengurusi buruh migran. ”Tapi, yang terjadi saat itu, anggaran yang kami terima justru berkurang,” katanya.
Kisah versi Jumhur ini ditolak Erman mentah-mentah. ”Anggaran mana yang dikurangi?” Erman Suparno balik bertanya. ”Semuanya sudah saya berikan.” Saat itu anggaran Badan Nasional ditetapkan sekitar Rp 133,8 miliar.
Sekarang kedua lembaga itu berebut pos dana perlindungan tenaga kerja yang dikumpulkan dari kantong calon tenaga kerja Indonesia. Sebelum berangkat ke luar negeri, setiap calon tenaga kerja menyetor US$ 15 (sekitar Rp 150 ribu) kepada negara. Uang itu dikelola sebagai penerimaan negara bukan pajak dan kini masih dikuasai Departemen Tenaga Kerja. Jumlahnya tahun lalu saja, menurut Jumhur, Rp 80 miliar. ”Saya sudah minta ke Departemen Keuangan agar dana itu dikelola Badan Nasional saja,” kata Jumhur. Erman mati-matian menolak.
SEBAGAI Ketua Badan Nasional, Jumhur suka menggebrak. Dia, misalnya, menggerebek sejumlah penampungan buruh migran dan meminta laporan tentang perlindungan tenaga kerja dari duta besar Indonesia di luar negeri. Dia juga menetapkan aturan baru tentang pemeriksaan kesehatan bagi calon tenaga kerja, dan merombak pengelolaan terminal kedatangan tenaga kerja di Bandara Soekarno-Hatta. ”Semuanya untuk penertiban,” kata Jumhur.
Namun aksinya membuat gerah banyak orang. Asosiasi Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia diserbu keluhan dari anggotanya. ”Urusan yang seharusnya dipermudah dan dipermurah justru jadi ruwet dan mahal,” kata sumber Tempo di asosiasi itu. Ketua Asosiasi, Komisaris Jenderal (Purn) Nurfaizi, mengaku terjepit di tengah konflik. ”Berkoordinasilah. Beri kami regulasi dan pelayanan yang baik,” katanya mengeluh.
Departemen Luar Negeri juga keberatan dengan sepak terjang Jumhur. Juru bicara departemen itu, Teuku Faizasyah, membenarkan ada keluhan tentang tindakan Badan Nasional meminta laporan dari para duta besar. ”Mestinya permintaan seperti itu dilakukan melalui jalur Departemen Tenaga Kerja ke Departemen Luar Negeri, baru ke para duta besar,” katanya.
Kepada Tempo, Erman mengaku semua keluhan itu akhirnya sampai ke mejanya. ”Semua datang pada saya. Mereka mengeluh: bagaimana ini?” katanya. ”Saya mencoba berkoordinasi tapi tidak digubris.” Ditanya soal ini, Jumhur membantah.
JUMHUR Hidayat adalah mantan aktivis mahasiswa Institut Teknologi Bandung yang lalu jadi politikus. Pada Agustus 1989 dia dipenjara setelah terlibat dalam aksi demonstrasi di kampusnya. Belakangan, dia aktif di Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia dan Gabungan Serikat Pekerja Merdeka Indonesia.
Dalam Pemilihan Umum 1999, Jumhur bersama Menteri Koperasi Adi Sasono membentuk Partai Daulat Rakyat. Dalam pemilihan berikutnya Jumhur bergabung dengan Partai Sarikat Indonesia. Kedua partai ini gagal meraih dukungan signifikan. Pada Agustus 2004 secara terbuka Jumhur menyatakan mendukung pasangan Yudhoyono-Jusuf Kalla.
Banyak yang menilai keberanian Jumhur menerobos aturan dan mendobrak sana-sini karena ia merasa disokong RI-1. Namun soal ini dibantah juru bicara kepresidenan, Andi Mallarangeng. ”Tidak ada yang namanya orangnya SBY, atau orangnya siapa. Kita profesional saja,” kata Andi, pekan lalu.
Menengahi konflik, Komisi Ketenagakerjaan Dewan Perwakilan Rakyat turun tangan. Pada November lalu mereka membentuk panitia kerja untuk membahas masalah ini. ”Akarnya ada pada Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004. Ada beberapa pasal yang rancu,” kata ketua panitia kerja, Sonny Sumarsono.
Sejumlah pasal menyebut kewenangan penempatan dan perlindungan tenaga kerja Indonesia di luar negeri ada pada menteri. Namun pada pasal lain, kewenangan itu ada pada Badan Nasional. ”Jadi, harus ada revisi terbatas,” kata politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ini.
Soal lain adalah tafsir mengenai jabatan Ketua Badan. Jumhur meyakini, menurut undang-undang, dia bertanggung jawab kepada Presiden. Karena itu, ”Dia hanya mau melapor kepada Presiden,” kata Sonny. Adapun Departemen Tenaga Kerja menilai posisi Jumhur di bawahnya. ”Yang melantik Ketua Badan kan saya,” kata Erman.
Wahyu Dhyatmika, Sahala Lumbanraja
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo