Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ironis. Ketika pemerintah ngebut mempercepat pembangunan infrastruktur di sejumlah daerah, jumlah sarjana teknik atau insinyur justru sangat terbatas. Kualitas insinyur yang ada pun tak merata. Posisi penting banyak diisi orang asing.
Kondisi begini bukan kejadian tiba-tiba. Inilah akibat jangka panjang dari kebijakan yang tak visioner. Data Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi menunjukkan bahwa lebih dari separuh dari 7 juta mahasiswa di semua kampus di Indonesia mengambil kuliah di fakultas atau jurusan ilmu sosial dan humaniora. Hanya 16 persen atau 1,1 juta orang yang mengambil jurusan teknik.
Terbatasnya jumlah insinyur terjadi karena setiap kali ada perguruan tinggi baru, baik negeri maupun swasta, selalu dimulai dari fakultas ilmu sosial, ekonomi, dan humaniora. Hal ini wajar karena pendirian fakultas teknik memang membutuhkan biaya besar, terutama untuk pengadaan laboratorium atau tempat praktek, termasuk peralatannya. Kalaupun fasilitas itu tersedia, kondisinya memprihatinkan. Dampaknya adalah pada kualitas lulusan. Indonesia hanya surplus di bidang teknik industri dan teknik informatika.
Jelas perlu ada terobosan dari pemerintah untuk mengatasi krisis--meminjam istilah dari drama seri populer di televisi, Si Doel Anak Sekolahan--"tukang insinyur" ini. Sudah banyak perusahaan swasta membangun universitas, termasuk badan usaha milik negara seperti PLN, Telkom, Pertamina, dan Semen Indonesia. Tapi tambahannya tak seberapa. Sekolah Tinggi Teknik PLN, misalnya, setiap tahun hanya meluluskan seribu insinyur. Untuk memenuhi kebutuhan sendiri saja tak cukup, apalagi untuk memasok proyek lain.
Sampai 2019, pemerintah menggenjot pembangunan infrastruktur di 12 sektor, dengan alokasi Rp 5.500 triliun. Dibutuhkan ratusan ribu insinyur, paling tidak dari 15 bidang studi berbeda. Mereka dibutuhkan pada tahap pembangunan proyek hingga pengoperasiannya kelak. Tahun ini saja pemerintah membutuhkan 72 ribu insinyur, tapi tenaga yang tersedia hanya 18 ribu orang (25 persen). Dengan laju pembangunan yang deras, gap ini diyakini akan bertambah lebar.
Pemerintah perlu mengalokasikan anggaran negara yang lebih besar untuk pendidikan teknik. Hal ini bisa dilakukan dengan merealokasikan anggaran pendidikan yang masif dalam 5-10 tahun ke depan untuk membangun fakultas-fakultas teknik dengan standar yang tinggi. Pemerintah juga harus meningkatkan kualitas fakultas teknik yang sudah ada. Pembangunan fakultas atau sekolah teknik juga perlu diperluas ke luar Jawa. Tak mungkin pemerintah menyerahkan urusan ini kepada pemerintah daerah atau pengelola universitas karena anggaran mereka terbatas.
Tanpa tindakan nyata, kesenjangan itu tak mungkin bisa ditutup dan situasi ini bakal dimanfaatkan tenaga kerja asing. Sejak 2015, setelah Masyarakat Ekonomi ASEAN diberlakukan, sesungguhnya Indonesia tak bisa lagi membatasi masuknya tenaga kerja asing terampil, termasuk insinyur. Bisa jadi, Indonesia akan bertukar banyak tenaga kerja tidak terampil kita di perkebunan-perkebunan di Malaysia dengan para insinyur negeri jiran itu di puluhan pembangkit di sini.
Hal itu tidak hanya menutup peluang tenaga kerja Indonesia di pasar domestik, tapi juga bisa menimbulkan dampak sosial yang buruk. Sangat menyedihkan jika sentimen antiasing meningkat justru karena ketidakmampuan kita menyediakan pendidikan yang memadai untuk seluruh rakyat Indonesia. Kita kalah bukan karena tak mampu bersaing, tapi karena kita tak punya banyak insinyur.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo