Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERDEBATAN tentang apakah ganja dapat menyembuhkan penyakit sebaiknya dilanjutkan dengan penelitian resmi yang dilakukan Kementerian Kesehatan. Selama ini Kementerian Kesehatan sama sekali belum melihat kemungkinan positif ganja.
Ganja lebih merupakan wilayah kepolisian karena dianggap barang haram, narkotik golongan satu. Tanaman ini dihindari sebagai alternatif bagi penyembuhan penyakit. Kasus Fidelis Arie Suderwato, lelaki Sanggau, Kalimantan Barat, yang menanam ganja demi kesembuhan istrinya, membuat kita sebaiknya memikirkan ulang posisi ganja yang selalu dicap barang setan itu.
Yeni Rahmawati, istri Fidelis, mengidap penyakit syringomyelia atawa munculnya kista di sumsum tulang belakang. Ia merasa sedikit demi sedikit sehat tatkala rutin memakai ganja. Tapi, ketika Fidelis ditangkap dan ia berhenti mengkonsumsi ganja, perempuan itu meninggal.
Harus diteliti apakah konsumsi ganja pada pasien seperti Yeni bisa betul-betul menghancurkan kista atawa sekadar memberi efek melupakan rasa sakit. Artinya, ganja bukan menyembuhkan, melainkan hanya memberikan halusinasi yang membuat pasien merasa nyaman. Juga pada pasien diabetes, glaukoma, atau penyakit lain yang katanya bisa sembuh bila rutin sarapan ganja. Penelitian mendesak dibutuhkan untuk menempatkan ganja secara proporsional.
Di Indonesia, Komunitas Lingkar Ganja Nusantara dan Yayasan Sativa Nusantara beberapa tahun terakhir ini gigih mendesak pemerintah melakukan riset terhadap Cannabis sativa. Berpegang pada buku semacam Marijuana Myths, Marijuana Facts karangan Lynn Zimmer, PhD, & John P. Morgan, MD, mereka menyatakan informasi bahwa ganja menghancurkan sel-sel otak adalah mitos yang menyesatkan.
Menurut komunitas ini, beberapa penelitian modern menemukan cannabinoid, zat-zat aktif dalam ganja, justru memiliki efek melindungi sel-sel saraf dan kekebalan tubuh. Yang jadi soal, para ikon populer mereka, seperti tokoh rasta Bob Marley--yang menyebut ganja di Jamaika atau Ethiopia dimuliakan oleh ritual agama tradisional--justru mati muda. Komunitas ini juga aktif mempropagandakan legalisasi ganja.
Di beberapa negara maju, bisa jadi legalisasi ganja disebabkan tingkat ketertiban sosial yang tinggi. Sedangkan di sini, tingkat ketertiban sosialnya masih patut dipertanyakan. Melegalkan ganja untuk masyarakat di sini mungkin belum saatnya. Tapi menurunkan statusnya bukan sebagai narkotik kelas satu harus dipertimbangkan. Morfin, misalnya, kini sudah lazim digunakan untuk mengurangi rasa sakit pasien. Sebagai narkotik, efek sakau morfin lebih kuat daripada ganja. Morfin mampu membuat pecandunya agresif, sedangkan ganja tidak pernah menimbulkan overdosis. Metadon juga dulu narkotik kelas satu, sejajar dengan heroin, tapi belakangan diturunkan menjadi psikotropik kelas dua dan bisa digunakan untuk pengobatan di bawah pengawasan dokter.
Bersamaan dengan itu, penanam ganja demi riset harus diizinkan, asalkan penanam membuat laporan reguler tentang luas penanaman dan hasilnya ke polisi. Sesungguhnya, secara hukum, pertanian ganja sudah diregulasi dalam Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1980 tentang Ketentuan Penanaman Papaver, Koka, dan Ganja. Pengguna ganja atau penanaman ganja demi kepentingan penyembuhan karena itu tak perlu dikriminalisasi.
Aparat jangan membabi-buta menangkap penanam ganja untuk pengobatan. Kasus meninggalnya istri Fidelis hendaknya dijadikan pelajaran.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo