Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Terpilihnya Oesman Sapta Odang sebagai Ketua Dewan Perwakilan Daerah bagaikan tanda kehancuran lembaga ini. Pengusaha asal Kalimantan Barat itu dipilih lewat mekanisme tak wajar. Posisi Oesman yang juga sebagai Ketua Umum Partai Hati Nurani Rakyat akan membuat DPD jadi perwakilan partai politikbukan lagi sebagai perwakilan daerah seperti amanat konstitusi.
Mahkamah Agung semestinya tidak melantik Oesman karena ia dipilih lewat mekanisme yang bertentangan dengan putusan lembaga itu. Kehadiran Wakil Ketua MA Suwardi yang memandu pelantikan pimpinan DPD pekan lalu bahkan melecehkan lembaganya sendiri. MA telah membatalkan Peraturan DPD Nomor 1 Tahun 2016 dan Peraturan DPD Nomor 1 Tahun 2017 yang menjadi dasar pemilihan pimpinan.
Kedua aturan yang memangkas masa jabatan pimpinan DPD tersebut dinilai menabrak Undang-Undang tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Dengan pembatalan lewat putusan uji materi itu, masa jabatan pimpinan DPD tetap lima tahun, bukan dua setengah tahun seperti yang dimuat dalam aturan baru. Artinya, para ¡±senator¡± semestinya tak perlu memilih pimpinan baru karena masa jabatan pejabat sekarang akan berakhir pada 2019.
Alasan seorang pejabat Mahkamah Agung bahwa DPD telah menyesuaikan diri dengan putusan uji materi sungguh menghina akal sehat. Dewan memang telah mengoreksi aturan masa jabatan pimpinan menjadi sama dengan masa kerja anggota. Tapi perubahan lewat Peraturan DPD Nomor 3 Tahun 2017 ini dilakukan menjelang pelantikan. Jika benar-benar tunduk pada putusan MA, para ¡±senator¡± pendukung Oesman seharusnya tidak menggelar pemilihan pimpinan DPD.
Pemilihan pimpinan yang dipaksakan itu memicu konflik sengit di DPD. Tidaklah wajar masa jabatan pimpinan tiba-tiba diubah menjadi dua setengah tahun hanya demi memenuhi nafsu politik. Padahal praktek yang berlangsung selama ini jelas sekali bahwa masa jabatan pimpinan DPD selama lima tahun, seperti berlaku pula di Dewan Perwakilan Rakyat dan Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Gerilya politik itu juga akan menggerogoti peran DPD sebagai lembaga penyalur aspirasi daerah. Posisi Oesman yang juga Ketua Umum Partai Hanura akan cenderung membuat lembaga ini menjadi perwakilan partai. Keadaan DPD akan semakin buruk jika para anggotanya yang penyokong Oesman kemudian berbondong-bondong masuk Partai Hanura.
Awal kehancuran DPD itu sebetulnya sudah dimulai setelah berlaku Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu. Di situ tidak ada lagi larangan bagi anggota dan pengurus partai politik menjadi calon anggota DPD. Kebijakan yang kemudian dikukuhkan oleh Mahkamah Konstitusi ini melebarkan jalan bagi para kader partai masuk DPD.
Walau amat sulit, harus ada upaya menyelamatkan DPD. Langkah ini bisa dimulai dari ¡±senator¡± yang dirugikan oleh manuver politik Oesman dan kawan-kawan. Mereka masih bisa menggugat keabsahan kepemimpinan Oesman lewat Pengadilan Tata Usaha Negara. Pimpinan DPD yang lama mempunyai posisi kuat karena mereka jelas diputuskan dan dilantik lewat rapat paripurna untuk masa jabatan 2014-2019.
Presiden Joko Widodo dan DPR semestinya pula turun tangan untuk mengembalikan posisi DPD menurut amanat konstitusi. Pembenahan bisa dilakukan dengan merevisi Undang-Undang tentang Susunan dan Kedudukan Anggota MPR, DPR, DPRD, dan DPD, juga Undang-Undang Pemilu. Perlu diatur secara tegas bahwa pengurus partai politik tidak boleh menjadi anggota, apalagi memimpin DPD. Sistem ketatanegaraan kita akan amburadul bila DPD bisa ditunggangi partai politik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo