Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SULIT menampik tak ada "penumpang gelap" dalam kerusuhan yang terjadi seusai aksi damai Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Jumat dua pekan lalu. Dari rangkaian kejadian di lapangan dan bukti rekaman video milik petugas kepolisian, kuat indikasi memang ada orang-orang yang sengaja datang untuk mengobarkan kerusuhan.
Berlangsung sejuk pada awalnya, kegaduhan bermula ketika sejumlah orang yang mengenakan atribut Himpunan Mahasiswa Islam melakukan pelemparan ke arah petugas keamanan. Waktu itu mayoritas pengunjuk rasa justru telah meninggalkan kawasan Istana Negara. Akibatnya, 21 kendaraan milik negara rusak dan sejumlah fasilitas transportasi umum terganggu. Presiden Joko Widodo menyatakan ada aktor politik di balik kerusuhan ini. Padahal perwakilan Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia dan Kepala Kepolisian Daerah Metro Jaya sudah membuat kesepakatan bahwa unjuk rasa akan berakhir tepat pukul 18.00.
Menurut Peraturan Kepala Kepolisian RI Nomor 9 Tahun 2008 tentang Tata Cara Penyelenggaraan, Pelayanan, Pengamanan, dan Penanganan Pendapat di Muka Umum, Pasal 6, kegiatan menyampaikan pendapat di tempat terbuka hanya boleh dilakukan hingga pukul enam sore. Setelah itu, petugas kepolisian dimungkinkan melakukan tindakan tegas membubarkan demonstrasi. Namun bukan hanya batas waktu yang dilanggar, aturan tempat unjuk rasa yang diizinkan juga diterabas. Insiden "Jumat hitam" itu terjadi karena para pengunjuk rasa berusaha merangsek ke kompleks Istana. Padahal ada larangan menerobos radius 100 meter dari lingkungan Istana.
Di luar para pendemo yang tak tertib aturan, tidak solidnya petugas keamanan juga patut menjadi catatan. Apalagi jika kabar yang menyebutkan tindakan brutal pendemo dipicu perintah seorang menteri yang meminta polisi tidak membubarkan kerumunan massa pada pukul 18.00 benar adanya. Padahal, dalam rapat koordinasi sebelumnya, sudah diputuskan bahwa unjuk rasa tak boleh berlanjut hingga malam. Ketidakjelasan perintah ini yang membuat petugas di lapangan kocar-kacir.
Tidak ada alasan bagi polisi untuk mundur menangkap pelaku kekerasan dalam unjuk rasa. Mereka yang terbukti melanggar hukum mesti ditindak dan diberi hukuman setimpal. Para penanggung jawab demonstrasi yang sudah memastikan kegiatan mereka berlangsung damai harus ditagih janjinya. Namun polisi tidak boleh berhenti mengusut pelaku lapangan saja. "Aktor intelektual" yang menjadi perencana dan penyandang dana juga harus dikejar. Bukti perintah melakukan tindakan kerusuhan dan aliran dana kepada para pelaku harus dicari dan dijadikan bukti di pengadilan.
Semangat polisi mengungkap dalang demonstrasi rusuh tidak boleh terganggu oleh pengusutan pangkal soal kasus ini, yang melibatkan Basuki Tjahaja Purnama. Calon Gubernur DKI Jakarta ini dilaporkan ke polisi karena dituduh menista agama ketika menyinggung Surat Al-Maidah ayat 51 di hadapan warga Kepulauan Seribu pada akhir September lalu.
Kepolisian tak boleh gentar sedikit pun meski dalam penyidikan menemukan pelaku kerusuhan itu petinggi partai politik, politikus Senayan, atau mantan pejabat negara. Tak boleh ada kompromi sedikit pun atas tindakan melanggar undang-undang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo