Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Mendukung Jurnalisme Bermutu

Survei terbaru yang dikeluarkan oleh Reuters Institute, Digital News Report 2019, menyatakan ada kenaikan atas tren pembaca yang mau menyisihkan uangnya (mendaftar, berlangganan, dan berdonasi) untuk berita yang mereka baca via Internet.

18 Juli 2019 | 07.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ignatius Haryanto
Pengajar Jurnalistik di Universitas Multimedia Nusantara

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Survei terbaru yang dikeluarkan oleh Reuters Institute, Digital News Report 2019, menyatakan ada kenaikan atas tren pembaca yang mau menyisihkan uangnya (mendaftar, berlangganan, dan berdonasi) untuk berita yang mereka baca via Internet. Pertumbuhan jumlah pembaca yang mau membayar tersebut naik tinggi di beberapa negara Skandinavia, seperti Norwegia (34 persen) dan Swedia (27 persen). Adapun di Amerika Serikat naik 16 persen.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perkembangan ini menunjukkan bahwa secara global, kesadaran pembaca yang rela menyisihkan uangnya untuk membaca berita yang baik semakin tinggi. Berita yang baik atau bermutu ini berbeda dengan berita-berita yang mudah tersebar di Internet, yang umumnya mengejar clickbait atau berita-berita sensasional.

Reuters Institute melakukan survei terhadap 75 ribu orang di 38 negara. Hal itu merupakan suatu kerja raksasa walaupun lebih berfokus pada perkembangan negara-negara di Eropa. Negara-negara Asia yang disurvei adalah Jepang, Korea Selatan, Taiwan, Hong Kong, Malaysia, Singapura, dan Australia. Ini adalah tahun kedelapan Reuters Institute bekerja sama dengan Oxford University untuk membuat laporan tahunan tersebut.

Mengaitkan fenomena di Indonesia dengan fenomena global ini, kita melihat sudah waktunya pembaca mau merelakan uangnya-yang mungkin seharga segelas kopi di gerai kopi terkenal-untuk berlangganan media yang ia percaya. Dengan kata lain, jika pembaca telah menyisihkan uangnya untuk berlangganan, ia sudah mendukung pertumbuhan jurnalisme yang bermutu.

Pertengahan Mei lalu, majalah Tempo, yang mengungkap hasil investigasi di balik kerusuhan pasca-pemilihan presiden 2019, hilang di pasaran. Tak lama kemudian, masyarakat mendapat laporan Tempo itu dalam bentuk file PDF. Laporan ini pun menyebar dengan cepat lewat media sosial seperti WhatsApp. Memang insiden ini disayangkan. Banyak anggota masyarakat yang tak sadar bahwa berbagi dan menyebarkan PDF laporan Tempo tersebut sebenarnya adalah bentuk pelanggaran hak cipta. Sudah seharusnya pembaca mau membayar untuk konten bergizi tersebut.

Digital News Report 2019 memberikan suatu catatan bahwa pembaca punya kecenderungan mau berlangganan pada satu media yang ia percaya. Mereka tak mau banyak berlangganan media. Ini fenomena yang disebut subscription fatigue (kejenuhan berlangganan).

Ada satu pertanyaan hipotesis yang diajukan kepada para responden survei ini: "Jika Anda berkesempatan untuk berlangganan satu media tahun depan, apa yang Anda pilih?" Responden menyebut "media berita" sebagai pilihan kedua. Apa pilihan pertamanya? "Langganan video streaming". Hanya 7 persen responden berusia di bawah 45 tahun dan 15 persen responden berusia di atas 45 tahun yang memilih langganan media berita sebagai jawaban pertama.

Wacana mendukung jurnalisme bermutu dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan spektrum usulan yang sangat luas, seperti ide funding journalism (jurnalisme yang didorong oleh kerja sama dengan sejumlah sponsor atau yayasan nirlaba), state funding (bantuan dari negara), dan memperlakukan informasi bermutu sebagai public goods (barang yang memiliki nilai kepentingan publik) sehingga perlu disokong, disumbang, dibantu, dan seterusnya.

Tak mudah mencari formula yang pas untuk mendukungnya, tapi paling tidak lini terdepan untuk mendukung jurnalisme adalah para pembacanya. Jika pembaca rela menyisihkan uangnya untuk mendapatkan berita yang dapat dipercaya, dengan jumlah minimum tertentu, jurnalisme bermutu bisa diselamatkan.

Sumber pendapatan media lain, seperti iklan, juga mengalami perubahan mengikuti perubahan pola pembaca mengkonsumsi atau mengakses media. Sementara itu, sejumlah media pun menggelar aneka kegiatan di luar penerbitan dengan mengadakan sejumlah kegiatan yang mengumpulkan kerumunan untuk mendapatkan pemasukan.

Tak ada pola baku yang bisa diambil alih begitu saja dari pengalaman di tempat-tempat lain. Namun, dengan terus mencermati perkembangan, berinovasi, dan meneliti dampak inovasi dan terobosan, suatu saat media akan menemukan model bisnis tersendiri yang cocok untuk dirinya.

Laporan Reuters Institute juga memberikan peringatan bahwa hanya pihak tertentu yang kemudian menggaet kepercayaan publik dan akan berjaya dengan kesuksesannya. Artinya, terlalu banyak pemain dalam pasar yang sama pada akhirnya hanya menyisakan nama-nama besar yang bertahan.

Terlepas dari masalah itu, mari kita mulai semakin menghargai jurnalisme yang bermutu, karena jurnalisme bermutu akan membuat kita, para pembaca, dapat mengetahui situasi di sekitar kita dengan lebih tepat karena didasari informasi yang akurat dan independen. Jurnalisme yang bermutu juga menguak hal-hal yang selama ini ditutup-tutupi dan jurnalisme semacam ini tetap akan menjadi institusi kontrol sosial yang efektif dalam sebuah negara yang demokratis.

Ignatius Haryanto

Ignatius Haryanto

Pengajar jurnalistik di Universitas Multimedia Nusantara, Banten. Anggota KONDISI (Kelompok Kerja Disinformasi di Indonesia), dan anggota Kaukus Revisi UU Penyiaran.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus