Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Langkah pemerintah memperbaiki data produksi beras nasional patut diapresiasi. Penghitungan terbaru oleh Badan Pusat Statistik semestinya mengakhiri polemik beras. Data ini bisa dijadikan dasar perlu-tidaknya mengimpor beras, tanpa harus mengundang perdebatan yang memalukan di kalangan pejabat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dibeberkan dalam rapat terbatas yang dipimpin Wakil Presiden Jusuf Kalla, Senin lalu, hasil penghitungan BPS itu memperlihatkan bahwa data produksi beras selama ini kurang akurat. BPS menghitung produksi beras nasional hanya 32,42 juta ton pada 2018, jauh di bawah prediksi Kementerian Pertanian yang memperkirakan produksi beras mencapai 46,5 juta ton.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Data Kementerian Pertanian meleset karena hanya didasarkan pada luas sawah. Jusuf Kalla pun mengakui bahwa data produksi beras tak pernah akurat sejak 20 tahun lalu. Adapun metode yang dipakai sekarang lebih canggih. Penghitungannya melalui beberapa tahap, dari menghitung luas baku sawah nasional, luas panen, hingga mengkonversi gabah kering menjadi beras.
Selain BPS, penghitungan itu melibatkan Kementerian Agraria dan Tata Ruang, Badan Informasi Geospasial, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional, serta Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. Kali ini Kementerian Pertanian tak masuk dalam tim.
Tak dilibatkannya Kementerian Pertanian sudah tepat agar tidak menimbulkan konflik kepentingan. Kementerian ini sebaiknya pula berkonsentrasi melakukan intensifikasi dan efisiensi produksi beras ketimbang memperluas sawah secara membabi-buta. Pemerintah juga tidak perlu menargetkan swasembada beras jika keinginan ini memang tak masuk akal.
Berdasarkan data yang baru itu, sebetulnya produksi beras nasional masih surplus 2,85 juta ton pada tahun ini. Asumsinya, konsumsi beras masyarakat kita 29,57 juta ton per tahun. Angka surplus yang kecil itu lebih masuk akal. Jika menggunakan hitungan Kementerian Pertanian, surplusnya amatlah besar. Hal ini tidak sesuai dengan fakta bahwa harga beras di pasar sering naik akibat pasokan berkurang, bahkan perlu mengimpor.
Metode penghitungan terbaru itu hendaknya dibakukan dan menjadi dasar kebijakan pemerintah dalam menjaga produksi beras dalam negeri. Data produksi beras itu perlu diperbarui secara berkala dan dijadikan pertimbangan pula dalam mengimpor beras. Selama ini kebijakan mengimpor beras yang dilakukan Kementerian Perdagangan selalu mengundang keributan. Penyebabnya, antara lain, Kementerian Pertanian meyakini hasil produksi beras nasional melimpah-ruah.
Pemerintah tidak perlu mati-matian mengejar swasembada beras bila “kebanggaan semu” ini sulit dicapai. Impor beras pun tak jadi masalah asalkan dilakukan secara transparan dan semata-mata bertujuan menjaga stabilitas harga kebutuhan pokok ini. (*)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo