Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Korupsi Membayangi Penghiliran

Dengan riwayat tata kelola yang buruk, program penghiliran atau hilirisasi mineral di Indonesia rawan korupsi. Bagaimana upaya mencegahnya?

20 Maret 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi: Tempo/J. Prasongko

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jaya Darmawan
Peneliti Center of Economic and Law Studies (Celios)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pemerintah mewacanakan penghiliran mineral, atau yang populer disebut hilirisasi, sebagai kunci utama bagi Indonesia keluar dari middle income trap dan menjadi negara maju. Dampak positif penghiliran sering diklaim berkaitan dengan peningkatan nilai produk sumber daya alam sehingga meningkatkan anggaran pemerintah untuk membiayai program itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Badan Koordinasi Penanaman Modal dalam laporan terbarunya mencatat capaian nilai ekonomi penghiliran pada 2023 sebesar Rp 375,4 triliun. Dari jumlah itu, penghiliran mineral diklaim menyumbang Rp 216,8 triliun atau 57 persen lebih dari total capaian.

Di balik angka-angka yang terlihat mentereng itu, kita tidak bisa melupakan bahwa sektor pertambangan dan mineral diwarnai berbagai kasus korupsi serta punya riwayat tata kelola yang lemah. Kondisi ini menjadi indikasi bahwa sebuah negara mengalami natural resource curse hypothesis—kutukan berupa kerugian ekonomi pada negara-negara yang memiliki kekayaan sumber daya alam. Hal ini bisa dibuktikan dari berbagai laporan independen mengenai korupsi di bidang mineral dan pertambangan batu bara. Laporan Bersihkan Indonesia pada 2018 berjudul "Coalruption" menyimpulkan sektor pertambangan batu bara menjadi sumber korupsi politik. 

Bukan hanya itu, penelitian berjudul "Fenomena Natural Resource Curse dalam Pembangunan Wilayah di Indonesia" mengungkapkan, fenomena tersebut juga bahkan terjadi di level daerah. Hasil penelitian itu menyebutkan besarnya ketergantungan terhadap sumber daya alam tambang tidak menjamin pemerintah daerah mampu menciptakan kinerja pembangunan berkelanjutan yang tinggi. Fenomena kutukan sumber daya alam ini lebih rentan terjadi pada provinsi dengan ketergantungan sumber daya alam tambang yang lebih besar.

Kondisi ini diperparah oleh Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia yang makin mengkhawatirkan, turun empat poin pada 2022 dari tahun sebelumnya. Penurunan ini tercatat menjadi yang terbesar sejak 1995. Setahun kemudian, pada 2023, posisi Indonesia turun dari posisi ke-110 menjadi ke-115 dari 180 negara. Hal ini bukan berita menggembirakan karena IPK Indonesia berada di bawah rata-rata IPK global dengan nilai 43. Peringkat Indonesia bahkan di bawah Timor Leste, yang mendapat nilai 42. 

Ancaman Korupsi Program Penghiliran

Korupsi menjadi ancaman paling serius bagi tata kelola mineral Indonesia. Indonesia seharusnya belajar dari pengalaman Kongo, Bolivia, dan Brasil yang sangat kaya akan sumber daya alam mineral. Berkah sumber daya alam yang dimiliki ketiga negara tersebut menjadi malapetaka karena dikelola dengan korup. Kekayaan mineral, seperti kobalt, litium, dan bijih besi, yang dibutuhkan dunia untuk transisi energi menciptakan kerugian multidimensi yang dahsyat. Pertambangan kobalt di Kongo, litium di Bolivia, dan bijih besi di Brasil menyebabkan kerusakan alam, perampasan lahan, kehilangan mata pencarian, pelanggaran hak asasi manusia, hingga perdagangan manusia. 

Sebaliknya, pengelolaan sumber daya alam dan mineral yang baik, dilakukan dengan prinsip antikorupsi dan diiringi inovasi industri, dapat membawa peningkatan perekonomian yang berkualitas. Seperti yang terjadi di Australia dan Norwegia. Kekayaan sumber daya alam mineral kedua negara ditunjang dengan infrastruktur negara demokrasi yang meritokratis, inovatif, transparan, dan berintegritas sehingga menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang adil. 

Tata kelola yang baik, yang dijalankan dengan prinsip berkelanjutan dan antikorupsi, harus diterapkan untuk meminimalkan proses penghiliran mineral yang merugikan masyarakat, lingkungan, dan perekonomian. Penguatan tata kelola mineral untuk melawan korupsi bisa ditempuh dengan beberapa cara. Cara pertama dan paling fundamental adalah menguatkan lembaga antirasuah. Komisi Pemberantasan Korupsi harus kembali menjadi lembaga independen, tidak berada di bawah eksekutif. Sebelum revisi Undang-Undang KPK pada 2019, lembaga ini mampu menghasilkan kinerja paling progresif dalam melawan korupsi di sektor mineral dan batu bara.

Langkah kedua adalah penggunaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Sejauh ini KPK hanya pernah menggunakan undang-undang ini 50 kali atau 9,27 persen dalam 539 perkara korupsi yang ditangani selama 2004-2022. Undang-Undang TPPU akan menjadi skema ampuh dalam melawan dan memberantas korupsi di sektor ekstraktif, termasuk penghiliran mineral. Menjerat koruptor dengan undang-undang ini memungkinkan KPK menunda transaksi harta kekayaan yang diketahui dan diduga merupakan hasil kejahatan, sesuai dengan Pasal 70 UU TPPU.

KPK juga bisa melakukan penerapan kumulatif third party money laundering dan stand-alone money laundering untuk memberikan efek jera serta meningkatkan asset recovery. Selain itu, upaya memutuskan harta kekayaan yang diketahui/patut diduga merupakan hasil tindak pidana menjadi aset negara atau dikembalikan kepada yang berhak bisa ditempuh menggunakan Pasal 67 Undang-Undang TPPU. Pasal 5 dalam aturan tersebut juga bisa digunakan untuk menjerat siapa pun yang menikmati hasil korupsi, dari pelaku yang menerima, menguasai, hingga menggunakan harta kekayaan hasil tindak pidana korupsi.

Tata Kelola Bertanggung Jawab

Penguatan tata kelola penghiliran mineral tidak hanya diusahakan dengan pendekatan penegakan hukum, tapi juga bisa didukung dengan implementasi standar environmental, social, and governance (ESG) yang ketat. Salah satu standar ESG dalam pengelolaan penghiliran mineral adalah Initiative for Responsible Mining Assurance (IRMA). Standar IRMA memiliki mekanisme yang inklusif, rinci, dan transparan pada laporan publik. 

Inklusivitas standar ini tecermin dari keterwakilan setara sektor swasta dan masyarakat sipil dalam dewan. Dewan multisektor IRMA terdiri atas perusahaan pertambangan, perusahaan pembelian, lembaga swadaya masyarakat, serikat pekerja, masyarakat yang terkena dampak, investor, dan keuangan. Keterwakilan ini penting untuk memberikan pengawasan yang lebih ketat, di mana suatu topik tidak dapat lolos jika salah satu anggota dewan secara fundamental menentangnya.

Standar ini memiliki kelebihan, antara lain adanya panduan pengauditan tentang kapan harus berkonsultasi dengan masyarakat, pekerja, dan organisasi masyarakat sipil yang terkena dampak; hanya berfokus pada tambang tertentu dan tidak bermaksud menilai praktik perusahaan di luar lokasi tambang yang sedang ditinjau; serta tak menawarkan sertifikat lulus atau gagal kepada tambang, melainkan memberikan penghargaan kepada tambang dengan tingkat capaian berdasarkan kinerjanya terhadap standar transparansi IRMA. 

Selain itu, dalam mencapai kriteria prinsip IRMA terdapat persyaratan penting berupa perolehan persetujuan bebas, didahulukan, dan diinformasikan dari masyarakat adat untuk operasi penambangan serta persyaratan rinci mengenai tailing dan pengelolaan limbah.

Standar IRMA memang masih memiliki kelemahan dalam hal independensi auditor, upaya perbaikan kerugian, dan detail pengungkapan publik. Proses audit yang bersifat sukarela atau inisiatif perusahaan memang tidak bisa menjadi jaminan mutlak atas berlakunya HAM dan bebas dari kerusakan pertambangan lain. Namun setidaknya hal ini bisa menjadi informasi bagi regulator, masyarakat, investor, dan pelanggan tentang praktik ekstraktif, terutama di sektor penghiliran mineral.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

PENGUMUMAN

Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan nomor kontak dan CV ringkas.

Jaya Darmawan

Jaya Darmawan

Peneliti Center Of Economic and Law Studies

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus