Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kementerian Kelautan dan Perikanan akan menerapkan kontrak perikanan terukur.
Kebijakan ini muncul di tengah industri perikanan yang sedang terpuruk.
Sistem kontrak dinilai memberatkan pelaku usaha perikanan.
Hendra Sugandhi
Wakil Ketua Komite Perikanan Apindo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kementerian Kelautan dan Perikanan sedang berusaha meningkatkan penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Salah satunya melalui kontrak perikanan terukur. Hal ini terjadi di tengah industri perikanan yang sedang terpuruk.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemilik kapal penangkap ikan ukuran menengah sudah tidak sanggup lagi membayar pungutan dan terpaksa menghentikan kegiatan penangkapan. Ini tecermin dari merosotnya jumlah surat izin penangkapan ikan (SIPI) bagi kapal di atas 30 GT (gross tonnage). Per 21 September 2021, tercatat ada 5.108 SIPI, yang setara dengan 486.568 GT, dan turun signifikan menjadi 3.218 SIPI, yang setara dengan 262.998 GT, per 17 Januari 2022. Hal ini dibarengi dengan semakin kecilnya ukuran rata-rata kapal dan turunnya jumlah surat izin kapal pengangkut ikan (SIKPI). Kondisi ini akan berdampak luas terhadap berkurangnya lapangan kerja, menyusutnya pasokan bahan baku ke unit pengolahan ikan, dan turunnya ekspor hasil perikanan.
Kini Kementerian akan menerapkan kontrak perikanan terukur. Kebijakan ini menerapkan formula sistem kontrak kerja sama di empat zona industri perikanan berbasis kuota yang akan berlaku mulai Maret 2022.
Kementerian tampak memiliki persepsi yang bertolak belakang dengan pelaku usaha dan mengesampingkan penurunan jumlah SIPI serta SIKPI. Perbedaan persepsi ini memperlihatkan tersumbatnya komunikasi. Kementerian tampak kurang peduli atas keberatan pelaku usaha, yang memilih tidak memperpanjang SIPI dan SIKPI karena sudah tidak layak usaha. Kementerian seharusnya lebih sensitif dan memiliki sense of crisis dalam melihat masalah ini.
Dalam sistem perikanan terukur, pelaku usaha perorangan harus membentuk badan usaha atau bergabung membentuk konsorsium. Ini merupakan persyaratan sistem kontrak dengan kuota penangkapan ikan minimal 100 ribu ton. Mereka juga harus memiliki modal usaha yang sangat besar, paling sedikit Rp 200 miliar di luar tanah dan bangunan tempat usaha. Masa berlaku kontrak selama 15 tahun dan dapat diperpanjang satu kali.
Nilai nominal kontrak merupakan indeks tarif dikalikan nilai produksi ikan sesuai dengan kuota usaha selama masa kontrak. Bilamana jumlah tangkapan ikan tidak mencapai kuota per tahun, pemegang kontrak tetap harus membayar pungutan hasil perikanan (PHP) sesuai dengan target. Jika perolehannya di atas 100 persen, mereka harus membayar kelebihannya. Dengan kata lain, pelaku usaha harus menanggung risiko penuh untuk merealisasi 100 persen kuota tersebut.
Kementerian sepertinya mengesampingkan faktor ketidakpastian dalam usaha penangkapan ikan, termasuk estimasi stok ikan yang seolah-olah statis. Faktanya, stok ikan sangatlah dinamis dan tidak mustahil terjadi penurunan. Dinamika ini seharusnya menjadi alat pengendalian dalam pengelolaan sumber daya ikan.
Pada mulanya Kementerian memberikan jangka waktu kontrak selama 20 tahun, tapi kemudian dikoreksi menjadi 15 tahun. Pertimbangannya adalah untuk memberi kepastian dan jaminan kepada dunia usaha karena nilai investasinya relatif besar sehingga tingkat pengembalian investasi cukup lama.
Sebelum terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 85 Tahun 2021, Badan Kebijakan Fiskal meneliti masa pengembalian investasi (payback period) pada usaha penangkapan ikan. Untuk ukuran kapal minimal 100 GT, masa pengembalian diperkirakan sekitar lima tahun. Artinya, arus kas laba bersih mereka adalah 20 persen per tahun berdasarkan harga patokan ikan lama.
Penerapan sistem kontrak diperkirakan akan menurunkan separuh laba bersih pelaku usaha. Ini akan berdampak terhadap tingkat pengembalian investasi yang akan semakin lama, sekitar 10 tahun. Jika disertai kenaikan harga patokan ikan dan produktivitas dengan tarif per gross tonnage rata-rata naik 1,6 kali lipat untuk kapal di atas 60 GT, labanya malah menjadi negatif.
Kementerian Kelautan dan Perikanan seharusnya mengayomi semua pelaku usaha penangkapan ikan skala kecil, menengah, dan besar. Kementerian sebaiknya membuka komunikasi lebih luas untuk menelaah lebih dalam akar permasalahan penerimaan negara. Kerja sama antara pemerintah dan pelaku usaha harus lebih adil dan mengedepankan asas simbiosis mutualisme. Sistem kontrak perikanan terukur harus dikaji ulang agar usaha penangkapan ikan yang sudah tersungkur dapat bangkit kembali.
*) Tulisan ini merupakan opini pribadi.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo