Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pemerintah mencabut subsidi BBM untuk mengurangi beban berat untuk membayar utang.
Sayangnya, kenaikan utang tak diikuti pertumbuhan ekonomi yang tinggi.
Akibatnya, pemerintah sebenarnya sedang gali lubang tutup lubang.
Ronny P. Sasmita
Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mengapa pemerintah kini menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM)? Jumlah subsidi energi kita berbeda tipis dengan jumlah tagihan dan bunga utang pemerintah setiap tahun. Dalam kondisi saat ini, penambahan subsidi berarti penurunan kapasitas anggaran untuk membayar tagihan dan bunga utang pemerintah. Para kreditor tentu akan sangat waswas melihatnya. Dalam konteks inilah mengapa pemerintah mencabut subsidi BBM dan berbagai kebijakan penyesuaian struktural lainnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam bahasa sederhana, beban cicilan dan bunga utang yang besar, jika tak diikuti dengan pertumbuhan ekonomi dan setoran pajak yang tinggi, akan membebani perekonomian nasional.
Beban bunga utang itu sebesar Rp 300-400 triliun setiap tahun. Adapun subsidi energi sebesar Rp 502,4 triliun dalam APBN Perubahan 2022. Artinya, pemerintah berhadapan dengan empat opsi. Pertama, mencabut subsidi energi. Kedua, mengurangi belanja lainnya, termasuk mengurangi biaya operasional pemerintah, menunda proyek-proyek strategis semacam pembangunan ibu kota negara baru, mengurangi gaji anggota direksi dan komisaris BUMN, serta pengurangan lainnya. Ketiga, menegosiasi ulang tagihan dan bunga utang, yang tentu berbahaya karena pemerintah bisa kesulitan mengutang lagi nanti. Keempat, menambah utang untuk menutupi subsidi serta menambah anggaran untuk cicilan dan bunga utang. Pemerintah akhirnya memilih opsi pertama, yakni memangkas subsidi energi. Hasilnya, harga BBM akhirnya naik.
Namun tidak berarti pemerintah kemudian tidak menambah jumlah utang. Utang tetap jalan terus. Menaikkan harga BBM bukan untuk mengurangi utang, melainkan agar tidak terlalu banyak berutang pada tahun ini dan tahun depan. Itu saja. Lantas, mengapa dan dalam konteks apa pemerintahan Jokowi dari tahun ke tahun tetap mencatatkan utang yang jauh lebih besar dibanding pemerintahan sebelumnya?
Pertumbuhan utang sejak 2015 jauh melampaui pertumbuhan ekonomi dan bahkan di atas pertumbuhan penerimaan negara, baik pajak maupun non-pajak. Rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) tahun ini mencapai 40 persen lebih dengan estimasi nominal sekitar Rp 7.000 triliun. Sedangkan pada awal pemerintahan Jokowi, pada 2015, hanya berkisar 24 persen dari PDB atau sekitar Rp 2.400 triliun.
Jumlah tersebut memang cukup mengkhawatirkan, mengingat pertumbuhan utang yang sangat cepat, tapi belum menghasilkan pertumbuhan ekonomi untuk mengimbanginya. Lalu, mengapa pemerintah terus menambahnya? Sejak awal pemerintahan Jokowi, pertumbuhan utang pemerintah dibalut dengan justifikasi atas percepatan pembangunan infrastruktur (countercyclical), yang di dalamnya anggaran negara tak sepenuhnya mampu menutupinya.
Alasan pertama pemerintah menerapkan kebijakan utang ini tentu saja karena rezim anggaran defisit (budget deficit) yang dianut pemerintah dan diperlebar dengan alasan pandemi Covid-19. Dengan kata lain, belanja negara akan selalu lebih besar dibanding pendapatan sehingga utang dijadikan penambalnya. Dalam kondisi tertentu, ketika fluktuasi mata uang dianggap kurang menguntungkan, utang juga digunakan pemerintah untuk mendapatkan tambahan dolar Amerika Serikat agar mempertebal devisa (foreign exchange reserve) dengan menerbitkan surat utang berdenominasi dolar agar rupiah tidak terlalu tepar.
Kedua, dalam perspektif utang, keuangan negara memang tidak sama dengan keuangan rumah tangga. Utang bagi negara dan pemerintah akan dihitung sebagai "national income" alias pendapatan nasional. Artinya, pemerintah, terutama di bawah rezim fiskal Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, tampaknya memang sangat memahami peran utang dalam mencegah semakin memburuknya kondisi pertumbuhan ekonomi nasional. Bisa dibayangkan berapa angka pertumbuhan yang diraih pemerintahan Jokowi sedari awal jika tidak ditopang oleh pertumbuhan utang yang sangat cepat. Boleh jadi pertumbuhan itu hanya sekitar 4 persen atau lebih rendah lagi.
Ketiga, sebab lainnya hampir mirip dengan kondisi di Jepang. Perbankan berperilaku kurang sinkron dengan ambisi pemerintah yang haus akan pertumbuhan dari sisi investasi. Perbankan nasional terlihat sangat berhati-hati alias tidak secara masif menggelontorkan kredit ke dunia investasi dan bisnis. Lihat saja, perbankan hanya mematuhi setengah dari kebijakan moneter Bank Indonesia. Perbankan cepat sekali menurunkan suku bunga deposito jika Bank Indonesia menurunkan tingkat suku bunga, tapi membiarkan suku bunga kredit menggantung tinggi di langit.
Suku bunga deposito berkisar 3-4 persen sesuai dengan batasan deposit interest facility dari BI, tapi akan habis disantap inflasi. Adapun suku bunga kredit membubung di angka 8-13 persen. Perilaku perbankan yang menetapkan selisih lebar antara suku bunga kredit dan deposito ini mengindikasikan bahwa perbankan memandang ekonomi nasional sedang dalam posisi yang cukup berbahaya alias tidak kondusif untuk kredit investasi. Jadi, sangat tidak mengherankan jika pertumbuhan kredit tidak terlalu agresif di saat pertumbuhan dana pihak ketiga yang justru sangat masif.
Saya menduga inilah sebab lain mengapa pemerintah tetap percaya diri meningkatkan eksposur utang. Ada berlimpah likuiditas di perbankan nasional yang gagal menjadi kredit alias gagal menjadi penggerak pertumbuhan ekonomi nasional akibat buruknya prospek ekonomi dan prospek investasi. Tampaknya pihak perbankan sangat menyadari kelemahan ekonomi nasional yang belum menunjukkan tanda-tanda positif untuk kredit investasi. Walhasil, secara tak langsung, kreditor pemerintah—dari perbankan, dana pensiun, hedge fund, hingga pengelola aset—malah mencari celah pendapatan dari dana pajak yang akan dibayarkan pemerintah atas nama imbal hasil (yield) surat utang. Paradoksal memang.
Bagi perusahaan pun demikian. Apa yang bisa diharapkan dari ekonomi yang hanya tumbuh 4 persen, sementara bunga kredit 8-13 persen? Mau membayar bunga kredit pakai apa nantinya? Perbandingan pertumbuhan ekonomi yang rendah dan suku bunga kredit yang sangat tinggi ini menjadi fakta vulgar bahwa berinvestasi saat ini bukanlah pilihan yang masuk akal secara bisnis.
Inilah agaknya yang memotivasi mengapa pemerintah mengguyur terus sistem keuangan nasional kita dengan surat utang negara. Tujuannya agar tumpukan likuiditas tidak mangkrak alias tidak produktif di perbankan di satu sisi dan bisa ditransmisikan segera ke sektor riil via proyek-proyek infrastruktur pemerintah atau pembiayaan program-program sosial kemasyarakatan yang dibiayai utang negara di sisi lain.
Ini bukan tanpa risiko, tentunya. Jika pertumbuhan utang yang agresif ternyata gagal ditransmisikan menjadi pertumbuhan ekonomi yang tinggi, sebagaimana yang kita alami hari ini, angka rasio utang terhadap PDB akan semakin membesar, jauh meninggalkan rasio penerimaan pajak (tax ratio) yang bergerak lambat. Yang terjadi kemudian adalah pemerintah terus menambah utang untuk mencicil utang dan batas atas 60 persen PDB akan tersentuh, sebagaimana disyaratkan konstitusi, lalu pemerintah akan merevisinya. Pemerintah dan rakyat akhirnya sama-sama merugi.
Tak ada cara lain bagi pemerintah selain serius menjadikan tumpukan surat utang yang telah dilepas ke pasar keuangan sebagai landasan menciptakan pertumbuhan ekonomi yang tinggi agar prospek investasi kembali cerah. Semakin stagnan perekonomian nasional, semakin kurang baik prospek investasi. Perbankan akan semakin kikir dan akhirnya pemerintah harus menambah jumlah utang untuk bisa tetap berbelanja agar roda ekonomi nasional tidak mampet dan terpuruk semakin dalam. Jika pemerintah gagal menjadikan utang sebagai instrumen fiskal produktif untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, Indonesia akan seperti Jepang justru sebelum Indonesia menjadi negara maju, yakni perpaduan antara resesi dan stagnasi. Inilah situasi yang kita alami hari ini.
Inilah fenomena gali lubang tutup lubang. Jokowi tetap senang karena mimpi infrastrukturnya tetap jalan terus. Sri Mulyani juga tetap semringah karena dari sisi fiskal anggaran dianggap tetap sehat, meskipun harus menyakiti puluhan juta saku rakyat Indonesia. Para kreditor tetap tersenyum simpul karena bisa tetap membeli surat utang pemerintah dengan bunga yang seksi, tapi bunga utang itu dibayar dengan uang pajak yang dipungut dari tetesan keringat rakyat banyak.
PENGUMUMAN
Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan nomor kontak dan CV ringkas.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo