Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Masalah Konversi Perwira TNI ke Jabatan Sipil

Menteri Luhut ingin merevisi Undang-Undang TNI agar perwira TNI aktif dapat ditugaskan di kementerian/lembaga tanpa harus purnawirawan. Reformasi TNI dan birokrasi belum tuntas.

29 Agustus 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Tempo/Kendra Paramita

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Keinginan Luhut agar perwira aktif TNI dapat ditugaskan di jabatan sipil akan menimbulkan masalah baru.

  • Masalah kelebihan jenderal di lembaga TNI harus diselesaikan oleh TNI sendiri.

  • Ranah sipil pun mengalami kelebihan pejabat tinggi pratama dan pejabat tinggi madya.

M. Nurul Fajri
Tenaga Ahli Biro Hukum Kementerian Agraria

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baru-baru ini Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengusulkan agar Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia direvisi. Tujuannya supaya perwira TNI aktif dapat ditugaskan di kementerian atau lembaga tanpa harus menunggu jadi purnawirawan atau dipurnawirawankan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Usulan Luhut ini sejatinya tidaklah baru. Beberapa waktu belakangan, tanpa mengubah Undang-Undang TNI pun, penempatan perwira TNI aktif di jabatan sipil telah dilakukan. Secara tidak langsung, hal ini tentu telah membangunkan kembali dwifungsi ABRI atau militerisme di ranah sipil. Padahal salah satu jati diri TNI yang dinyatakan dalam Undang-Undang TNI adalah TNI yang profesional, yaitu tentara yang terlatih, terdidik, diperlengkapi secara baik, tidak berpolitik praktis, tidak berbisnis, dan dijamin kesejahteraannya serta mengikuti kebijakan politik negara yang menganut prinsip demokrasi, supremasi sipil, hak asasi manusia, ketentuan hukum nasional, dan hukum internasional yang telah diratifikasi. Mengembalikan TNI ke ranah sipil tentu membawa kemunduran demokrasi di Indonesia karena bertentangan dengan semangat reformasi.

Sekalipun masih wacana dan berbahaya bagi demokrasi di Indonesia, pernyataan Luhut ini juga merupakan sebuah pengakuan akan masalah penempatan perwira TNI aktif di jabatan sipil. Ia mengakui adanya pengingkaran terhadap ketentuan Pasal 47 Undang-Undang TNI, yang menegaskan bahwa prajurit TNI yang menduduki jabatan sipil harus lebih dulu melepaskan diri dari dinas aktif di institusi TNI.

Apa yang dikatakan Luhut secara tidak langsung telah menampar wajah Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, yang beberapa waktu lalu mengangkat perwira TNI aktif menjadi penjabat kepala daerah. Luhut pun turut menganulir pengingkaran terhadap penunjukan penjabat kepala daerah yang mengesampingkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-XX/2022. Putusan Mahkamah tersebut menggariskan bahwa jabatan struktural aparatur sipil negara yang dapat diisi anggota TNI/Polri aktif sesuai dengan Pasal 47 Undang-Undang TNI hanya diperbolehkan pada kantor yang membidangi politik dan keamanan negara, pertahanan negara, Sekretaris Militer Presiden, intelijen negara, sandi negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, Search and Rescue (SAR) Nasional, Badan Narkotika Nasional, dan Mahkamah Agung. Itu pun hanya dapat dilakukan atas permintaan pimpinan departemen dan lembaga pemerintahan nondepartemen, serta tunduk kepada ketentuan administrasi yang berlaku. Dalam hal ini, jabatan di pemerintah daerah tidaklah termasuk sebagai salah satu jabatan struktural yang diperbolehkan tersebut.

Apalagi keputusan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengangkat perwira aktif TNI menjadi penjabat kepala daerah itu bukan tidak mungkin akan bertambah jumlahnya, mengingat pemilihan kepala daerah serentak baru akan diselenggarakan pada November 2024. Sebanyak 272 kepala daerah habis atau akan habis masa jabatannya sebelum pemilihan dilaksanakan. Luhut secara implisit menegaskan bahwa pelibatan perwira aktif TNI di ranah sipil selama ini seharusnya berpegang pada ketentuan dalam Undang-Undang TNI, bukan peraturan perundang-undangan lain di bawah undang-undang yang jelas bertentangan.

Kelebihan jumlah perwira berpangkat jenderal adalah masalah lain yang dijelaskan oleh Luhut sebagai dasar mengapa Undang-Undang TNI harus diubah. Perubahan undang-undang ini diharapkan dapat menghindari munculnya konflik di lingkup internal TNI yang terjadi karena perebutan jabatan. Alasan kedua yang disampaikan Luhut ini secara tersirat menegaskan bahwa reformasi di tubuh TNI belumlah selesai, terutama dalam manajemen sumber daya manusia. Namun persoalan kelebihan jenderal ini semestinya tidak dipahami dengan mengubah Undang-Undang TNI untuk menyebar para perwira di jabatan sipil, karena idealnya mekanisme promosi yang lebih selektiflah yang harus diterapkan. Permasalahan di tubuh TNI semestinya diselesaikan secara internal, karena kelebihan jumlah perwira tinggi terjadi lantaran sistem promosi kepangkatan di tubuh TNI itu sendiri.

Opsi menyelesaikan masalah tersebut, dengan membuka kemungkinan konversi perwira TNI aktif dapat menduduki jabatan sipil, justru akan menimbulkan masalah baru. Sebab, di ranah sipil pun terjadi kelebihan jumlah pejabat tinggi pratama dan pejabat tinggi madya. Bukti nyata kelebihan ini dapat dilihat dengan pembentukan organisasi tata kelola di kementerian/lembaga, saat tugas dan fungsi masing-masing organisasi yang setingkat sejatinya tidak begitu jelas demarkasinya atau, dengan kata lain, mereka seharusnya dapat digabungkan menjadi satu, tapi kemudian justru dipecah menjadi beberapa.

Tak jarang hal di atas dilakukan hanya untuk mengakomodasi keberadaan jabatan tertentu setingkat eselon II dan eselon I atau bahkan kementerian. Misalnya, penggabungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dengan Kementerian Agraria dan Tata Ruang. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral digabung dengan Kementerian Kelautan. Kementerian Koordinator Perekonomian diubah menjadi kementerian teknis dan digabung dengan Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Mikro, Kementerian Investasi, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, serta Kementerian Badan Usaha Milik Negara, karena kementerian tersebut memiliki ruang lingkup kerja yang relatif sama.

Cara lain, dengan penggabungan Direktorat Jenderal Tata Ruang di Kementerian Agraria dan Tata Ruang ke Badan Perencanaan Pembangunan Nasional di bawah Kedeputian Pengembangan Regional, karena tugas dan fungsi bidang tata ruang merupakan unit kerja di bagian hulu atau perencanaan. Akan lebih ideal apabila mereka terintegrasi di bawah Badan Perencanaan Pembangunan Nasional.

Maka, masuknya perwira TNI aktif untuk menduduki jabatan sipil tentu hanya memindahkan lokus permasalahan yang ada di institusi TNI ke kementerian/lembaga, dan sudah bisa dipastikan akan menambah permasalahan yang hingga hari ini belum terselesaikan di kementerian/lembaga. Meski demikian, persoalan ini juga membuktikan, baik di institusi TNI maupun di kementerian/lembaga, reformasi birokrasi masih merupakan persoalan yang belum selesai.

 


PENGUMUMAN

Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan nomor kontak dan CV ringkas.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus