Pemilihan Gubernur DKI Jakarta berlangsung sudah. Sebelumnya, ramai diberitakan tentang calon-calon yang akan maju ke gelanggang pemilihan. TEMPO (Nasional, 12 September) mengulas nama-nama, antara lain, Wiyogo Atmodarminto, Kolonel(pur.) Sujud, dan Kaharuddin sebagai calon-calon gubernur DKI Jakarta. Meskipun peristiwanya telah berlalu, saya ingin mempertanyakan, mengapa orang-orang yang ditetapkan sebagai calon gubernur oleh DPRD DKI Jakarta bersama Mendagri itu orang-orang yang tidak dikenal masyarakat Jakarta. Bahkan, tak dikenal oleh mayoritas anggota DPRD itu sendiri. Selain tak dikenal, para calon itu juga tak mempunyai cukup pengalaman untuk dapat memegang kendali pemerintahan yang rumit di DKI Jakarta. Mengapa bukan ketiga wakil gubernur DKI Jakarta yang dicalonkan? Mereka, jelas, sudah dikenal masyarakat Jakarta, mempunyai cukup pengalaman di bidang pengendalian pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, dan pembinaan masyarakat di DKI Jakarta, dan telah menunjukkan prestasi kerja yang baik. Dalam tahapan tatkala Demokrasi Pancasila sudah semakin dihayati oleh rakyat, dan karena itu harus diamalkan secara konsekuen dan konsisten, adanya pemimpin daerah yang drop-dropan sudah bukan masanya lagi. Juga adanya calon-calon formal-formalan untuk kalah-kalahan sudah tak layak lagi. Dalam masa kita sedang menghadapi tantangan di bidang ekonomi dan pembangunan, diperlukan pimpinan daerah berpengalaman dan populer, yang mampu membina dan mengembangkan sistem kerja yang efisien dan efektif, sebagaimana diharapkan Bapak Presiden. Rakyat, yang telah cukup maju kesadaran dan sikap politiknya berdasarkan satu-satunya asas Pancasila, menginginkan adanya tindakan rasional dan memperhitungkan aspirasi masyarakat di dalam pencalonan dan pemilihan pimpinan daerah. Tanpa tindakan demikian, agaknya, akan sulit diwujudkan pemerintahan yang efisien, berwibawa, dan mendapat dukungan masyarakat. NOTOSOEJITNO Jalan Lodan IV Nomor 16 Rawamangun, Jakarta Timur
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini