Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Mengelola ekonomi indonesia di ...

Dilema utama pelita mendatang adalah mencari keseimbangan antara sasaran pemerataan & pertumbuhan. dengan angka pertumbuhan sekitar 8% setahun, dana yang disediakan untuk pemerataan menjadi longgar.

26 Juni 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SELAMA dasawarsa tujuh puluhan ekonomi Indonesia telah tumbuh dengan kecepatan yang bagus sekali, hampir delapan persen setahun rata-rata. Pertumbuhan demikian menyamai rekor Malaysia. Dari negara yang hampir bankrut pada akhir Orde Lama, pada permulaan delapanpuluhan ini Indonesia dimasukkan kelas negara berpendapatan menengah. Ia masih yang paling miskin di antara negara-negara ASEAN, akan tetapi apabila laju pertumbuhan 8% setahun dapat dipertahankan, maka keterbelakangannya terhadap Thailand dan Filipina akan terkejar sebelum tutup abad. Soalnya adalah: apakah laju pertumbuhan yang bagus itu dapat diteruskannya? Hasil pertumbuhan dan pembangunan selama dasawarsa tujuhpuluhan yang bagus itu disebabkan oleh cukup banyaknya dana-dana yang tersedia, berkat kenaikan-kenaikan harga minyak bumi yang sangat menonjol. Sebagian yang cukup besar dari rezeki minyak telah dipergunakan secara efektip untuk melancarkan dan meningkatkan pembangunan di segala bidang. Walaupun pasti ada keborosan dan penghamburan, yang telah tertanam cukup banyak. Ini berkat sistem perencanaan (dan pelaksanaan) yang cukup efektip, berkat urutan prioritas (pertanian, infrastruktur, dan sebagainya) yang rasional, dan berkat kemauan dan komitmen politik dari pimpinan pemerintah untuk mengutamakan pembangunan ekonomi. Akhirnya, stabilitas politik merupakan syarat mutlak yang telah dipenuhi juga. Suatu prestasi pertumbuhan sektorial harus disebut di sini: pertanian. Indonesia masih merupakan negara yang belum lama ini masih berpendapatan rendah, dengan sektor pertanian yang dominan. Kalau pertumbuhan di sektor ini tidak dapat mencapai laju yang minimal diperlukan (misalnya 4,5% setahun), maka pertumbuhan GDP seluruhnya akan terhambat. Inilah yang terjadi pada kurun waktu Pelita I dan II. Tapi, segala dayaupaya untuk mengembangkan dan untuk menunjang sektor pertanian (infrastruktur, kredit, logistik, institionbuilding, pendidikan kader tani, dan sebagainya) yang diutamakan sejak Repelita I akhir-akhirnya memberi buah, dan sektor pertanian ini menunjukkan pertumbuhan yang bagus sekali ( di atas 5% setahun) beberapa tahun yang akhir ini. Kemajuan besar ini baru meliputi beberapa subsektor, yakni padi, perkebunan besar, kehutanan dan perikanan laut (yang dua terakhir ini berkat modernisasi yang dimasukkan oleh modal asing). Subsektor tanaman palawija, perkebunan swasta dan rakyat, dan lain-lain masih terbelakang malahan agak terdesak. Ekspor dalam komoditi-komoditi palawija ini juga mundur. Pembangunan sektor pertanian tetap akan penting dalam Repelita IV dan pola-pola baru harus dikembangkan karena strategi-strategi lama pada waktunya akan tumpul. Misalnya strategi intensifikasi, terutama di Pulau Jawa, sebentar lagi akan mencapai batas kejenuhannya, dan strategi ekstensifikasi (di luar Jawa, dengan penanaman modal yang besar) harus mengoper peranan utama. Buat suatu negeri pertanian seperti Indonesia maka pertumbuhan GDP 8% setahun hanya dapat dipertahankan kalau sektor pertanian tumbuh di atas 5% setahun. Rahasia pertumbuhan Malaysia juga terletak di sini. Lebih-lebih kalau di Indonesia lima tahun mendatang ini pertumbuhan sektor pertambangan dan perminyakan agak lamban. Sektor ini sekarang sudah menduduki seperempat dari GDP. Ini merupakan masalah yang rumit. Tuntutan pemerataan adalah wajar, adil dan dalam jangka panjang juga membantu pertumbuhan. Maka kita harus tetap committed kepada tujuan ini, sebelum sasaran-sasarannya tercapai. Mencapai sasaran pemerataan dalam satu kali Repelita adalah mustahil. Pemerataan merupakan suatu proses yang lambat dan panjang. Kalau GDP tumbuh secara cukup cepat, selama waktu yang agak lama, maka pasti jumlah kemiskinan absolut akan berkurang, terutama kalau pertumbuhan tinggi itu disangga oleh pertumbuhan sektor pertanian yang memadai. Tapi, pertumbuhan yang tinggi juga sering menimbulkan jurang pendapatan dan kekayaan yang semakin melebar oleh karena para pemilik modal, golongan-golongan yang memiliki ketrampilan atau profesi, orang-orang kota, golongan-golongan yang mempunyai kekuasaan atau koneksi politik, dan sebagainya, akan maju jauh lebih cepat daripada rakyat banyak. Untuk mengimbangi kecenderungan-kecenderungan ini maka pemerintah harus meneruskan komitmen untuk membiayai program-program yang besar yang langsung ditujukan kepada peningkatan kesejahteraan rakyat banyak ini, seperti berbagai program Inpres, Banpres, Kredit Kecil, Koperasi, Pendidikan Masyarakat, latihan ketrampilan, dan sebagainya. KEBIJAKSANAAN-KEBIJAKSANAAN lain, seperti intensifikasi pemungutan pajak, landreform, dan sebagainya, juga amat penting dan harus dilaksanakan, namun suksesnya dalam jangka menengah (di lain-lain negara juga) tidak besar. Kebijaksanaan, serta program-program pengeluaran anggaran belanja yang ditujukan kepada pemerataan, dalam jangka menengah lebih banyak hasilnya untuk memperbaiki indeks pemerataan pendapatan daripada program-program tax reforrn, landreform, dan sebagainya. Perkembangan ekonomi Indonesia selama dasawarsa tujuhpuluhan banyak sekali dibantu rezeki minyak bumi. Apakah sumber dana ini masih akan mengalir pada dasawarsa delapanpuluhan? Kita tidak tahu secara pasti. Ditinjau dari sudut penglihatan sekarang maka prospeknya tidak sama baiknya seperti zaman yang lalu. Rezeki minyak bumi tetap akan ada, akan tetapi mungkin sekali tidak akan bertambah, atau bertambah banyak. Tentu saja kita masih dapat menggambarkan suatu skenario di mana harga minyak bumi masih akan naik secara cukup berarti dan tingkat produksi Indonesia meningkat cukup banyak sehingga dapat mengimbangi pertambahan konsumsi dalam negeri. Tetapi lebih baik kita mempersiapkan diri terhadap suatu skenario yang kurang menguntungkan. Misalnya, selama beberapa tahun yang akan datang ini harga internasional tidak akan banyak naiknya, dan tingkat produksi mungkin tidak akan banyak melebihi puncak 1,7 juta barrel sehari yang pernah dicapai (sekarang hanya sekitar 1,3 juta barrel sehari oleh karena kelemahan pasar). Kalau penerimaan dari minyak dan gas bumi tidak cepat meningkat lagi, mungkin agak mendatar atau ada kemungkinan juga agak menurun. Apakah "momentum pembangunan' masih dapat dipertahankan? Tugas ini akan menjadi sulit dan tidak pasti, tapi potensi keberhasilan atau kemungkinannya ada. Resepnya adalah kerja keras dan hidup lebih hemat. Selama rezeki minyak mengalir dan membanjir maka pemerintah sebetulnya menjadi agak manja, dan tak bebas dari menipu diri. Angka-angka penabungan pemerintah selalu besar, dan bantuan luar negeri relatif mengecil, semua ini dimungkinkan oleh karena pajak minyak bumi, yang dihitung sebagai penerimaan dalam negeri. Sebetulnya sifatnya adalah windfall (rezeki) dari luar negeri, yang setiap saat dapat hilang atau berkurang. Tanpa penerimaan dari sektor minyak ini angka-angka penabungan pemerintah tidak tampak bagus. Mulai sekarang harus diperbaiki dan memang dapat diperbaiki, walaupun akan memakan korban. Penabungan dalam negeri, tanpa menghitung penerimaan minyak, hanya dapat dinaikkan kalau pajak-pajak lain dapat ditingkatkan penerimaannya dan beberapa subsidi besar dikurangi atau dihapuskan. Inilah korbannya, karena akan menyangkut hidup orang banyak. Tetapi tanpa tindakan ini tidak akan ada dana cukup untuk melanjutkan dan meningkatkan pembangunan sektor pemerintah. Dari dana-dana yang akan tersedia pada pemerintah, sektor swasta atau nonpemerintah juga tidak dapat dibantu secara cukup banyak lagi. Ini berarti sektor di luar pemerintah harus mengandalkan pada perkembangannya sendiri. Kalau pemerintah tidak dapat membantu banyak dengan danadana, maka ia dapat memhantu dengan memelihara "iklim" serta sistem insentif yang memadai. Pengumpulan tabungan dan modal di dan untuk sektor swasta harus juga ditingkatkan. Pemerintah di Indonesia senantiasa suka campurtangan dan mengatur segala-galanya. Maksudnya baik oleh karena pemerintah adalah "agent of development", namun kalau intervensi dan peraturan terlalu banyak dan kualitasnya tidak selalu baik, akibatnya dapat merintangi dan mencekik. Peranan intervensi pemerintah tidak boleh dilepaskan, tapi kualitas dan selektivitas dari intervensi ini harus dijaga. Ini memerlukan pimpinan kebijaksanaan ekonomi serta aparat birokrasi yang bermutu tinggi. Pontensiil semuanya ini tersedia olell karena Orde Baru sudah berjalan 15 tahun sehingga personalia aparat pemerintah cukup berpengalaman dan terlatih. Maka yang menentukan hasil kerjanya adalah kualitas kepemimpinan, atas dan menengah. Apakah Repelita IV akan memuat prioritas serta tuntutan baru, seperti Repelita III mengandung prioritas baru berhubungan dengan tuntutan pemerataan? Dalam garis besar urutan prioritas sangat mungkin masih akan sama: pemerataan, pertumbuhan dan stabilitas. Sasaran-sasaran pemerataan tidak dapat dianggap tercapai dalam satu kali Pelita mungkin sekali memerlukan dua atau tiga pelita. Sasaran-sasaran pemetaraan harus diperinci dan ditingkatkan lebih lanjut, kalau dapat diberi sasaran-sasaran kuantitatip. Hlal demikian akan menuntut persediaan dana yang lebih besar. Pemerataan juga harus meliputi pemerataan inisiatif, artinya desentralisasi dan pendelegasian wewenang. DILEMA utama adalah mencari keseimbangan antara sasaran pemerataan dan pertumbuhan. Rupanya pertumbuhan tidak mau dilepaskan. Memang, dengan angka pertumbuhan sekitar 8% setahun, dana-dana yang disediakan untuli sasaran-sasaran pemerataan menjadi lebih longgar. Kalau rezeki minyak tidak banyak membantu lagi, bagaimana mengejarnya, baik sasaran pemerataan maupun sasaran pertumbuhan? Kalau dana-dana dalam negeri masih kurang, harus dimanfaatkan dana-dana dari luar negeri. Ini berarti masih diperlukannya banyak bantuan dan kredit luar negeri dan penanaman modal asing, kedua-duanya merupakan isu yang agak peka di medan politik dalam negeri. Kalau momentum pcmbangunan mau dipertahankan, segala dana dan daya harus dipakai. Maka soalnya adalah, manajemen dari persoalan-persoalan yang pelik itu. Kalau analisa yang diuraikan di atas ini diterima, kesimpulannya merupakan tugas dari kabinet yang akan datang. Sebetulnya, tugas dan persoalannya pada hakekatnya tidak banyak bedanya dengan apa yang telah dikerjakan oleh Pemerintah Orde Baru sejak awal. Justru pada permulaan itu, sebelum 1975, ketika rezeki minyak mulai, jumlah resources juga terbatas sekali sedangkan tugas-tugasnya berat. Tapi rehabilitasi dan pembangunan dapat dilaksanakan secara cukup lancar dengan stabilitas politik dan ekonomi yang mengesankan. Apakah semua ini menimbulkan kesimpulan, untuk masa Pelita IV komposisi kabinet harus kurang-lebih sama? Pada pokoknya mungkin demikian. Resep-resep kebijaksanaan, personalia, dan kerja-dalam-tim yang sudah teruji itu, sepatutnya dipertahankan. Pimpinan nasional pun akan berkelanjutan. Apakah usia-dalam-jabatan yang bakal lebih dari lima belas tahun itu tidak akan menimbulkan gejala-gejala sakit tua? Gejala sakit-tua-politik adalah misalnya: reaksi menjadi kurang tanggap dan luwes, sikap dekat-pada-rakyat agak meluntur dan kecenderungan hierarki meningkat, kecenderungan untuk inovasi berkurang, konservatisme meningkat, orientasi reforrn berkurang dan kecenderungan untuk mempertahankan status-quo bertambah, dan sebagainya. Kabinet baru akan sangat memerlukan pembaharuan, tapi kontinuitas harus cukup dipertahankan. Akhirnya tanggung jawab atas komposisi ini terletak kepada pimpinan nasional, yang harus menggunakan intuisinya serta hatinurani

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus