SELAMA dasawarsa tujuh puluhan ekonomi Indonesia telah tumbuh
dengan kecepatan yang bagus sekali, hampir delapan persen
setahun rata-rata. Pertumbuhan demikian menyamai rekor Malaysia.
Dari negara yang hampir bankrut pada akhir Orde Lama, pada
permulaan delapanpuluhan ini Indonesia dimasukkan kelas negara
berpendapatan menengah. Ia masih yang paling miskin di antara
negara-negara ASEAN, akan tetapi apabila laju pertumbuhan 8%
setahun dapat dipertahankan, maka keterbelakangannya terhadap
Thailand dan Filipina akan terkejar sebelum tutup abad. Soalnya
adalah: apakah laju pertumbuhan yang bagus itu dapat
diteruskannya?
Hasil pertumbuhan dan pembangunan selama dasawarsa tujuhpuluhan
yang bagus itu disebabkan oleh cukup banyaknya dana-dana yang
tersedia, berkat kenaikan-kenaikan harga minyak bumi yang sangat
menonjol. Sebagian yang cukup besar dari rezeki minyak telah
dipergunakan secara efektip untuk melancarkan dan meningkatkan
pembangunan di segala bidang.
Walaupun pasti ada keborosan dan penghamburan, yang telah
tertanam cukup banyak. Ini berkat sistem perencanaan (dan
pelaksanaan) yang cukup efektip, berkat urutan prioritas
(pertanian, infrastruktur, dan sebagainya) yang rasional, dan
berkat kemauan dan komitmen politik dari pimpinan pemerintah
untuk mengutamakan pembangunan ekonomi. Akhirnya, stabilitas
politik merupakan syarat mutlak yang telah dipenuhi juga.
Suatu prestasi pertumbuhan sektorial harus disebut di sini:
pertanian. Indonesia masih merupakan negara yang belum lama ini
masih berpendapatan rendah, dengan sektor pertanian yang
dominan. Kalau pertumbuhan di sektor ini tidak dapat mencapai
laju yang minimal diperlukan (misalnya 4,5% setahun), maka
pertumbuhan GDP seluruhnya akan terhambat. Inilah yang terjadi
pada kurun waktu Pelita I dan II. Tapi, segala dayaupaya untuk
mengembangkan dan untuk menunjang sektor pertanian
(infrastruktur, kredit, logistik, institionbuilding, pendidikan
kader tani, dan sebagainya) yang diutamakan sejak Repelita I
akhir-akhirnya memberi buah, dan sektor pertanian ini
menunjukkan pertumbuhan yang bagus sekali ( di atas 5% setahun)
beberapa tahun yang akhir ini.
Kemajuan besar ini baru meliputi beberapa subsektor, yakni padi,
perkebunan besar, kehutanan dan perikanan laut (yang dua
terakhir ini berkat modernisasi yang dimasukkan oleh modal
asing). Subsektor tanaman palawija, perkebunan swasta dan
rakyat, dan lain-lain masih terbelakang malahan agak terdesak.
Ekspor dalam komoditi-komoditi palawija ini juga mundur.
Pembangunan sektor pertanian tetap akan penting dalam Repelita
IV dan pola-pola baru harus dikembangkan karena
strategi-strategi lama pada waktunya akan tumpul. Misalnya
strategi intensifikasi, terutama di Pulau Jawa, sebentar lagi
akan mencapai batas kejenuhannya, dan strategi ekstensifikasi
(di luar Jawa, dengan penanaman modal yang besar) harus mengoper
peranan utama.
Buat suatu negeri pertanian seperti Indonesia maka pertumbuhan
GDP 8% setahun hanya dapat dipertahankan kalau sektor pertanian
tumbuh di atas 5% setahun. Rahasia pertumbuhan Malaysia juga
terletak di sini. Lebih-lebih kalau di Indonesia lima tahun
mendatang ini pertumbuhan sektor pertambangan dan perminyakan
agak lamban. Sektor ini sekarang sudah menduduki seperempat dari
GDP.
Ini merupakan masalah yang rumit. Tuntutan pemerataan adalah
wajar, adil dan dalam jangka panjang juga membantu pertumbuhan.
Maka kita harus tetap committed kepada tujuan ini, sebelum
sasaran-sasarannya tercapai. Mencapai sasaran pemerataan dalam
satu kali Repelita adalah mustahil. Pemerataan merupakan suatu
proses yang lambat dan panjang. Kalau GDP tumbuh secara cukup
cepat, selama waktu yang agak lama, maka pasti jumlah kemiskinan
absolut akan berkurang, terutama kalau pertumbuhan tinggi itu
disangga oleh pertumbuhan sektor pertanian yang memadai.
Tapi, pertumbuhan yang tinggi juga sering menimbulkan jurang
pendapatan dan kekayaan yang semakin melebar oleh karena para
pemilik modal, golongan-golongan yang memiliki ketrampilan atau
profesi, orang-orang kota, golongan-golongan yang mempunyai
kekuasaan atau koneksi politik, dan sebagainya, akan maju jauh
lebih cepat daripada rakyat banyak.
Untuk mengimbangi kecenderungan-kecenderungan ini maka
pemerintah harus meneruskan komitmen untuk membiayai
program-program yang besar yang langsung ditujukan kepada
peningkatan kesejahteraan rakyat banyak ini, seperti berbagai
program Inpres, Banpres, Kredit Kecil, Koperasi, Pendidikan
Masyarakat, latihan ketrampilan, dan sebagainya.
KEBIJAKSANAAN-KEBIJAKSANAAN lain, seperti intensifikasi
pemungutan pajak, landreform, dan sebagainya, juga amat penting
dan harus dilaksanakan, namun suksesnya dalam jangka menengah
(di lain-lain negara juga) tidak besar. Kebijaksanaan, serta
program-program pengeluaran anggaran belanja yang ditujukan
kepada pemerataan, dalam jangka menengah lebih banyak hasilnya
untuk memperbaiki indeks pemerataan pendapatan daripada
program-program tax reforrn, landreform, dan sebagainya.
Perkembangan ekonomi Indonesia selama dasawarsa tujuhpuluhan
banyak sekali dibantu rezeki minyak bumi. Apakah sumber dana ini
masih akan mengalir pada dasawarsa delapanpuluhan? Kita tidak
tahu secara pasti. Ditinjau dari sudut penglihatan sekarang maka
prospeknya tidak sama baiknya seperti zaman yang lalu. Rezeki
minyak bumi tetap akan ada, akan tetapi mungkin sekali tidak
akan bertambah, atau bertambah banyak.
Tentu saja kita masih dapat menggambarkan suatu skenario di mana
harga minyak bumi masih akan naik secara cukup berarti dan
tingkat produksi Indonesia meningkat cukup banyak sehingga dapat
mengimbangi pertambahan konsumsi dalam negeri. Tetapi lebih baik
kita mempersiapkan diri terhadap suatu skenario yang kurang
menguntungkan. Misalnya, selama beberapa tahun yang akan datang
ini harga internasional tidak akan banyak naiknya, dan tingkat
produksi mungkin tidak akan banyak melebihi puncak 1,7 juta
barrel sehari yang pernah dicapai (sekarang hanya sekitar 1,3
juta barrel sehari oleh karena kelemahan pasar).
Kalau penerimaan dari minyak dan gas bumi tidak cepat meningkat
lagi, mungkin agak mendatar atau ada kemungkinan juga agak
menurun. Apakah "momentum pembangunan' masih dapat
dipertahankan?
Tugas ini akan menjadi sulit dan tidak pasti, tapi potensi
keberhasilan atau kemungkinannya ada. Resepnya adalah kerja
keras dan hidup lebih hemat. Selama rezeki minyak mengalir dan
membanjir maka pemerintah sebetulnya menjadi agak manja, dan tak
bebas dari menipu diri. Angka-angka penabungan pemerintah selalu
besar, dan bantuan luar negeri relatif mengecil, semua ini
dimungkinkan oleh karena pajak minyak bumi, yang dihitung
sebagai penerimaan dalam negeri. Sebetulnya sifatnya adalah
windfall (rezeki) dari luar negeri, yang setiap saat dapat
hilang atau berkurang. Tanpa penerimaan dari sektor minyak ini
angka-angka penabungan pemerintah tidak tampak bagus. Mulai
sekarang harus diperbaiki dan memang dapat diperbaiki, walaupun
akan memakan korban.
Penabungan dalam negeri, tanpa menghitung penerimaan minyak,
hanya dapat dinaikkan kalau pajak-pajak lain dapat ditingkatkan
penerimaannya dan beberapa subsidi besar dikurangi atau
dihapuskan. Inilah korbannya, karena akan menyangkut hidup orang
banyak. Tetapi tanpa tindakan ini tidak akan ada dana cukup
untuk melanjutkan dan meningkatkan pembangunan sektor
pemerintah.
Dari dana-dana yang akan tersedia pada pemerintah, sektor swasta
atau nonpemerintah juga tidak dapat dibantu secara cukup banyak
lagi. Ini berarti sektor di luar pemerintah harus mengandalkan
pada perkembangannya sendiri. Kalau pemerintah tidak dapat
membantu banyak dengan danadana, maka ia dapat memhantu dengan
memelihara "iklim" serta sistem insentif yang memadai.
Pengumpulan tabungan dan modal di dan untuk sektor swasta harus
juga ditingkatkan.
Pemerintah di Indonesia senantiasa suka campurtangan dan
mengatur segala-galanya. Maksudnya baik oleh karena pemerintah
adalah "agent of development", namun kalau intervensi dan
peraturan terlalu banyak dan kualitasnya tidak selalu baik,
akibatnya dapat merintangi dan mencekik. Peranan intervensi
pemerintah tidak boleh dilepaskan, tapi kualitas dan
selektivitas dari intervensi ini harus dijaga. Ini memerlukan
pimpinan kebijaksanaan ekonomi serta aparat birokrasi yang
bermutu tinggi. Pontensiil semuanya ini tersedia olell karena
Orde Baru sudah berjalan 15 tahun sehingga personalia aparat
pemerintah cukup berpengalaman dan terlatih. Maka yang
menentukan hasil kerjanya adalah kualitas kepemimpinan, atas dan
menengah.
Apakah Repelita IV akan memuat prioritas serta tuntutan baru,
seperti Repelita III mengandung prioritas baru berhubungan
dengan tuntutan pemerataan? Dalam garis besar urutan prioritas
sangat mungkin masih akan sama: pemerataan, pertumbuhan dan
stabilitas. Sasaran-sasaran pemerataan tidak dapat dianggap
tercapai dalam satu kali Pelita mungkin sekali memerlukan dua
atau tiga pelita. Sasaran-sasaran pemetaraan harus diperinci dan
ditingkatkan lebih lanjut, kalau dapat diberi sasaran-sasaran
kuantitatip. Hlal demikian akan menuntut persediaan dana yang
lebih besar. Pemerataan juga harus meliputi pemerataan
inisiatif, artinya desentralisasi dan pendelegasian wewenang.
DILEMA utama adalah mencari keseimbangan antara sasaran
pemerataan dan pertumbuhan. Rupanya pertumbuhan tidak mau
dilepaskan. Memang, dengan angka pertumbuhan sekitar 8%
setahun, dana-dana yang disediakan untuli sasaran-sasaran
pemerataan menjadi lebih longgar. Kalau rezeki minyak tidak
banyak membantu lagi, bagaimana mengejarnya, baik sasaran
pemerataan maupun sasaran pertumbuhan?
Kalau dana-dana dalam negeri masih kurang, harus dimanfaatkan
dana-dana dari luar negeri. Ini berarti masih diperlukannya
banyak bantuan dan kredit luar negeri dan penanaman modal asing,
kedua-duanya merupakan isu yang agak peka di medan politik dalam
negeri. Kalau momentum pcmbangunan mau dipertahankan, segala
dana dan daya harus dipakai. Maka soalnya adalah, manajemen dari
persoalan-persoalan yang pelik itu.
Kalau analisa yang diuraikan di atas ini diterima, kesimpulannya
merupakan tugas dari kabinet yang akan datang. Sebetulnya, tugas
dan persoalannya pada hakekatnya tidak banyak bedanya dengan apa
yang telah dikerjakan oleh Pemerintah Orde Baru sejak awal.
Justru pada permulaan itu, sebelum 1975, ketika rezeki minyak
mulai, jumlah resources juga terbatas sekali sedangkan
tugas-tugasnya berat. Tapi rehabilitasi dan pembangunan dapat
dilaksanakan secara cukup lancar dengan stabilitas politik dan
ekonomi yang mengesankan.
Apakah semua ini menimbulkan kesimpulan, untuk masa Pelita IV
komposisi kabinet harus kurang-lebih sama? Pada pokoknya mungkin
demikian. Resep-resep kebijaksanaan, personalia, dan
kerja-dalam-tim yang sudah teruji itu, sepatutnya dipertahankan.
Pimpinan nasional pun akan berkelanjutan.
Apakah usia-dalam-jabatan yang bakal lebih dari lima belas tahun
itu tidak akan menimbulkan gejala-gejala sakit tua? Gejala
sakit-tua-politik adalah misalnya: reaksi menjadi kurang tanggap
dan luwes, sikap dekat-pada-rakyat agak meluntur dan
kecenderungan hierarki meningkat, kecenderungan untuk inovasi
berkurang, konservatisme meningkat, orientasi reforrn berkurang
dan kecenderungan untuk mempertahankan status-quo bertambah, dan
sebagainya.
Kabinet baru akan sangat memerlukan pembaharuan, tapi
kontinuitas harus cukup dipertahankan. Akhirnya tanggung jawab
atas komposisi ini terletak kepada pimpinan nasional, yang harus
menggunakan intuisinya serta hatinurani
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini