PADA suatu hari di awal tahun 70-an, dalam suatu rapat redaksi
majalah sastra Horison, Zaini masuk ruangan terlambat. Dia
menyeka-nyeka keningnya dengan selembar handuk kecil "Good
Morning". Dia nampak sehat dan segar.
-- Dari mana kau Zen?
-- Berenang, jawabnya. Dan melukis.
Wah, pelukis berenang?
Bagi saya, pelukis berenang samalah anehnya dengan austronot
main kelereng atau anggota delegasi IGGI berhom-pim-pah.
Asosiasi mengenai pelukis bagi saya paling kurang mencakup tiga
ciri: kurus tak berlemak, pengisap dan pengembus asap rokok,
penyimpan salah satu penyakit menahun dalam rongga badan.
-- Hei, berenang itu enak lho. Sehat! Aku tiga kali seminggu
berenang. Di Senayan, kata Zaini.
Dongeng lama mengenai pelukis dengan tiga macam asosiasi itu,
hancur di kepala saya.
****
Pada suatu hari di tahun 1975, di kantor Dewan Kesenian Jakarta
yang panas, Zaini datang terlambat. Dia menyeka-nyeka keningnya
dengan selembar handuk kecil "Good Morning". Dia nampak sehat
dan segar sekali.
-- Dari mana kau Zen?
-- Lari. Aku tadi pagi lari. Dan melukis.
Lari? pikir saya. Bukan main. -- Hei, lari itu enak lho. Sehat!
Aku saban pagi lari sekarang, kata Zaini. Bukan main.
Saya cemburu benar padamu, Zen.
Saya cemburu karena waktu itu, saya belum bisa lari. Di TIM ada
beberapa teman yang menganut mazhab olahraga erobika Kenneth
Cooper, dokter Angkatan Udara penulis Aerobics yang kesohor itu.
Termasuk dalam mazhab ini, selain pelukis Zaini, penganutnya
antara lain Ali Audah, Goenawan Mohamad, Ajip Rosidi dan Umar
Kayam. Belakangan penyair Sutardji juga ikut, bagian infanteri
atau jalan kaki.
Di antara kami, Zaini nampak paling kekar, sehat, segar dan
optimis memandang kehidupan ini.
Zen, pagi-pagi tahun 75, ketika sudah dua tahun saya jala subuh,
duapuluh menit setengah jam di lapangan parkir TIM, dapat cuma
2-3 points seharinya, saya lihat ada seorang pelari pagi di TIM
cuma pakai sandal jepit, kuat lari setengah jam, telapak
sandalnya berbunyi soh-soh-soh.
Saya pun mencobalah lari-lari anjing.
Gila Zen: sepuluh meter cuma saya bisa lari, karena jantung ini
rasanya seperti mau bocor. Dada panas, paru-paru kembang-kempis.
Anak-anak kecil Kalipasir, yang suka main bola di pagi gelap di
lapangan parkir TIM itu, setelah mempelajari struktur kepala
saya bagian belakang, berteriak-teriak:
-- Tak, botak, tak! Tak botak, tak!
Kurangajar nggak itu namanya, Zen?
Pelari pagi yang bersandal jepit itu lari terus, berbunyi
soh-soh-soh. Saya menyerah lari pada jarak sepuluh meter. Tapi
terus jalan.
****
Di tahun 76 Samsudin Hardjakusumah mengajak kerjasama lagi
menulis lirik untuk himpunan musik Bimbo. Temanya riwayat 25
Nabi dan Rasul. Dengan literatur terjemahan Quran, Perjanjian
Lama dan Baru, Americana edisi 1962 dan setumpuk kumpulan
salinan hadis, puisi buat 25 lagu sempat selesai. Lalu terjadi
percakapan ini di LPKJ:
-- Hei Zen, Muhammad itu erobik lho.
-- Muhammad yang mana, tanya Zaini.
-- Yang Rasul. Rasulullah.
-- Alaa, kau ini ada-ada saja.
-- Betul. Ketemu pada beberapa hadis. Rasul itu kalau berjalan,
tak pernah lamban, selalu cepat. Itu jalan orang erobik. Rasul
itu kalau berjalan kencangnya seperti menurun dari bukit. Itu
jalan orang erobik. Orang susah menurutkannya berjalan karena
cepatnya. Itu jalan orang erobik. Nah, dengar lagi ini Rasul itu
jangkung, langsing, perutnya datar. Itu kan ciri perut orang
erobik?
-- Alaa, kau ini ada-ada saja.
******
Masuk tahun ketiga, pada suatu pagi yang menakjubkan, saya
berhasil lari dua putaran di halaman parkir TIM, artinya 500
meter. Angka 500 naik jadi 750, kemudian 1000 meter. Lewat
ambang itu, treshold, rasa capek anehnya malah hilang dan rasa
sedap menyelinap masuk ke urat-urat badan. Rasa sedap itu
bertahan dari pagi sampai sore hari, dari rumah sampai ke kantor
dan balik ke rumah lagi. Pilek-pilek dan sakit-sakit kepala yang
menjengkelkan, hilang. Ini rupanya yang mereka beri nama
kesegaran jasmani itu.
Pelari awam yang plonco ini karena yakin bahwa prestasi ini
mustinya dapat dianggap prestasi olimpik, mendaftar ikut lomba
lari 3000 meter dalam Pekan Olahraga TIM-LPKJ-Planetarium. Di
bawah sinar matahari sore dengan pemberian semangat isteri dan
anak saya yang menyedot sebotol Glin Spot, dengan ditonton dan
disoraki mahasiswa LPKJ dan karyawan, saya pun ikut berlomba
dengan 25 pelari awam lainnya.
Keesokan harinya peristiwa itu saya laporkan pada Zaini, yang
menyeka-nyeka peluhnya dengan handuk kecil merek "Good Morning".
Dia nampak segar.
-- Zen, aku ikut lomba lari kemarin.
-- Wah hebat kau.
-- Yang ikut 25 orang. Aku dapat nomor dua.
--Wah hebat kau.
-- Nomor dua dari bawah.
-- Wah hebat kau.
****
DOR !
Anak sulung Zaini pagi-pagi itu berdiri di depan flat kami,
matanya berkaca-kaca, mengabarkan berpulangnya ayahnya, waktu
lari pagi.
Zaini, orang sebaik itu, meninggal?
Ya Allah, kenapa bukan penjahat-penjahat saja Kaurenggutkan
jantungnya, kenapa musti Zaini, si orang ikhlas, si pekerja
keras, si optimis sahabat kami ini?
Berdiri pagi-pagi di halaman parkir TIM akan memulai lagi lari
pagi, saya tertegun melihat spanduk panjang terentang di tembok
lantai tiga Dewan Kesenian: pameran mengenang Zaini almarhum.
Pelupuk mata serasa membengkak lagi mengenang kepergiannya yang
tiba-tiba itu. Saya tidak jadi lari. Berminggu-minggu saya
berhenti lari pagi.
*****
Soh-soh-soh.
Soh-soh-soh.
Pelari pagi dengan sandal jepit itu terdengar menggesek lapangan
parkir TIM. Peluh nampak bercucuran di keningnya. Soh-soh-soh .
Serangan jantung bisa terjadi di tempat tidur, di mimbar, di
meja kantor, di mana pun. Usaha pencegahannya yang banyak
dilupakan orang.
Kawan-kawan almarhum akan tetap mengenang segi lain dari pelukis
ini: keikhlasannya, optimismenya menghadapi kehidupan ini,
sukanya berolahraga dan kesegaran jasmaninya. Bahwa prosentase
kecelakaan yang membawa ajal dalam peristiwa latihan lari pagi
yang amat kecil sekali itu, justru terjadi pada Zaini, itu
nampaknya sudah kehendak Yang Empunya Segala ini.
Bukan saja karya-karya kau yang kami ingat, Zen, tapi banyak
segi-segi lain yang indah dari kau yang kami kenang.
Tuhan, terimalah Zaini sebaik-baiknya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini