Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PENGGUNAAN tenaga alih daya alias outsourcing merupakan praktek yang lazim. Korporasi di seluruh dunia sudah lama menerapkannya. Tapi, di Indonesia, outsourcing sering menjadi cara mengeksploitasi buruh. Sistem alih daya—salah satu jenis sistem kerja kontrak—itu merupakan contoh betapa runyam sistem ketenagakerjaan di Indonesia.
Mahkamah Konstitusi patut mendapat apresiasi dengan mencoba memperbaiki sistem itu. Mahkamah mengabulkan sebagian tuntutan uji materi yang diajukan Didik Suprijadi, Ketua Umum Aliansi Petugas Pembaca Meter Listrik. Karyawan kontrak PLN yang sudah bekerja 20 tahun sebagai petugas pembaca meteran listrik itu meminta Mahkamah menghapuskan penerapan sistem kontrak dan alih daya yang diatur Undang-Undang Nomor 13/2003 tentang Ketenagakerjaan. Mahkamah mengabulkan tuntutan ini dan melarang pekerjaan dengan obyek tetap dilakukan dengan sistem alih daya. Mahkamah juga menyatakan sistem kerja kontrak dan alih daya melanggar konstitusi jika tidak melindungi hak pekerja.
Putusan Mahkamah Konstitusi itu perlu diterjemahkan lebih terperinci dalam peraturan Menteri Tenaga Kerja, misalnya, agar tidak bertabrakan dengan praktek bisnis yang lazim di dunia. Penggunaan tenaga alih daya merupakan strategi perusahaan untuk berfokus pada bisnis intinya. Pekerjaan di luar bisnis inti dialihkan kepada perusahaan lain yang lebih kompeten. Dengan begitu, perusahaan outsourcing pun tumbuh subur di negeri ini.
Tak ada gading yang tak retak. Penerapan sistem kontrak dan tenaga alih daya acap mengabaikan hak asasi. Tak sedikit penyedia jasa alih daya yang memotong sesuka hati gaji pekerja. Sering terjadi, penyedia jasa alih daya tak memikirkan jaminan kesejahteraan dan kesehatan, termasuk perlindungan hukum, bagi pekerjanya. Akhirnya, sistem alih daya dituding membawa berkah bagi pengusaha tapi merupakan bencana buat pekerja.
Diskriminasi antarpekerja layak dihapus. Mengacu pada putusan Mahkamah Konstitusi, perusahaan penyedia tenaga alih daya wajib mengubah status karyawan kontrak menjadi pegawai tetap. Bila masih menerapkan skema kontrak—lantaran faktor kecakapan dan kompetensi pekerja—perusahaan jasa alih daya tetap wajib melindungi hak pegawainya. Pekerja harus mendapat gaji memadai sesuai dengan ketentuan pemerintah, jaminan kesejahteraan, kesehatan, dan seterusnya.
Perusahaan pemakai jasa outsourcing juga perlu menyesuaikan diri. Perusahaan hanya boleh menggunakan tenaga kontrak dan alih daya untuk pekerjaan di luar bisnis inti. Itu pun bila pekerjaannya bersifat musiman atau sementara waktu—paling lama tiga tahun.
Selain memperbaiki aturan perlindungan pekerja kontrak dan alih daya, Kementerian Tenaga Kerja perlu meningkatkan pembinaan terhadap penyelenggara tenaga kerja alih daya. Sekarang ini gampang ditemukan penyedia tenaga alih daya "jadi-jadian" dan tidak profesional. Mereka hanya sibuk merekrut pekerja level bawah—seperti petugas keamanan, cleaning service, teller, atau telemarketer—tanpa memikirkan pengembangan kompetensi pekerja.
Indonesia perlu meniru aturan tenaga kerja India, yang menjadi "raja" outsourcing dunia, dengan mencetak tenaga white collar—manajer dan tenaga profesional di berbagai bidang, mulai komputer sampai nuklir. Kita perlu aturan outsourcing yang tidak hanya melahirkan pekerja andal dan mengerti hak serta kewajiban, tapi juga bersahabat dengan korporasi yang selama ini menjadi "induk semang" pekerja outsourcing.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo