Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
APA yang dilakukan massa Islam radikal saat ini memang sudah keterlaluan. Majelis Mujahidin Indonesia, Front Pembela Islam, Forum Umat Islam, dan Hizbut Tahrir Indonesia, pekan lalu di Purwakarta, Jawa Barat, mengusir KH Abdurrahman Wahid dan membubarkan acara Dialog Lintas Agama dan Etnik yang dihadiri oleh bekas Presiden Indonesia itu. Hizbut Tahrir belakangan menyangkal keterlibatan mereka-sesuatu yang sudah terlambat.
Insiden Purwakarta menambah panjang kekerasan ber-kedok agama yang sepertinya sudah jadi lazim belakang-an ini. Sebelumnya di Cirebon, Jawa Barat, sebuah lembaga swadaya masyarakat pendidikan, Fahmina Institute, juga diserbu oleh massa yang mengaku Islam dan baru saja berdemonstrasi mendukung Rancangan Undang-Undang Anti-pornogra-fi dan Pornoaksi. Kerumunan yang menyebut dirinya tim pe-nga-wal rancangan undang-undang itu m-enyebut Fahmina sebagai agen Barat, LSM racun, dan lembaga yang "menjual ayat-ayat Al-Quran dengan harga murah".
Di Bulukumba, Sulawesi Selatan, kantor Lembaga Advo-kasi dan Pendidikan Anak Rakyat juga disatroni oleh pu-luh-an pemuda Penegak Syariat Islam. Lembaga advokasi ini juga dituding menentang nilai-nilai Islam yang, kata-nya, diperjuangkan oleh para penyerbu.
Di Purwakarta, massa mengamuk dan memprotes ide plu-ralisme yang dibicarakan dalam seminar yang dihadiri puluhan orang dari berbagai agama itu. Dasarnya adalah fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang melarang sekularisme, pluralisme, dan liberalisme.
Fatwa MUI itu memang bermasalah. Ketiga konsep telah dipahami secara ngawur dan karenanya dianggap berbahaya. Sekularisme, yang secara generik bermakna pe-misah-an agama dari negara-sesuatu yang sudah se-mesti-nya, karena Indonesia bukan negara teokrasi-ditafsirkan seba-gai cara me-ngerdilkan Islam. Pluralisme, ga-gasan tentang ke-beragam-an berpendapat, berkeimanan, dan berkepercaya-an, dianggap mengacaukan yang hak dan yang batil. Liberalis-me dimusuhi karena mencerminkan ideologi Barat.
Intinya, fatwa MUI itu memandang Islam sebagai "p-u-sat" dan menempatkan yang bukan Islam di "pinggiran". Sebagai wujud keimanan pribadi, pandangan ini bisa di-terima. Tapi, begitu masuk ke tataran masyarakat, ide ini berten-tang-an dengan prinsip persamaan dan kesetar-aan hukum bagi setiap warga negara. Bahkan Islam sa-ngat san-tun memandang perbedaan dengan yang lain, yang mengajarkan dok-trin lakum dinukum waliadin-untukmu agamamu, un-tukku agamaku.
Persoalan jadi lebih kisruh ketika keyakinan yang ber-masalah itu kemudian menjadi fatwa yang bisa dipakai seba-gai landasan moral bagi umat untuk bertindak. Pelaku te-ror bom Abdullah Sunata, dalam pengakuannya kepada po-lisi, membenarkan bahwa anak buahnya berniat mem-bunuh aktivis Jaringan Islam Liberal Ulil Abshar-Abdalla atas dasar fatwa tersebut.
Kalaupun berbeda pendapat tentang sekularisme, plura-lisme, dan liberalisme, mestinya perbedaan itu dibicar-akan dalam dialog yang santun dan beradab. Membubarkan se-minar, apalagi mengumpat Gus Dur dengan kata-kata k-o-tor, adalah laku tercela yang jauh dari moral Islam-sesuatu yang ingin dibela oleh para pengeroyok.
Tidak bisa tidak, pelaku aksi anarkistis itu harus ditindak. Polisi harus turun tangan menangkap, menyelidiki, dan membawa kasus ini ke pengadilan. Organisasi-organi-sasi yang mengancam, mengintimidasi, menakut-nakuti kelompok lain-terlebih dengan otot dan senjata-tidak bo-leh- lolos dari sanksi hukum. Pemerintah tak boleh tinggal diam. Indonesia tidak boleh takluk pada kekerasan-termasuk dari mereka yang berkedok agama.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo