Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bahasa

Menimbang Kata ’Internasional’

23 Agustus 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lie Charlie
Sarjana tata bahasa Indonesia Universitas Padjadjaran, Bandung

APA makna kata ”internasional” yang sering dicantumkan dalam berbagai terminologi? Kini kita sering menemukan istilah ”rumah sakit internasional”, ”sekolah internasional”, dan yang terbaru, RSBI, yang merupakan singkatan dari ”rintisan sekolah bertaraf internasional”.

Kini rumah sakit ikut-ikutan mengaplikasikan sebutan ”internasional” di belakang namanya. Ini berarti rumah sakit tersebut mengklaim memiliki mutu pelayanan yang sama dengan rumah sakit di seluruh dunia dan menerima pasien dari berbagai bangsa. Lantas apa kelebihannya dibandingkan dengan rumah sakit yang tanpa menggunakan embel-embel ”internasional”?

Merisaukan rumah sakit yang mengenakan tambahan kata ”internasional”, ”global”, atau (kelas) ”dunia”, Direktur Jenderal Bina Pelayanan Medik Kementerian Kesehatan Supriyantoro mengingatkan agar rumah sakit sebaiknya jangan menggunakan kata tersebut, kecuali dapat memperlihatkan bukti sertifikat pendukungnya. Argumennya, supaya rakyat tidak terkecoh atau salah menginterpretasikan makna kata ”internasional”.

Ada kekhawatiran sebagian masyarakat mengira bahwa rumah sakit internasional hanya melayani warga asing belaka. Kekhawatiran tersebut tidak berlebihan jika melihat penampilan fisik rumah sakit internasional umumnya serba mewah menyaingi hotel berbintang.

Menurut Pak Direktur Jenderal Supriyantoro, embel-embel tersebut hanya akan mempersulit rumah sakit yang menyandangnya. Seandainya terjadi sesuatu yang mengakibatkan mutunya menurun atau periode sertifikatnya telah terlampaui, konsekuensinya rumah sakit bersangkutan harus mengubah lagi namanya. Secara administratif hal ini amat merepotkan pihak rumah sakit sendiri, katanya.

Namun kita pun tidak dapat menganggap semua rumah sakit sama saja. Penampilan fisik mereka saja berbeda jauh. Ada rumah sakit yang bertingkat sepuluh lantai dan ada yang bangunannya mirip bedeng pada masa perang. Peralatan medis yang tersedia juga amat mencolok bedanya. Ada rumah sakit yang membedah menggunakan laser, ada yang fasilitas pemeriksaan darah saja tidak punya.

Pada 2002, ketika bom meledak di Sanur, Bali, dua ratus lebih korban meninggal dunia. Korban yang luka-luka dibawa ke Rumah Sakit Sanglah. Saat itu orang-orang kebingungan mencari rumah sakit bertaraf internasional yang memang belum ada di Bali dan sekitarnya. Semua orang berpikir bahwa korban cedera yang sebagian besar berkulit putih pantasnya dibawa ke rumah sakit internasional.

Beberapa hari kemudian, ternyata banyak korban pindah dari Rumah Sakit Sanglah ke rumah sakit di Singapura dan Australia. Bukan maksud kita meremehkan Rumah Sakit Sanglah, melainkan di sana tak tersedia peralatan medis yang komplet untuk merawat pasien dengan kondisi tertentu. Harus diakui bahwa tidak semua rumah sakit memiliki, misalnya, pemindai (scanner) yang dapat melihat tubuh dari 32 atau 64 irisan melintang dan membujur, pemacu jantung, atau mesin cuci darah.

Kiranya pembedaan terhadap rumah sakit itu perlu, meskipun kita menolak membeda-bedakan manusia. Perbedaan itu sekadar memberikan petunjuk kepada masyarakat mengenai tingkat dan kualitas pelayanan yang mampu diberikan sebuah rumah sakit. Jika tidak boleh menggunakan sebutan kelas ”internasional”, ”global”, atau ”dunia”, rumah sakit seyogianya dapat diperbedakan dengan memakai tanda bintang seperti sebuah hotel.

Bila Anda terkena influenza, silakan datang saja ke rumah sakit berbintang dua, kecuali Anda banyak uang. Kalau kena serangan jantung, sebaiknya mengunjungi rumah sakit berbintang empat, karena di sana baru ada peralatan medis memadai yang dapat mendeteksi kondisi jantung Anda. Beda lain, rumah sakit berbintang banyak tentu lebih nyaman. Itu jika kita menolak pencantuman kata ”internasional” pada rumah sakit.

Bagaimana dengan pencantuman kata ”internasional” pada institusi pendidikan?

Lantas apa bedanya dengan sekolah lain? Rintisan sekolah bertaraf internasional dicanangkan agar murid yang lulus disetarakan dengan lulusan sekolah di mana pun di dunia ini, sehingga siswa-siswi RSBI dapat pindah sekolah sesewaktu tanpa menempuh program-program penyesuaian. Kurikulum RSBI, dengan demikian, konon menyesuaikan diri dengan kurikulum sekolah menengah atas di Singapura, London, San Francisco, atau Perth. Bahasa pengantar di RSBI adalah bahasa Inggris. Kata ”internasional” di sini mengacu pada makna ”sesuai standar dunia”. Problemnya adalah apakah pencantuman kata ”internasional” itu sekadar tempelan, atau muridnya nanti memang setara dengan lulusan luar negeri yang menggunakan sistem yang sama.

Beberapa sekolah sebelumnya juga sudah menggunakan ”internasional” (international) di belakang nama mereka, umpamanya Gandhi Memorial International School atau Jakarta International School. Tapi bedanya, kata ”internasional” itu juga menyiratkan bahwa sekolah ini menerima murid yang berasal dari berbagai bangsa di dunia.

Produk-produk juga sering diberi label ”bermutu internasional”. Maknanya, mutu produk bersangkutan sama dengan mutu produk sejenis buatan negara mana pun dan layak dikonsumsi bangsa apa pun. Harga produk bermutu internasional, normalnya, lebih mahal daripada produk bermutu lokal. Maka wajar, tidak ada pabrik yang menyebut produk mereka bermutu lokal.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus