Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Harga saham bank-bank digital tiba-tiba melejit.
Bagaimana meningkatkan kinerja bank-bank digital?
Kita dapat belajar dari keberhasilan Kakao Bank dan K Bank di Korea Selatan.
Ardhienus
Analis Senior di Departemen Surveilans Sistem Keuangan Bank Indonesia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sepanjang 2021, pasar modal kita ditandai dengan melejitnya harga saham sejumlah bank kecil. Naiknya pun tak tanggung-tanggung, hingga ratusan persen dan bahkan ada yang ribuan persen. Ambil contoh saham Allo Bank Indonesia (BBHI), yang terbang hingga 1.563 persen dari 30 Desember 2020 sampai 30 Desember 2021. Begitu pula dengan saham Bank Neo Commerce (BBYB), yang menjulang 817 persen pada periode yang sama.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tentu yang paling fenomenal adalah saham Bank Jago (ARTO), yang dengan skala aset per September 2021 hanya Rp 10,98 triliun tapi mampu bertengger di urutan ke-6 di antara 50 saham dengan kapitalisasi pasar terbesar pada November 2021. Data Bursa Efek Indonesia menunjukkan kapitalisasi pasar Bank Jago mencapai Rp 217,08 triliun, mengalahkan BNI yang berada di urutan ke-9 dengan total aset Rp 894,89 triliun dan kapitalisasi pasar Rp 125,54 triliun. Kapitalisasi pasar Bank Jago hanya kalah oleh BCA, BRI, dan Mandiri. Bagaimana kita mencermati fenomena tersebut?
Perburuan saham pada sejumlah bank kecil dimulai setelah mereka mengikrarkan diri bertransformasi menjadi bank digital. Karena itu, sebagian kalangan menengarai kenaikan harga saham pada bank-bank itu lebih karena tersengat euforia digital ketimbang kinerja fundamentalnya. Tengok saja kinerja Bank Jago, yang berdasarkan Laporan Keuangan Publikasi pada September 2021 masih rugi Rp 32,61 miliar. Begitu pula Bank Neo Commerce, yang mendulang rugi Rp 264,74 miliar.
Dari kacamata perilaku investasi, tampak ada perilaku ambil risiko (risk-taking behaviour) yang berlebihan, diiringi perilaku ikut-ikutan (herding behaviour). Perilaku ini umumnya didasari ekspektasi berlebihan terhadap kinerja bank di masa depan. Apalagi banyak suguhan narasi yang menceritakan besarnya keuntungan yang diperoleh para pelaku pasar di media sosial.
Kita tahu, bank-bank lain yang tidak mengklaim dirinya sebagai bank digital (bank konvensional) sebenarnya juga bergerak pada arah yang sama, yaitu go digital. Bank konvensional berupaya mengembangkan layanan digital untuk produk dan jasanya, termasuk strategi membangun anak usaha bank digital sendiri, seperti yang dilakukan BCA melalui BCA Digital dan BRI melalui Bank Raya Indonesia.
Selain itu, bank konvensional akan menggunakan strategi hibrida. Untuk segmen retail, mereka akan menguatkan layanan digital melalui pengembangan aplikasi hingga menjadi super app. Sementara itu, untuk segmen korporasi, mereka tetap dominan menggunakan layanan seperti biasa. Beberapa bank besar terlihat begitu gencar mengembangkan aplikasi digital untuk menjadi super app, seperti Bank Mandiri dengan aplikasi New Livin' dan Bank CIMB Niaga dengan aplikasi OCTO Mobile.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) selaku otoritas mikroprudensial juga menangkap adanya klaim digital yang dipakai sekadar gimmick demi mendongkrak valuasi dan harga saham. Karena itu, OJK telah mengambil langkah cepat dan tegas dengan melakukan asesmen untuk melihat tingkat kematangan digitalisasi bank (digital maturity assessment) yang berfokus pada enam area, yaitu data, teknologi, manajemen risiko, kolaborasi, tatanan institusi, dan nasabah.
Dari asesmen OJK itu terungkap tingkat kematangan digitalisasi perbankan kita masih tergolong rendah. Hasilnya menunjukkan tingkat kematangannya 57 persen, teknologi 50 persen, manajemen risiko 43 persen, kolaborasi 53 persen, tatanan institusi 46 persen, dan nasabah 50 persen. Area yang paling disoroti adalah manajemen risiko, yang mendapat skor paling rendah, yaitu 43 persen, dan dalam area manajemen risiko tersebut terkandung manajemen risiko teknologi informasi, keamanan siber, dan outsourcing.
Melambungnya harga saham bank kecil yang bertransformasi menjadi bank digital tentu menjadi tantangan bagi mereka untuk membuktikan kelayakan sahamnya dihargai mahal dengan memperbaiki kinerja fundamentalnya. Apabila kita mengambil pelajaran dari keberhasilan Kakao Bank dibanding K Bank, yang keduanya merupakan bank digital di Korea Selatan dan berdiri pada 2017, ada beberapa upaya yang harus dilakukan bank digital.
Pertama, bank digital harus memperbanyak jumlah pengguna. Banyaknya pengguna inilah yang akan menopang pertumbuhan bisnis bank ke depan. Untuk mencapai itu, diperlukan aplikasi yang menarik dan lengkap sehingga mampu menggaet minat konsumen untuk menggunakan aplikasi bank digital. Kakao Bank sejak 2017 hingga triwulan III 2021 mampu melesatkan jumlah pengguna menjadi 17,4 juta. Capaian ini tidak lepas dari aplikasi Kakao Bank yang menarik, ramah pengguna, dan mencakup seluruh produk dan jasa yang ditawarkan (all-in-one app).
Kedua, bank digital tetap berfokus pada penyaluran kredit sebagai aktivitas utama. Porsi penyaluran kredit Kakao Bank terhadap total aset selalu konsisten di atas 70 persen, dan pada triwulan III 2021 ini porsi aset kreditnya mencapai 70,32 persen. Pertumbuhannya dibanding triwulan III 2020 cukup tinggi, mencapai 30,87 persen. Maka, tak mengherankan bila pendapatan utama Kakao Bank ditopang pendapatan bunga dari kredit yang disalurkan yang mencapai 72,57 persen dari pendapatan operasional bank. Adapun penggunaan platform mampu menambah pundi-pundi pendapatan Kakao Bank dengan porsi 10,45 persen. Pendapatan dari penggunaan platform ini cenderung naik, selaras dengan meningkatnya penggunaan aplikasi bank oleh nasabah.
Adapun kredit yang disalurkan Kakao Bank hampir seluruhnya retail, termasuk kredit perumahan. Ini memang sesuai dengan nature bank digital yang lebih cocok untuk segmen retail. Bagi Indonesia, segmen retail atau lebih tepatnya sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) masih sangat besar potensinya dan belum banyak disentuh perbankan. Segmen inilah yang bakal menjadi ladang garapan bank digital.
Ketiga, bank digital harus mengandalkan dana murah. Pasalnya, dana murah akan berdampak pada bunga kredit yang rendah sehingga dapat mendorong penyaluran kredit. Kakao Bank memiliki struktur dana murah mencapai 56,8 persen, sementara bunga deposito paling tinggi 1,6 persen. Walhasil, biaya dana Kakao Bank rendah sekali, hanya 0,77 persen. Rendahnya biaya dana ini membuat bunga kredit Kakao Bank hanya pada kisaran 3 persen.
Sumber dana murah dan bunga deposito yang rendah memang tidak mudah bagi bank kecil. Umumnya mereka kalah bersaing dengan bank-bank besar sehingga insentif untuk menarik nasabah hanya dengan menawarkan bunga tinggi. Kondisi ini membuat biaya dana mereka menjadi tinggi dan berimbas pada suku bunga kredit yang tinggi.
Keempat, bank digital membutuhkan modal yang kuat untuk mendorong ke arah skala ekonomisnya, kebutuhan investasi terutama teknologi informasi, termasuk sebagai penyangga (buffer) untuk menyerap potensi kerugian. OJK telah mensyaratkan modal Rp 10 triliun untuk mendirikan bank digital. Sedangkan untuk mengkonversi menjadi bank digital, hanya dibutuhkan modal Rp 3 triliun hingga 2022.
Kakao Bank sejak 2017 hingga September 2021 telah meningkatkan modalnya dari 1,3 triliun won menjadi 5,34 triliun won. Kecepatan peningkatan modal ini juga yang menjelaskan mengapa K Bank kalah bersaing dengan Kakao Bank. Belajar dari itu, gencarnya fintech masuk ke bank-bank kecil dinilai positif untuk memperkuat permodalan bank sekaligus membentuk ekosistem, seperti Akulaku di Bank Neo Commerce dan Finaccel di Bank Bisnis Internasional.
*) Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mewakili institusi tempat penulis bekerja.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo