Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Menjaga Marwah BPK

Beberapa hari lalu kita dikejutkan dengan beredarnya 64 nama calon anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang dirilis oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DRR).

10 Juli 2019 | 07.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Gedung Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia di Jakarta. TEMPO/Tony Hartawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Misbah Hasan
Sekretaris Jenderal FITRA

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Beberapa hari lalu kita dikejutkan dengan beredarnya 64 nama calon anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang dirilis oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DRR). Dari nama-nama yang muncul, 15 orang di antaranya berasal dari partai politik, sebagian berlatar belakang pengusaha, akademikus, inkumben BPK dan perwakilan BPK daerah, serta sedikit dari organisasi kemasyarakatan sipil. Tentu ini mengecewakan. Padahal BPK punya peran strategis dalam menjaga dan memperbaiki kredibilitas pengelolaan keuangan lembaga negara dan upaya pencegahan korupsi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kekecewaan publik itu muncul pertama-tama karena minimnya sosialisasi dan sempitnya masa pendaftaran seleksi anggota BPK. DPR hanya menyediakan waktu dua pekan kepada masyarakat untuk mendaftarkan diri menjadi anggota BPK. Ini pun mundur dari jadwal sebelumnya, yang semestinya dimulai pada pertengahan Mei 2019 menjadi pada 17 Juni-1 Juli 2019. Di tengah riuhnya sidang Mahkamah Konstitusi atas sengketa pemilihan presiden dan ramainya seleksi calon pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), proses pendaftaran seleksi anggota BPK nyaris tidak terdengar.

Kekecewaan kedua adalah longgarnya persyaratan dalam pendaftaran calon anggota BPK. Pasal 13 huruf d Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK menyebutkan bahwa calon anggota BPK harus memiliki integritas moral dan kejujuran. Selama ini, integritas moral dan kejujuran susah sekali diukur indikatornya, kecuali melalui selembar surat keterangan catatan kepolisian (SKCK). Rekam jejak calon anggota BPK saat mereka berkiprah di lembaga sebelumnya jarang sekali menjadi pertimbangan.

Kekecewaan publik yang ketiga adalah ketiadaan tim panitia seleksi yang independen sebagaimana pemilihan pemimpin KPK. Pasal 14 ayat 1 Undang-Undang BPK menyatakan pemilihan calon anggota BPK dilakukan oleh DPR dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah. Di sinilah salah satu titik masalahnya selama ini. Proses terpilihnya 64 bakal calon anggota BPK, yang didominasi para politikus, mengindikasikan adanya konflik kepentingan dalam proses ini.

Padahal anggota BPK RI periode 2019-2024 mempunyai tantangan besar untuk mengembalikan marwah organisasi yang mulai redup. Jamak diketahui bahwa BPK saat ini terlalu mudah memberi opini wajar tanpa pengecualian (WTP) atas laporan keuangan kementerian/lembaga, pemerintah daerah, Bank Indonesia, BUMN/BUMD, dan lembaga publik yang mendapat kucuran anggaran dari APBN/APBD. Padahal banyak temuan indikasi penyimpangan keuangan dan pencatatan aset yang belum baik. Tentu saja ini menimbulkan pertanyaan besar. Hal ini diperparah dengan terjadinya kasus demi kasus yang menerpa anggota BPK ataupun auditor BPK, dari pelanggaran kode etik, terindikasi menerima gratifikasi, hingga terjaring operasi tangkap tangan KPK.

Beberapa kasus yang pernah menerpa BPK di antaranya kasus suap pemeriksaan dengan tujuan tertentu (PDTT) terhadap PT Jasa Marga (Persero) pada 2017 berupa satu unit sepeda motor Harley Davidson Sportster 883 yang melibatkan Sigit Yugoharto, auditor madya pada Sub-Auditorat VII B2 BPK. Kasus lain adalah dugaan gratifikasi atas pengurusan dana insentif daerah (DID) tahun anggaran 2018 untuk Kota Balikpapan dan Kabupaten Tabanan, Bali, yang melibatkan Wakil Ketua BPK dan pejabat di Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan. Besaran gratifikasi kasus DID Tabanan mencapai Rp 600 juta dan US$ 55 ribu. Adapun gratifikasi kasus DID Kota Balikpapan sebesar Rp 1,3 miliar.

Kasus berikutnya adalah jual-beli opini BPK yang melibatkan Auditor Utama AKN 3 dan Kepala Sub-Auditorat III Auditorat Keuangan Negara BPK atas laporan keuangan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi tahun anggaran 2016. Tersangka didakwa menerima suap Rp 200 juta dan terbukti menerima sebuah mobil Honda Odyssey. Adapun Kepala Sub-Auditor III BPK didakwa menerima suap sebesar Rp 240 juta, uang Rp 10,5 miliar, US$ 80 ribu, dan hadiah berupa satu unit mobil Mini Cooper tipe S F57 Cabrio A/T. Baru-baru ini, anggota IV BPK RI, Rizal Djalil, juga bergulat dengan dugaan "dagang audit" proyek sistem penyediaan air minum Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat tahun anggaran 2019.

Dengan banyaknya kasus yang menerpa BPK tersebut, calon anggota BPK dituntut memiliki sejumlah syarat. Pertama, mereka tidak cukup hanya mempunyai kemampuan teknis audit keuangan, tapi juga memiliki integritas yang tinggi, bebas dari kasus korupsi, profesional, dan lepas dari konflik kepentingan, terutama dengan partai politik.

Kedua, KPK perlu terus mengawasi jalannya seleksi calon BPK saat ini karena dikhawatirkan terjadi "transaksi gelap" yang dilakukan antara tim seleksi dan calon anggota BPK yang sudah terpilih. Ketiga, dalam jangka menengah, DPR harus mulai membahas revisi Undang-Undang BPK yang sudah masuk Program Legislasi Nasional 2014-2019 atas usul pemerintah dan memasukkan pasal tentang pembentukan panitia seleksi calon anggota BPK yang independen, sebagaimana tim seleksi KPK. Keempat, seluruh proses seleksi anggota BPK harus lebih transparan dan melibatkan masyarakat secara luas. Kontrol masyarakat penting untuk tetap menjaga marwah BPK.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus