Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Menjewer ’Infotainment’ Nakal

Tayangan infotainment kembali jadi sorotan. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) perlu diberdayakan.

7 Agustus 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ANAK laki-laki seorang sutradara film hampir melompat ketika seorang reporter mendatangi rumahnya dan mengajukan pertanyaan menggigit: ”Sudah de-ngar ayahmu kawin lagi?” Si anak menggeleng dan meninggalkan wartawan itu. Dari kejauhan, juru kamera merekam adegan itu dengan takzim. Di depan layar kaca, orang-orang bergunjing, ”Betul sutradara itu kawin lagi?”

Meski tak persis benar, ini adegan dalam sebuah liputan infotainment. Mereka yang senang gosip terhibur. Yang lain menggertakkan geraham. Kalaupun benar sutradara itu kawin lagi, apa urusannya dengan media? Lalu mengapa pula anaknya yang tidak tahu apa-apa ikut diwawancarai?

Yang terakhir meradang adalah Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU), Hasyim Muzadi. Ia mengharamkan tayangan infotainment dan mengajak tokoh agama lain mengambil sikap yang sama. Menurut dia, infotainment telah melakukan gibah alias bergunjing.

NU tentu bukan organisasi pertama yang memprotes infotainment. Sebelumnya, banyak kalangan sudah berdebat: apakah infotainment termasuk karya jurnalistik atau bukan? Mereka yang menolak berargumen tak ada unsur kepentingan publik dalam tayangan itu. Yang lain berpendapat, ihwal kepentingan publik masih bisa diperdebatkan. Katakanlah ada gosip rencana perceraian penyanyi dangdut Dewi Persik dan suaminya, Saiful Jamil. Bagi publik kebanyakan, ini berita yang tak ada hubung-an-nya dengan kehidupan mereka. Tapi fans fanatik Dewi Persik akan menganggap ini soal yang perlu diketahui.

Lepas dari soal kepentingan publik, faktanya awak infotainment menjalankan tugas kewartawanan: mereka mewawancarai sumber dan menayangkannya di media. Persoalannya adalah pada mutu liputan yang buruk.

Dalam hal ini kita patut berteriak. Sudah sering kita de-ngar infotainment yang menyajikan berita tak berimbang (cover both sides). Ada pula stasiun televisi yang memasang kamera tersembunyi untuk mengintip aktivitas artis yang jelas-jelas tidak sedang berada di ruang publik. Ada pula wartawan yang memaksa artis bicara, termasuk dengan membentak dan meneror. Di luar itu, ada pula yang remeh-temeh: mengaku menerapkan jurnalisme investigasi, nyata-nya hanya memanjangkan liputan pendek ala kadarnya. Ada juga—ini yang kerap menyebalkan—pembawa acara yang ”berkhotbah” di penghujung acara.

Melarang infotainment tentu tak bijak. Yang patut dilakukan adalah mengaturnya dengan kode etik jurnalistik. Baru-baru ini Dewan Pers bersama sejumlah organisasi wartawan dan media mengeluarkan kode etik yang meng-atur kerja wartawan, termasuk jurnalis audio-visual.

Di luar itu, ada pula Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang memiliki standar program siaran—sesuatu yang mestinya menjadi patokan pengelola televisi. Di dalamnya memang tidak secara tegas diatur soal infotainment. Tapi ada pasal-pasal yang, misalnya, mengatur pemberitaan tentang konflik dalam keluarga. Di sana disebutkan, dalam membuat liputan semacam itu televisi harus memperhitungkan dampak bagi keluarga. Anak-anak juga dilarang diwawan-carai. Kamera tersembunyi hanya boleh dipakai di ruang publik dan untuk kepentingan publik. Wartawan juga dilarang memaksa narasumber bicara.

Dengan memberdayakan KPI dan peraturan miliknya, per-soalan infotainment bandel semestinya sudah bisa di-atasi. Te-levisi yang kelewatan bisa diperkarakan di pengadil-an, tapi medianya tak boleh diberangus. Pemirsa bisa juga diberi ta-hu, jangan menonton infotainment yang jelek—se-sua-tu yang kini dilakukan NU dengan mengharamkan ta-yangan itu bagi warganya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus