Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Politik Bisnis Setya Novanto

7 Agustus 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

POLITIK, kuasa, dan bisnis merupakan azimat zaman Orde Baru untuk meraih sukses. Kombinasi ketiganya terbukti sakti melambungkan orang ke puncak jaya, sekaligus menaburkan aura kebal hukuman bagi si pelaku. Warisan masa lalu itu ternyata masih banyak dipakai pada zaman reformasi ini, ketika hukum kabarnya dipulihkan martabatnya sebagai ”panglima” dalam kehidupan negeri.

Setya Novanto pasti tahu azimat itu. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Partai Golkar, pedagang berusia 50 tahun yang pada tahun 1996 mewawancarai Presiden Soeharto dan menerbitkan buku Manajemen Soeharto, mungkin juga meng-adopsi azimat itu dari sumber yang paling ”kompeten”.

Ketika dia pekan lalu diperiksa kejaksaan sebagai saksi dalam kasus penyelundupan beras asal Vietnam yang diduga merugikan negara Rp 28,5 miliar, orang bertanya-ta-nya adakah dia akan terus terseret sebagai tersangka atau malah bebas merdeka seperti sebelumnya.

Kita tak tahu hasil akhir pemeriksaan yang sedang berjalan. Kita juga tak tahu apakah Nova, yang mulai berdagang tahun 1974, berpikir tentang politik dan kekuasaan saat itu.

Tapi, seperti yang ia yakini, pamor Soeharto-lah yang mengereknya naik kelas. Perkenalan dengan Soeharto dalam peresmian lapangan golf di Batam, yang ia bangun, benar-benar mengantarnya ke pintu tenar pentas nasional. Bisa dimengerti bila buku Manajemen Soeharto, yang kemudian menjadi bacaan ”wajib” birokrat di seluruh negeri, mendatangkan rezeki dari segala penjuru.

Buku itu jugalah ”jalan tol” menembus lingkaran dalam Soeharto. Nova, yang bergabung dengan Kosgoro, ”anak kandung” Golkar, dipercaya menjadi Wakil Bendahara Partai Golkar, menjadi koordinator harian partai itu untuk NTT, NTB, dan Timor Timur. Kemudian ia terpilih menjadi anggota MPR/DPR mewakili Tim-Tim.

Habis Soeharto, Nova sigap ikut menyokong Presiden B.J. Habibie. Ia dengan mulus ikut rombongan yang melakukan reformasi ketika Golongan Karya bermetamorfosis menjadi Partai Golkar. Dalam Pemilu 2004 ia masih bisa bertahan di Senayan. Dialah politisi yang masih eksis kendati presiden sudah berganti empat kali.

Sudah tentu kehidupan ekonominya gemah ripah. Dia sempat memimpin sekitar 14 perusahaan—dari usaha resor, kawasan industri, sampai kafe. Pada tahun 2001, menurut laporan Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Ne-gara, Nova berharta senilai Rp 35 miliar dan menjadi yang terkaya, bahkan dibandingkan dengan Ke-tua DPR waktu itu, Akbar Tandjung.

Semua kemewahan ini mengundang ka-gum, juga syak padanya. Dua tahun sebelum kekayaannya dilansir, sebuah peristiwa terjadi dan orang ramai mulai meneropongnya. PT Era Giat Prima, perusahaan yang sebagian sahamnya milik Nova, mendapat kiriman cek senilai Rp 550 miliar dari Bank Bali. Sebagian dana tersebut diduga masuk ke kas Golkar. Karena itu dana besar tadi dicurigai bukan sekadar uang imbal jasa Era Giat Prima untuk mengurus tagihan piutang Bank Bali.

Bank Bali punya piutang Rp 3 triliun kepada tiga bank swasta yang lain, yang sedang ”dirawat” Badan Penyehatan Perbankan Nasional. Piutang sulit cair tanpa campur tangan pimpinan BPPN, Menteri Keuangan, Gubernur Bank Indonesia, dan bahkan Presiden RI. Ternyata Era Giat Prima mampu mencairkannya. Sampai kini masih menjadi misteri bagaimana Era Giat Prima menembus pejabat-pejabat top Republik itu. Dugaan penyalahgunaan kekuasaan itu tak pernah tuntas dibongkar.

Dua tahun lalu, sebuah peristiwa sekali lagi membawa-bawa nama Setya Novanto. Perusahaan patungan milik Nova dan seorang pengusaha, PT Asia Pacific Eco Lestari, diduga mengimpor ”pupuk organik” ke Pulau Galang, yang setelah dites ternyata mengandung limbah beracun (B3). Direktur PT Asia, Rudy Alfonso, ketika disidang di -Peng-adilan Negeri Batam, yakin Nova tahu kegiatan ini. Rudy dihukum enam bulan penjara tapi Nova tidak -ter-sen-tuh. Dia mengaku sudah mundur dari per-usahaan se-belum peristiwa itu pecah. Benarkah Nova bersih? Wallahu-alam.

Dalam kasus beras Vietnam 60 ribu ton ini pun diharapkan ia bisa melakukan pembelaan diri yang baik, meng-ingat bukti-bukti yang ada menuju ke arah yang tidak meng-untungkan dia.

Keluarnya surat izin Presiden RI untuk memeriksa Setya Novanto, semestinya menjadi si-nyal kuat bagi Partai Golkar untuk ikut serta mendukung tuntasnya kasus beras Vietnam. Partai yang tengah bersih-bersih diri itu punya kesempatan baik untuk mendorong proses hukum yang sedang berjalan. Mengingat begitu banyak pertanyaan yang harus dijawab Setya Novanto dalam soal beras Vietnam, tak ada salahnya Partai Golkar memintanya nonaktif sementara waktu.

Itu bila Partai Golkar tak mau disebut ikut melanggengkan azimat Orde Baru yang ternyata masih banyak dijalankan orang itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus