KOMERSIALISASI, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, artinya membuat sesuatu menjadi barang dagangan. Sejalan dengan itu, komersialisasi organ tubuh berarti membuat organ tubuh sebagai barang dagangan. Baru beberapa hari setelah harian Republika memberitakan bahwa di Indonesia tidak ada komersialisasi organ tubuh, TEMPO (27 Maret 1993) mewartakan bahwa ada sebelas orang yang menawarkan ginjalnya dengan harga yang bervariasi. Dalam hal ini PP 18/81 dan UU No. 23/92 (UU Kesehatan) melarang komersialisasi organ tubuh untuk kepentingan transplantasi. Bahkan UU Kesehatan mengancam hukuman penjara 15 tahun dan denda Rp 300 juta bagi yang melanggar. Orang-orang yang diberitakan TEMPO tadi memang belum dapat ditindak, karena secara hukum belum terjadi transaksi. Bahwa sudah ada yang menetapkan harga untuk ginjalnya, hal itu menunjukkan sudah ada orang yang memperlakukan organ tubuhnya sebagai barang dagangan. Maka, sesuai dengan definisi di atas, sebenarnya komersialisasi organ tubuh sudah ada di Indonesia. Secara etis komersialisasi organ tubuh memang tidak dapat diterima dan jelas dokter dilarang untuk terlibat dalam hal seperti itu. Persatuan Dokter Sedunia pun menolak praktek jual- beli organ tubuh untuk kepentingan transplantasi. Tetapi sebuah surat pembaca di The New York Times dua tahun yang lalu membukakan kenyataan yang juga tidak dapat dimungkiri: ''Jika penerima organ (resipien) dapat pulih kesehatannya dan mampu mencari nafkah secara normal, dan rumah sakit serta dokter mendapat uang karena operasi tersebut, bukankah manusiawi jika si donor juga berhak memperoleh imbalan? Bukankah si donor juga menghadapi risiko yang cukup berat ketika organnya diambil? Apalagi jika si donor lebih miskin ketimbang si resipien.'' Laporan dari Rumah Sakit Universitas Pittsburgh memperkuat sentimen itu. Dalam laporan itu Universitas Pittsburgh mengakui bahwa 510% cadangan organ yang didonasikan rakyat Amerika telah digunakan untuk menolong ''plutokrat'' dari negara-negara Arab yang kaya. Institut Hastings, sebuah lembaga yang mengkaji masalah etika, juga memahami problema tersebut. Dalam salah satu laporannya disebutkan: ''Untuk mereka yang memerlukan uang untuk menghidupi anak-anaknya atau membayar biaya perawatan rumah sakit bagi orang tuanya, pilihan untuk tidak menjual organ tubuh merupakan pilihan yang dapat dianggap lebih buruk dibandingkan dengan pilihan untuk menjualnya''. Keluhan yang masuk akal dan terasa manusiawi. Tetapi jika begitu saja dibolehkan, memang dapat membuka kemungkinan yang lebih mengerikan. Orang akan jadi sangat kreatif dalam menggunakan kesempatan itu untuk mengeruk keuntungan yang sebesar mungkin, dan bila perlu dengan menekan orang yang lebih miskin. Seperti usul Jim Hogshire dalam bukunya Sell Yourself to Science: ''Banyak orang Cina dari Hong Kong yang bersedia membayar US$ 50 ribu sampai US$ 100 ribu untuk dapat diterima sebagai imigran di AS. Mengapa tidak dikawini atau diadopsi saja mereka, tetapi dengan syarat mereka bersedia mendonasikan organnya ke orang Amerika''. Buku Hogshire memang hanya sebuah satir yang ditulis dengan gaya lucu. Tetapi bukan tanpa didasari pengamatan dan penelitian yang jeli. Ia punya data tentang betapa susahnya mencari donor organ dan tentang kesediaan orang kaya untuk membayar jika saja ada yang mau menjual. Selama tidak ada keseimbangan antara permintaan dan penawaran, kemungkinan komersialisasi organ akan tetap ada. Hogshire mengusulkan agar pembacanya menetapkan tarif untuk tiap organnya sebelum ia mati. ''Masuk akal jika Anda menetapkan harga ginjal Anda US$ 2050 ribu, dan secawan sumsum tulang seharga US$ 10 ribu.'' Meskipun Amerika punya undang-undang The Uniform Anatomical Gift Act, yang membolehkan jenazah digunakan sebagai donor organ, tetap saja sulit memenuhi kebutuhan organ tubuh untuk transplantasi. Dokter tetap saja segan menggunakan undang -undang itu untuk mengambil organ tubuh seseorang yang sudah mati kalau keluarga almarhum menolak. Maka, tetap saja terjadi kesenjangan antara permintaan organ untuk transplantasi dan persediaan donor. Sehingga ada seorang pakar sosiologi, Renee C. Fox, bersama seorang sejarawan, Judith P. Swazey, yang memperkirakan bahwa pada suatu saat di Amerika Serikat jual-beli organ tubuh ini akan dilegalisasi. Ramalan itu diungkapkan dalam buku mereka, The Spare Parts. Untuk Indonesia, kita tunggu bagaimana peraturan pelaksanaan dari UU Kesehatan yang akan mengendalikan komersialisasi organ tubuh ini. Bagaimana pula membedakan pemberian ''tanda terima kasih'' dari resipien dengan ''pembayaran harga sebuah organ''. Sementara ini, beberapa orang kaya Indonesia dapat pergi ke India untuk memperoleh ginjal sebagai pengganti ginjalnya yang rusak. Dengan membayar lima ribu poundsterling, Anda akan memperoleh ginjal termasuk biaya operasi dan perawatan di rumah sakit.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini