Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Larangan bagi pejabat menerima kiriman parsel datang dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pejabat yang dimaksudkan ini adalah seluruh perangkat pemerintah, dari pusat sampai daerah, termasuk anggota DPR, DPD, dan DPRD. Namun, seperti yang dikatakan Wakil Ketua KPK Erry Riyana Hardjapamekas, larangan itu tidak disertai dengan sanksi, sifatnya hanya imbauan.
Meski begitu, beberapa pejabat sudah langsung menyambutnya dengan positif. Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie dan Kapolri Jenderal Da'i Bachtiar menyatakan tidak akan menerima parsel. Bahkan Gubernur DKI Jakarta, Sutiyoso, sudah menempelkan pengumuman di depan rumah dinasnya untuk menolak masuknya parsel.
Dampak pelarangan ini pun sudah terasa. Ketua Asosiasi Pengusaha Parsel Indonesia (APPI), Fahira Fahmi Idris, langsung bereaksi keras dengan menyebutkan kirim-mengirim parsel bernuansa silaturahmi. Sedangkan Persatuan Perajin dan Pedagang Keranjang Parsel (PPPKP) melakukan aksi unjuk rasa ke DPR meminta larangan itu dicabut. DPR, yang sedang kisruh dengan dirinya sendiri, belum sempat menanggapi aksi itu, namun Erry Riyana Hardjapamekas dari KPK sudah berkata lantang tak akan mencabut larangan tersebut.
Kenapa menerima parsel dilarang? Budaya mengirim parsel, bagi KPK, adalah upaya menyuburkan korupsi. Setidak-tidaknya mengirim parsel paling sedikit ada niat untuk melakukan suap.
Memang tradisi mengirim parsel berbau memberi upeti, yang sudah subur sejak zaman kerajaan dulu. Upeti dipersembahkan sebagai bukti ketundukan seorang bawahan sekaligus bukti loyalitas. Zaman berkembang, upeti pun melahirkan budaya korupsi. Seorang atasan tak bisa menegur bawahannya yang korup karena sudah "menerima upeti" dan ikut menikmati hasil korupsi. Dalam alur pemikiran seperti inilah, kenapa larangan menerima parsel datang dari instansi pemberantasan korupsi, bukan dari kementerian kebudayaan, misalnya?
Dari segi kepatutan, seorang pejabat yang menerima parsel dari anak buahnya, atau dari kalangan pengusaha, menyinggung perasaan keadilan. Gaji mereka jelas lebih besar, lagi pula mereka belum tentu membutuhkan benar barang-barang yang ada di dalam parsel itu. Si penerima parsel tak bisa mendikte agar parselnya berisi barang-barang yang dibutuhkan.
Namun, apakah perlu larangan menerima dan mengirim parsel diberlakukan secara formal? Sepertinya hal itu terlalu "remeh-temeh". Apa yang dikatakan Ketua APPI, Fahira, ada benarnya bahwa kirim-mengirim parsel bernuansa silaturahmi. Di beberapa daerah justru kirim-mengirim parsel ini menunjukkan kerukunan. Ada umat Kristiani yang mengirim parsel kepada sahabatnya yang muslim menjelang Lebaran, lalu ada umat Islam yang mengirim parsel kepada sejawatnya yang merayakan Natal. Di sini parsel sejenis dengan kartu ucapan selamat.
Yang penting adalah niatnya luhur dan konsistensinya. Penolakan pimpinan MPR terhadap fasilitas yang berlebihan tidaklah berarti harus membuat undang-undang hidup sederhana. Tetapi, karena niatnya memang mulia dan konsisten dilakukan, gerakan ini disambut positif dan banyak ditiru. Pelarangan pengiriman parsel secara formal, apalagi dengan sanksi hukum, tak akan efektif memberantas korupsi jika "niat" korupsi itu?termasuk menyuap?tidak dibunuh ke akar-akarnya. Parsel ditolak, tetapi "aliran dana gelap" masuk ke rekening pejabat, malah lebih buruk lagi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo