Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Mereka Memilih Jalan Buntu

Israel cenderung kuat tidak membutuhkan perdamaian apalagi melihat sebuah negara palestina merdeka. israel tampaknya memilih jalan buntu, dimana tokoh-tokoh israel tidak dapat membedakan mitos dan sejarah.

5 November 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TANGGAL 1 November nanti Israel akan menyaksikan pemilu yang paling penting sejak negara ini berdiri 40 tahun yang lalu. Dua kontestan utamanya adalah kelompok Likud dan Partai Buruh, persis seperti pemilu sebelumnya, 4 tahun yang lalu. Dalam pemilu terakhir perolehan suara kedua kontestan itu hampir sama, sehingga mereka gagal membuat koalisi yang dapat membentuk mayoritas dalam Knesset atau parlemen Israel yang punya 120 kursi itu. Pemecahannya kemudian cukup unik: Likud dan Buruh terpaksa membentuk kabinet bersama, 2 tahun pertama dipimpin Likud (Shimon Peres) dan 2 tahun berikutnya dipimpin Buruh (Yithzak Shamir). Karena dua pesaing berat terpaksa bekerja sama, sering kebijaksanaan yang satu dikritik pedas oleh yang lain. Hasil pemilu 1 November ini kemungkinan besar tidak jauh berbeda dengan pemilu sebelumnya. Hanya saja isu kali ini memang sangat kritis. Dua hal yang menjadi tema kampanye adalah: pertama, bagaimana mengatasi Intifadah, gerakan perlawanan Palestina yang tidak pernah reda sejak Desember 1987. Kedua, apa yang harus dilakukan setelah Yordania melepaskan tanggung jawab hukum dan administratif dari Tepi Barat sejak Juli 1988. Posisi politik yang diambil Kelompok Likud dan Partai Buruh dalam menghadapi perjuangan bangsa Palestina, termasuk PLO, memang berbeda. Kelompok Likud sejak dipimpin Menachim Begin pada 1976 sampai di bawah Shamir sekarang tetap bersikeras dalam memegang pendirian, Tepi Barat adalah Yudea dan Samaria, tanah Yahudi biblikal yang sudah "dibebaskan". Satu inci pun tanah Tepi Barat mustahil dikembalikan pada bangsa Palestina. Orang Palestina di Tepi Barat boleh diberi sedikit kewenangan administratif, tetapi wilayah ini harus tetap dalam kekuasaan Israel. Di pihak lain tokoh-tokoh Partai Buruh berpendapat bahwa, demi perdamaian, sebagian tanah Tepi Barat dan Jalur Gaza perlu dikembalikan ke pemiliknya. Pengembalian tanah dianggap sebagai ongkos perdamaian. Formula land-for-peace sudah diperkenalkan Partai Buruh seusai Perang Arab-Israel 1967, tetapi sampai sekarang, 21 tahun kemudian, tetap tinggal formula kosong. Perdebatan Likud -- Buruh mengenai cara menjaga keamanan Israel pada dasarnya masih terus berpusar sekitar argumen-argumen di atas, ditambah propaganda bertalu-talu, "PLO organisasi teroris". Bahwa Israel sendiri adalah sebuah negara teroris dan ekspansionis tentu tidak pernah diakui oleh pemerintah zionis yang telah memindahkan ibu kota dari Tel Aviv ke Yerusalem itu. Pihak-pihak Likud dan Buruh tetap berbeda dan berdebat dalam soal keamanan dan perdamaian, tetapi dalam menangani intifadah keduanya setuju untuk menggunakan kekerasan militer gaya Nazi. Menurut catatan resmi Israel, sudah 296 orang Palestina ditembak mati, ribuan luka-luka, dan 12.000 dikenai "tahanan administratif". Jumlah yang meninggal sesungguhnya sulit dikonfirmasi berhubung sudah enam bulan ini pers asing dilarang beroperasi di Jalur Gaza dan Tepi Barat. Para tokoh Israel tampaknya benar-benar konsisten mengejar tujuan zionis, yakni negara Israel sebagai negara Yahudi yang bersih dari kelompok etnis lain. Ketika Sidang Umum PBB 1975 mengutuk zionisme sebagai suatu bentuk rasialisme dan diskriminasi rasial, lembaga tertinggi PBB itu jelas tidak mengada-ada. Golda Meir dalam merayakan kemenangan Israel pada perang 1967 mengatakan, "Apa yang dinamakan bangsa Palestina itu tidak ada .... Bahwa seolah-olah ada bangsa Palestina yang hidup di Palestina dan kami kemudian melemparkan mereka dari negerinya untuk kami duduki, itu hanya isapan jempol belaka. Mereka tidak pernah eksis." Ketua Komite Luar Negeri Knesset, pada tahun yang sama mengatakan bahwa bangsa Palestina are not human beings, they are not people, they are Arabs. Dua puluh satu tahun kemudian Shamir sesumbar, kalau perlu Israel dapat menembaki orang Palestina seperti menembaki belalang. Zionisme Israel, sebagai satu bentuk rasialisme ekstrem, secara potensial dapat melahirkan genocide atau kegiatan pembunuhan masal atas bangsa Palestina. Kasus Sabra dan Shatila pada 1982 adalah sekeping contoh yang masih segar. Di samping itu, rasialisme ekstrem juga menghadirkan ethnocide, yaitu membunuh budaya dan identitas etnis tertertu secara terencana. Yang tersebut terakhir ini telah dan sedang dilakukan Israel atas bangsa Palestina. Satu setengah juta bangsa Palestina yang tinggal di Jalur Gaza dan Tepi Barat dan tiga perempat juta yang hidup di Israel merasakan rasialisme zionis itu. Belum lama ini pemerintah Israel membubarkan sebuah federasi yang menghimpun 108 organisasi sosial Palestina, sebuah asosiasi pers, sebuah federasi dari 45 serikat buruh serta berbagai organisasi profesional para dokter, ahli hukum, dan insinyur Palestina. Tujuannya jelas: membunuh identitas Palestina. Dalam kemelut intifadah dan mundurnya Yordania dari Tepi Barat, kelompok-kelompok ekstrem dalam masyarakat Israel justru berada di atas angin. Gush Emunim atau "Kelompok Kaum Beriman" yang membenci bangsa Palestina sampai ke ubun-ubun, kelompok ekstrem pimpinan Meir Kahane dan mereka yang mengikuti tokoh ekstremis Jenderal Rehavam Zeevi, seakan-akan tanpa oposisi sama sekali. Satu kenyataan aneh, setiap kelompok politik yang menentang kaum ekstremis itu lantas punya citra tidak patriotik dan menjadi kaum pembenci diri-sendiri. Belum lama ini berbagai poll yang dibuat di Israel menunjukkan, 40 persen rakyat Israel yang punya hak pilih mendukung teori transfer. Teori ini mengatakan bahwa penyelesaian masalah Palestina hanya dapat dicapai lewat pemindahan semua orang Palestina (deportasi) secara paksa atau sukarela dari Israel dan dari wilayah yang diduduki Israel, yakni Gaza dan Tepi Barat. Kenyataan keras ini mengisyaratkan bahwa tidak banyak perbedaan antara sikap politik pemerintah Israel dan rakyatnya. Pemilu 1 November nanti memang tidak menjanjikan apa-apa. Para tokoh PLO boleh saja membuat isyarat bahwa PLO bersedia mengakui Israel dan menolak terorisme, tetapi Israel sendiri sudah lama mengubah permainannya menjadi semakin ekstrem, jingoistis, dan rasialistis. Israel cenderung kuat tidak membutuhkan perdamaian, apalagi melihat sebuah Negara Palestina Merdeka. Israel tampaknya memilih jalan buntu. Sayang, tokoh-tokoh Israel tidak dapat membedakan antara mitos dan sejarah. Mitos adalah mandek, beku, stasioner, sementara sejarah dinamis, progresif, dan terus berubah. Jalan buntu yang dipasang oleh Israel itu pasti tidak akan mampu menahan perubahan sejarah. Kemerdekaan Palestina adalah suatu keharusan sejarah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus