Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bahasa

Modin

Fariz Alniezar*

18 Mei 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Alif Danya Munsyi dalam kitab anggitannya bertajuk 9 dari 10 Kata Bahasa Indonesia Adalah Asing menulis artikel bertajuk “Arab Bawa Adab”. Artikel itu berbicara soal bagaimana kita berutang perkara konsep adab kepada bangsa Arab. Dengan sangat tajam dan bernas, munsyi yang juga pakar dalam urusan asal-usul kata ini menjelaskan bagaimana bangsa Arab memiliki pengaruh yang sangat kuat dalam konsep soal adab terhadap orang-orang Nusantara. Uniknya, salah satu contoh yang dituliskan dalam buku yang diakui sendiri judulnya sangat “sabun” itu adalah kata muazin yang berasal dari bahasa Arab, yang kemudian ditulis dalam bahasa Melayu pegon, lalu sekarang kita kenal menjadi modin.

Agak aneh memang. Namun, kenyataannya, demikian itu yang akan kita temukan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Ada tiga arti yang diperikan untuk lema modin. Pertama, n Isl juru azan; muazin. Kedua, n Isl pegawai masjid. Ketiga, n Isl lebai di kampung: dipanggilnya -Pak -- untuk membacakan doa. Memang, dari ketiga arti yang diperikan Kamus Besar, semuanya berkisar soal yang tidak jauh-jauh dari ritus dan juga lokus keagamaan—dalam konteks ini Islam—yakni masjid. Namun, menariknya, yang menjadi pertanyaan, apakah memang muasal kata modin itu dari muazin. Mari kita sigi dan diskusikan lebih dalam agar menjadi benderang.

Dalam sebuah artikel lain bertajuk “Satu Nusa Satu Bangsa Dua Languages” yang dimuat di harian Kompas (07/09/2001), Remy Sylado yang tidak lain adalah Alif Danya Munsyi itu sendiri menulis seperti ini: “Tapi melalui itu pula, sekarang kita sampai pada catatan yang sebenarnya, yaitu bahwa bahasa Indonesia memang berangkat dari kesalahan-kesalahan, sehingga pameo ‘baik dan benar’ akhirnya terkesan sebagai gagasan repot untuk tidak mengatakan gagasan mengada-ada. Kita akan melihat sebentar lagi bahwa kesalahan yang terjadi dalam pertumbuhan bahasa Indonesia terdiri atas dua peristiwa, yaitu kesalahan persepsi dan kesalahan transkripsi. Keduanya, percayalah, sangat menarik.”

Penting untuk digarisbawahi dari kutipan panjang di atas, ada gagasan bahwa pertumbuhan bahasa Indonesia ditopang setidaknya oleh dua kesalahan utama: salah konsepsi dan salah transkripsi. Biar jelas duduk soalnya, saya kutipkan beberapa contoh sebagaimana yang dihimpun dalam tulisan tersebut. Salah persepsi terjadi misalnya dalam lema meriam yang sejatinya dari teriakan tentara-tentara Portugis kala menembakkan kanon. Mereka selalu memekikkan nama ibunda Isa Almasih (Maryam). Contoh lain adalah Minggu yang bermuasal dari kata domingo yang berarti Tuhan dalam bahasa Portugis. Juga odading yang diserap dari bahasa Belanda, O, dat ding, yang kira-kira artinya “o, barang itu” (dipakai untuk melunasi rasa penasaran). Terhadap ketiganya, kita salah konsep. Orang mengatakan apa, kita menangkapnya sebagai apa. Tidak nyambung.

Adapun salah transkripsi antara lain terjadi pada kata seru untuk merujuk Sang Khalik dalam seru sekalian alam. Bacaan yang tepat serwa sekalian alam. Juga lema atau, yang pegonnya berbunyi atawa. Suatu pun seharusnya dibaca sawatu, sesuai dengan tulisan pegon Melayunya.

Pertanyaannya: bagaimana dengan lema modin? Agaknya, sampai di sini, Remy Sylado makin menegaskan bahwa bahasa kita memang tumbuh dari kegalatan-kegalatan, termasuk yang dilakukan Remy sendiri. Mengatakan lema modin berasal dari muazin adalah kesalahan persepsi sekaligus transkripsi. Mengapa? Sebab, modin itu berasal dari frasa bahasa Arab, imamuddin, yang berarti pemimpin agama. Soal ini bisa dirujuk pada tulisan Abdurrahman Wahid bertajuk “Imamah: Kemelut Kepemimpinan Umat” (1981). Begini Gus Dur menulis: “Yang sering juga kita lihat adalah kedudukan anutan itu dalam soal-soal keagamaan sehari-hari di pedesaan: memimpin perawatan orang mati, mengatur pernikahan (sebelum dilembagakan dalam bentuk penghulu dan para wakil/naibnya), dan sebagainya. Kedudukan di pedesaan itu bernama imam agama—dalam bahasa Arabnya imamuddin, terkenal dengan singkatan modin.”

Alhasil, sebagaimana yang lazim kita temukan di kampung-kampung, modin adalah mereka yang bertugas sebagai pemimpin ritus keagamaan. Mengatakan lema modin berasal dari istilah Arab, muazin (مؤذن), kemudian berubah menjadi مؤدن, dan mengartikannya sebagai hanya juru azan, selain salah persepsi dan transkripsi, sama belaka dengan mengingkari realitas dan fakta yang selama ini terjadi.

 

*) Pengajar Linguistik Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus