Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Benang Kusut Tiket Pesawat

Penurunan batas atas tarif pesawat udara tak bakal efektif mengendalikan harga. Kuncinya koordinasi di level menteri.

18 Mei 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Keputusan Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi menurunkan batas atas tarif penerbangan domestik kelas ekonomi sebesar 12-16 persen tak bakal menyelesaikan masalah. Kebijakan itu tak akan berpengaruh banyak pada mahalnya harga tiket pesawat di pasar karena tak menyentuh akar persoalan yang memicu tingginya biaya transportasi udara di negeri ini.

Buktinya, sampai dua hari setelah keluarnya keputusan tersebut, penurunan harga riil belum juga terjadi. Publik yang tadinya bergembira, bersiap membeli tiket murah untuk mudik Lebaran, kini kembali harap-harap cemas. Maskapai penerbangan beralasan butuh waktu untuk menyesuaikan tarif baru di sistem penjualan tiket mereka.

Realitasnya jauh lebih rumit ketimbang soal penyesuaian tarif di sistem penjualan. Sebelum keluar keputusan Menteri Budi Karya, harga tiket pesawat sudah melambung sampai seratus persen. Kebijakan pemerintah diprediksi hanya bisa menurunkan harga rata-rata 15 persen. Walhasil, polemik harga tiket pesawat ini ibarat lenggang poco-poco: maju satu langkah setelah mundur empat langkah.

Kondisi ini tak lepas dari praktik duopoli dalam industri penerbangan Indonesia. Penerbangan domestik kini praktis dikuasai dua grup besar: Garuda Indonesia dan Lion Air. Pengambilalihan operasi Sriwijaya Air oleh PT Citilink Indonesia, anak usaha Garuda, membuat maskapai pelat merah itu menguasai 42,9 persen. Sedangkan Lion Air, bersama anak usahanya, Batik Air dan Wings Air, menguasai 50 persen.

Struktur duopoli ini mengarah pada pembentukan kartel harga. Setelah harga tiket Garuda melonjak 40 persen pasca-penghapusan tiket promo di kelas ekonomi tipe V, T, dan Q, awal tahun ini, harga tiket Batik Air ikut-ikutan naik. Tak lama kemudian, Lion dan Citilink berbarengan menerapkan sistem bagasi berbayar yang membuat biaya penerbangan udara melonjak lagi.

Upaya Komisi Pengawas Persaingan Usaha menyelidiki dugaan kartel ini patut diapresiasi. Sayangnya, keputusan komisi itu kerap tak bergigi di hadapan pelaku usaha. Banyak keputusan KPPU yang tak bisa ditindaklanjuti karena dibatalkan di pengadilan yang lebih tinggi. Sepanjang posisi tawar lembaga ini tak diperbaiki, upayanya menjaga keseimbangan pasar tak bakal berdampak besar.

Tak hanya itu. Sampai sekarang, struktur biaya penerbangan kita juga amat tidak kompetitif. Bandingkan saja harga tiket pesawat Jakarta-Makassar dengan harga tiket penerbangan yang waktu tempuhnya sama, sekitar dua jam, seperti Delhi-Mumbai di India atau Hanoi-Ho Chi Minh City di Vietnam. Garuda menjual tiket Jakarta-Makassar seharga Rp 1,7 juta, sementara tiket Delhi-Mumbai dibanderol Rp 700 ribu dan tiket Hanoi-Ho Chi Minh City bisa didapat dengan harga Rp 780 ribu. Artinya, ada komponen biaya di dalam negeri yang jauh lebih mahal daripada harga pasar.

Semula ada dugaan bahwa harga avtur dari Pertamina membuat harga tiket pesawat domestik jadi tinggi. Biaya bahan bakar memang merupakan 24 persen dari struktur biaya tiket. Namun, sejak akhir tahun lalu, harga avtur di Bandar Udara Soekarno-Hatta sudah diturunkan menjadi Rp 9.243 per liter. Ini sudah harga termurah di Asia Tenggara. Bandingkan dengan harga avtur di Changi, yang mencapai Rp 11.791, atau di Kuala Lumpur, Rp 10.599.

Dugaan lain adalah biaya pelayanan bandara yang terlampau mahal. Biaya untuk pelayanan Angkasa Pura memang dibebankan pada harga tiket pesawat yang harus dibayar penumpang. Ini pun masih sumir. Satu-satunya cara untuk menganalisis mengapa harga tiket pesawat terus tinggi adalah mengaudit struktur biaya di sektor ini secara transparan. Hanya dengan cara itu, publik bisa mendapat informasi yang memadai.

Kesulitan lain yang membuat mekanisme pasar tak mudah bekerja di sektor ini adalah fakta bahwa para pemain kunci di industri penerbangan kita, dari Garuda, Pertamina, hingga Angkasa Pura, merupakan badan usaha milik negara. Akibatnya, kepentingan pemerintah sendiri kerap bertabrakan. Presiden Joko Widodo perlu memastikan Menteri BUMN Rini Soemarno dan Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi bekerja sama untuk kepentingan publik yang lebih besar.

Presiden Jokowi bisa memulai dengan menyamakan persepsi kabinetnya soal kisruh harga tiket pesawat ini untuk kesehatan ekonomi kita. Pasalnya, selain penumpang pesawat, pengusaha jasa pengiriman kargo dan pelaku bisnis pariwisata mulai menjerit. Tanpa koordinasi yang padu di antara para menteri, benang kusut harga mahal tiket pesawat mustahil bisa terurai.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus