Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
KPU telah menetapkan pemilihan umum akan diselenggarakan pada 14 Februari 2024.
Muncul pembicaraan untuk menunda pemilihan umum.
Ide itu berhubungan dengan pembicaraan tentang perpanjangan masa jabatan presiden.
Mouliza K.D. Sweinstani
Peneliti Pusat Riset Politik BRIN
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perhelatan Pemilihan Umum 2024, yang ditetapkan Komisi Pemilihan Umum akan diselenggarakan pada Rabu, 14 Februari 2024, memang penuh polemik sejak awal. Polemik dimulai mengenai keserentakan pemilihan, yang diproyeksikan lebih masif dibandingkan dengan Pemilihan Umum 2019; lamanya waktu penetapan jadwal hari pemungutan suara; hingga baru-baru ini bergulir isu untuk menunda pemilihan umum hingga dua tahun ke depan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Isu penundaan Pemilihan Umum 2024 dimulai dari pernyataan Menteri Investasi Bahlil Lahadalia di sela rapat kerja dengan Komisi Investasi Dewan Perwakilan Rakyat pada 31 Januari 2022. Bagai gayung bersambut, lontaran ini kemudian diangkat kembali oleh beberapa ketua partai politik. Politikus pertama yang mengangkatnya hingga membuat isu ini menjadi ramai adalah Muhaimin Iskandar, Wakil Ketua DPR sekaligus Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
Cak Imin--begitu ia akrab disapa--menyampaikan ide tersebut pada 23 Februari 2022. Salah satu alasannya adalah kepentingan ekonomi. Ia tidak ingin Indonesia mengalami pembekuan ekonomi setelah dua tahun stagnan akibat pandemi Covid-19. Menurut dia, akan ada banyak momentum untuk pemulihan ekonomi, sementara pemilihan umum justru dapat mengganggu prospek ekonomi tersebut karena rakyat justru akan dihadapkan pada eskalasi pertarungan politik.
Ide penundaan pemilihan itu ternyata mendapat dukungan dari sejumlah politikus dan beberapa pihak lain. Muhaimin bahkan mengklaim bahwa, berdasarkan analisis big data di media sosial, 60 persen dari 100 juta akun media sosial mendukung ide penundaan pemilihan. Ide ini lantas didukung oleh Partai Golkar dan Partai Amanat Nasional (PAN). Ketua Umum Golkar, Airlangga Hartarto, mengaku menerima aspirasi dari kalangan petani di beberapa daerah tentang perpanjangan masa jabatan presiden. Zulkifli Hasan, Ketua Umum PAN, menyatakan mendukung ide ini karena beberapa alasan, seperti situasi pandemi, instabilitas ekonomi, hingga anggaran pemilihan umum yang membengkak.
Terlepas dari dukungan para politikus ataupun klaim atas masifnya dukungan dari khalayak, ide penundaan pemilihan umum ini jelas menjadi indikasi kemunduran kehidupan demokrasi di Indonesia. Jika ada yang menganalogikan penundaan pemilihan umum ini dengan perubahan jadwal pemilihan pada masa Orde Lama maupun Orde Baru, analogi tersebut sangat tidak cocok dan tidak kontekstual.
Perlu diingat, reformasi merupakan momentum yang dikehendaki rakyat Indonesia untuk lepas dari jerat rezim otoritarianisme. Reformasi juga telah melahirkan kesepakatan untuk membatasi masa jabatan presiden dan mengembalikan kedaulatan rakyat secara utuh melalui mekanisme pemilihan umum secara demokratis dan transparan berdasarkan asas jujur, adil, langsung, umum, bebas, dan rahasia.
Keran partisipasi politik telah dibuka seluas-luasnya. Siapa pun yang memenuhi persyaratan dapat turut serta menjadi peserta maupun pemilih dalam pesta demokrasi tersebut. Di sinilah hakikat kedaulatan rakyat yang diperjuangkan oleh pendukung reformasi dua dekade silam.
Karena itu, ketika sekarang ide penundaan pemilihan umum mencuat, telah terjadi kemunduran peradaban politik yang cukup signifikan. Setelah dua dekade reformasi, demokrasi di Indonesia seharusnya semakin tumbuh dan berkembang serta menuju arah konsolidasi demokrasi. Faktanya, dengan adanya ide ini, demokrasi tidak hanya dicederai tapi justru dikhianati oleh generasi reformasi, yang pada mulanya menghendaki kehidupan demokratis itu sendiri.
Ide penundaan pemilihan juga jelas tidak konstitusional. Sudah sangat jelas diatur dalam Pasal 22E UUD 1945 bahwa pemilihan umum presiden dan wakil presiden serta pemilihan umum legislatif dilaksanakan lima tahun sekali. Pasal 7 juga mengatur bahwa masa jabatan presiden dan wakil presiden dibatasi paling banyak dua periode dengan masa jabatan lima tahun setiap periodenya.
Ketika penyelenggara negara saat ini secara otomatis memperpanjang masa jabatannya karena pemilihan umum yang diundurkan satu-dua tahun, misalnya, tidak ada landasan hukum bagi perpanjangan masa jabatan tersebut. Bila hal ini terjadi, mereka pun tidak memiliki legitimasi atas kursi yang didudukinya. Jika sebuah pemerintahan tidak legitimate, instabilitas politik menjadi ancaman yang paling nyata di depan mata karena pemerintah tidak mendapat pengakuan dan penerimaan dari masyarakat. Buntut dari instabilitas politik ini dapat berpengaruh pada kesejahteraan masyarakat, yang menjadi sulit untuk diwujudkan karena ada ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah.
Alasan Ekonomi dan Motif Politik
Alasan ekonomi, yang disuarakan sebagai salah satu pertimbangan penundaan jadwal pemilihan, tidak tepat. Dengan adanya potensi pelanggaran terhadap konstitusi hingga instabilitas politik, penundaan pemilihan justru akan menjadi bom waktu yang akan sewaktu-waktu meledak dan berdampak buruk, tidak hanya bagi sektor ekonomi, tapi juga seluruh aspek bernegara. Ketika pemilihan diundurkan, kekacauan di tengah masyarakat dapat terjadi dan kondisi ini dapat menurunkan daya beli masyarakat karena tidak adanya rasa aman.
Jika melihat pada data pertumbuhan ekonomi, Badan Pusat Statistik justru mencatat bahwa Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi hingga 3,69 persen pada 2021 setelah mengalami pertumbuhan -2,07 persen pada 2020 di masa awal pandemi. Bank Indonesia juga memproyeksikan pertumbuhan ekonomi dapat mencapai angka 4,7-5,5 persen pada tahun ini. Maka, alasan "untuk menjaga stabilitas ekonomi" tidak tepat dan terkesan mengada-ada. Roda perekonomian justru dapat berputar manakala pemilihan umum digelar melalui berbagai kegiatan yang dilakukan oleh para kandidat, seperti pengadaan atribut kampanye.
Yang justru perlu diwaspadai adalah motif politik di balik ide penundaan ini. Dengan tidak adanya dasar kuat untuk penundaan, kepentingan politik jangka pendek ditengarai menjadi hal yang paling mungkin melatarbelakangi ide ini.
Ide penundaan ini sebetulnya senada dengan wacana tiga periode kepemimpinan Jokowi, hanya dalam bahasa yang tidak langsung. Selain itu, penundaan ini dapat menjadi strategi mengulur waktu bagi partai politik ataupun politikus untuk meningkatkan branding-nya di mata publik, dengan harapan ketika pemilihan digelar, popularitas dan bahkan elektabilitasnya dapat meningkat. Apalagi bagi calon presiden, ide penundaan ini dapat menjadi celah strategis baginya untuk semakin mendekatkan diri dengan calon pemilih.
Motif politik lain adalah peluang untuk mendapatkan posisi dalam pemerintahan saat ini. Dengan bertambahnya masa jabatan presiden, pihak yang selama ini belum kebagian kue politik akan mendapat kesempatan untuk turut mendapatkan bagiannya.
Ketegasan Pemerintah
Polemik mengenai penundaan pemilihan umum ini sebetulnya dapat segera diselesaikan, dan pemerintah dapat kembali berfokus pada berbagai pekerjaan rumah yang belum selesai. Ini dapat terjadi jika pemerintah, khususnya Presiden Jokowi, bersikap tegas.
Memang benar bahwa Presiden sudah memberikan suaranya mengenai polemik ini. Namun jawaban yang diberikan masih ambivalen dan taksa. Tidak ada yang salah dengan pernyataan presiden yang membebaskan orang untuk berpendapat di negara demokrasi ini, termasuk untuk berpendapat tentang waktu penyelenggaraan pemilihan. Namun yang menjadi pokok masalah adalah bahwa yang sedang diperbincangkan merupakan hal fundamental yang sudah diatur dalam konstitusi.
Selain itu, pernyataan "taat pada konstitusi" yang disampaikan Presiden juga bersayap. Konstitusi mana yang dimaksud? Apakah hal ini juga berarti dapat membuka kesempatan dilakukannya amendemen konstitusi agar penundaan pemilihan tetap sesuai dengan konstitusi (yang telah diamendemen)? Konstitusi memang dapat diamendemen, tapi memerlukan keperluan yang sangat mendesak untuk melakukannya. Karena itu, tidak mengherankan jika banyak pihak masih menunggu sikap tegas Presiden melalui pernyataan yang "menolak" penundaan pemilihan umum.
Ketegasan lain yang dapat ditunjukkan oleh pemerintah adalah segera menetapkan anggaran pemilihan umum. Hingga tulisan ini dibuat, usulan anggaran oleh KPU belum juga diputuskan. Hal ini tentu menjadi krusial karena anggaran belum juga diputuskan di tengah polemik penundaan pemilihan. Bila pemerintah sudah menetapkan anggaran, setidaknya sudah ada satu jaminan untuk menepati jadwal pemilihan umum yang telah disepakati sebelumnya.
Sikap tegas dari pemerintah ini sangat perlu dilakukan segera untuk menghindari instabilitas akibat kepentingan politik jangka pendek. Tetap menjalankan pemilihan umum lima tahunan sesuai dengan amanat konstitusi juga menjadi krusial untuk menjaga iklim demokratis di Indonesia dengan adanya sirkulasi kepemimpinan yang sehat melalui pemilihan umum.
Apalagi jika kita mengaitkannya dengan pandangan Daron Acemoglu dan James A. Robinson Acemoglu dalam Why Nations Fail: The Origins of Power, Prosperity, and Poverty (2012). Tentu kita tidak mau menjadi negara yang gagal karena tidak adanya pembatasan masa jabatan kepemimpinan, bukan? Sejarah telah mencatat bahwa Indonesia telah berhasil lepas dari otoritarianisme dan menyepakati pembatasan masa jabatan kekuasaan untuk kepentingan jangka panjang yang jauh lebih baik. Karena itu, ketegasan pemerintah sangat diperlukan dalam merespons gagasan penundaan pemilihan umum ini agar kita tidak kembali jatuh pada pengalaman masa lalu yang melanggengkan kekuasaan secara tak terbatas.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo