Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Mudik

Bagi masyarakat indonesia mudik pada waktu lebaran sudah menjadi kebiasaan karena terikat oleh suatu ikatan kekeluargaan. dengan semakin kayanya makna mudik, ada yang memutuskan tidak mudik.

20 April 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mudik UMAR KAYAM DI media massa, mulai diberitakan gerak eksodus untuk mudik Lebaran. Beratus ribu manusia, dan sebentar lagi konon akan mencapai angka yang lebih menakjubkan, bergerak bagai ombak lautan di terminal-terminal dan stasiun kereta api. Ibu menggendong anak bayi, bapak menggendong anak-anak, kopor, tas besar kecil, bungkusan bergentayangan di punggung dan pundak mereka. Semua hiruk-pikuk dan gencet-menggencet itu demi satu ritus, upacara, setahun sekali untuk mudik, pulang ke udik pada waktu Lebaran. Mudik secara harfiah berarti pergi ke udik. Menjadi bagian dari proses perjalanan besar dan ramai ke satu tempat yang dianggap paling dasar dalam kehidupan yang disebut udik itu. Tetapi apa dan siapa sang udik itu? Di sekolah dasar dan menengah pertama dulu kita diberi tahu oleh pak guru bahwa udik berarti bagian yang paling hulu dari sungai, nun jauh di dalam, di daerah pegunungan sono, tempat dusun-dusun dan para petani tinggal bersama keluarga dan ternaknya. Udik adalah tempat segalanya dimulai. Tempat suami-istri pemula mulai beranak-pinak dan bercucu serta kemudian mungkin bercicit. Dan waktu anak-anak itu berangkat dewasa, tanah atau sawah menyempit, kue sawah harus lebih banyak lagi diiris-iris, mereka pada memencar ke mana-mana. Yang beruntung menetap di daerah baru, di kota-kota, di lahan-lahan transmigrasi, di mana saja, mulai sebagai keluarga pemula dan meneruskan tradisi mengembangkan keturunan, beranak-pinak. Cabang-cabang yang semakin jauh menyebar ke mana-mana itu makin berubah dari sosok petani mereka yang asli. Mereka bergesekan dengan pendidikan kota, dengan sekolah kota yang "modern", dengan perdagangan dan industri yang lebih rumit, dan dengan birokrasi pemerintahan yang lebih ruwet. Secara bertahap mereka mengalami transformasi sosok. Mereka mulai bergaya hidup yang "nir-petani". Tetapi ikatan batin dengan udik di sono? Itu agaknya akan bergantung pada letak udik itu. Perjalanan budaya yang panjang secara pelan telah mengubah sosok petani menjadi "nir-petani" telah pula membuat jarak yang lebih jauh dengan udik. Juga, anehnya, jarak itu dipengaruhi oleh perubahan nama yang lewat beberapa generasi menjadi nama yang jauh dari udik di sana itu. Maka, jarak orang yang bernama Sulistio atau Drs. Senjaya dengan udik di sana mungkin sekali akan berbeda dari jarak Sugimin atau Wagimin dengan udik mereka. Udik Sulistio mungkin terletak di sebuah ibu kota kabupaten atau ibu kota kecamatan. Sedang udik Sugimin mungkin masih udik yang lama. Udik Sulistio tidak lagi terletak di bagian dalam sungai di pegunungan karena ayah Sulistio, yang pensiunan guru sekolah menengah itu, melewati masa pensiunnya di sebuah kabupaten yang kecil. Di kota kecil itulah ayahnya membangun udiknya. Sedang ayah pensiunan guru sekolah menengah ini, embah Sulistio, adalah pensiunan sekolah desa, melewati masa pensiunnya di sebuah kota kecamatan yang lebih kecil lagi. Itulah udik embah Sulistio. Udik yang paling jauh dari asli di pedalaman adalah embah-buyut Sulistio, seorang petani sederhana yang memiliki sawah beberapa bahu. Setidaknya dulu pada waktu dia masih hidup. Sedang Sugimin, berlainan dari Sulistio yang direktur di salah satu departemen di Jakarta, adalah pesuruh dan pembuat teh di satu departemen juga di Jakarta. Sudah hampir pensiun tetapi entah bagaimana dengan gajinya yang kecil itu dia kok kerasan saja tinggal di Jakarta. Buat Sugimin, udik agaknya tetap udik di sono itu, di desa yang masih 10-20 kilometer dari pemberhentian bis di kecamatan. Tidak seperti Sulistio yang mengalami satu proses frod-laap, loncat katak, seperti Douglas MacArthur, dalam menggelinding lewat berbagai jenjang pendidikan dan jabatan Sugimin menggelinding langsung dari udik leluhurnya ke Jakarta. Sulistio dan Sugimin, beserta ribuan orang lainnya, adalah manusia yang berlainan nasib kemujurannya. Namun, dalam menghayati makna udik dan pergi mudik, keduanya sama-sama diikat oleh satu benang merah. Yaitu benang merah yang mengaitkan cerita dan dongeng tentang terjadinya satu keluarga. Cerita dan dongeng itu penuh dengan bahasa suka dan duka tentang terbentuknya keluarga mereka. Sulistio dan Sugimin, bersama dengan ratusan ribu, mungkin jutaan manusia lainnya, telah kehilangan wajah petani dan berganti dengan wajah "nir-petani". Tetapi benarkah mereka sudah kehilangan wajah petani mereka dan benar berganti rupa? Mungkin benang merah itu yang akan mencegahnya dari perubahan total. Transformasi selalu berjalan lambat, bahkan sering pula terlalu lambat. *** Tetapi tahun ini, Wagiman pemilik warung nasi sayur di pojok Cikini itu memutuskan untuk tidak pulang mudik. Lo! Apakah udik sudah tidak bercerita dengan bahasa yang menggetarkan tentang benang merah yang mengikat mereka. Tentu masih, kata Wagiman. Tetapi warung nasi sayur ini sedang larisnya sekarang. Meski Lebaran, warung ini tetap ramai dikunjungi orang. Menampung mereka yang tidak pulang mudik, mengganti dan mengisi peranan kolega pemilik nasi sayur yang pada mudik. Uang akan lebih banyak masuk, yang berarti uang yang dapat disisihkan untuk dikirim ke udik lebih banyak juga. Lumayan, Pak, orang-orang di desa sekarang sedang butuh tambahan dana untuk mencicil kerbau. Sementara itu, Drs. Senjaya, yang menjadi salah satu direktur dari satu bank yang lagi naik daun juga, memutuskan tidak pulang mudik ke Magelang. Dia memilih berangkat bersama seluruh keluarga ke Hong Kong terus sambung ke Jepang. Akhir-akhir ini saya terlalu lelah, Mas. Saya mau lari ke tempat yang lain sama sekali. Nanti saja, kalau lalu lintas Lebaran sudah sepi, saya sowan ke Magelang. Toh dana sudah saya kirim lebih dari cukup. Juga black-forest dan bikang-ambon yang harum itu sudah dikirim beberapa hari yang lalu. Beres, kan? Memang. Mudik mungkin sudah semakin kaya maknanya ...

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus