Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUKSESI kepemimpinan di Korea Utara setelah Kim Jong-il meninggal berlangsung cepat dan tanpa gejolak. Tapi, tunggu dulu, sebenarnya jalan damai ini hanya kejadian yang tampak di media, suatu hasil orkestrasi mesin partai dan propaganda yang efektif. Kenyataannya, situasi yang dihadapi Kim Jong-un, sang "putra mahkota", sangat berbeda dibandingkan dengan saat ayahnya mengambil alih kekuasaan pada 1994.
Kim senior, ketika itu usianya 54 tahun, mewarisi negara yang miskin tapi belum di ambang kemelaratan total. Saat paceklik akut menyerang dan menewaskan hampir sejuta penduduk Korea Utara pada 1990-an, posisinya sudah kukuh di Pyongyang. Ia tidak hanya sudah ditunjuk sebagai ketua partai berkuasa, tapi juga telah mengantongi perjanjian internasional yang menjamin kelangsungan program nuklirnyaāmeski kini sudah tak berlaku.
Lain halnya Kim muda. Di usianya yang belum 30 tahun, dia mewarisi negara yang produk domestik bruto per kapitanya hanya US$ 1.200 (setara dengan Rp 10,9 juta), seperempat penduduknya menghadapi kelangkaan pangan, dan sedang menanggung sanksi internasional serta status paria karena program senjata atomnya. Ditambah nihilnya pengalaman memimpin, sementara potensi konflik antarfaksi di tubuh pemerintahan (khususnya militer, partai, dan anggota kabinet) bisa meledak setiap saat, dia menghadapi masa depan yang tak pasti dan bisa bermuara ke krisis.
Tak satu negara pun mengharapkan skenario gawat yang bisa menimbulkan situasi hancur-hancuran itu. Yang jadi masalah: keinginan mencegah situasi buruk ini mustahil dibiarkan hanya bertumpu pada nasib sang generasi ketiga Kim.
Untuk sementara, Kim muda memang masih punya "mentor" yang akan membimbing dan menjaganya, yakni Jang Sung-taek, pamannya yang menjabat Wakil Ketua Komisi Pertahanan Nasional. Tapi, jika yang hendak diwujudkan adalah perdamaian permanen di Semenanjung Korea, negara-negara yang selama ini terlibat dalam pusaran perseteruan Korea Utara dengan Korea Selatan mesti mencari dan memanfaatkan peluang selekasnya.
Pilihan terbaik adalah para pemimpin Amerika Serikat, Rusia, Cina, Jepang, dan Korea Selatan bergabung dengan kalangan yang optimistis memandang suksesi mendadak di Korea Utara. Mereka mesti ikut meyakini bahwa kinilah saat yang tepat untuk membuka babak baru. Kuncinya sudah tersedia, yakni perayaan seratus tahun Kim Il-sung tahun depan.
Berkaitan dengan itu, Pyongyang telah menjanjikan "negara yang kuat dan makmur" kepada rakyat Korea Utara. Janji ini bakal tak mudah diwujudkan sepenuhnya, kecuali ada dukungan dari luar. Secara khusus, kata "makmur" ini bisa dilihat sebagai isyarat kesediaan melakukan reformasi, juga bekerja sama. Cina, yang selama ini tak pernah bisa meyakinkan Korea Utara untuk menempuh "eksperimen kapitalisme"-nya, misalnya, kini bisa mencobanya lagi.
Pasti ada yang ragu. Alasannya, para elite di lingkaran kekuasaan pasti menolak meninggalkan sistem yang telah bertahun-tahun menguntungkan. Tapi, seperti di negara totaliter yang nyaris gagal lainnya, jumlah orang yang menghendaki perubahan jauh lebih banyak ketimbang para pencari rente itu. Dengan kata lain, andai pilihan memang terbuka, rakyat Korea Utara pasti akan memilih memperbaiki kesejahteraan ketimbang mempertahankan prinsip berdikari yang dijalankan dengan terseok-seok sejak masa Kim Il-sung.
Jika hal itu bisa diupayakan, dengan melibatkan masyarakat internasional, perdamaian dan bahkan reunifikasi dua Korea bukan mustahil menjadi kenyataan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo