Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Presiden Joko Widodo belum lama ini meluncurkan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2025-2045.
Visi kemaritiman tak tampak dalam sasaran ataupun batang tubuh RPJPN.
Literasi kemaritiman perlu dibangun dari dasar untuk mencapai negara maritim yang diidamkan.
Yonvitner
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kepala Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB University
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Presiden Joko Widodo belum lama ini meluncurkan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045. Minimnya istilah “maritim” dan “kelautan” dalam dokumen itu terjadi karena gagalnya penyusun memahami kemaritiman dan negara maritim secara utuh.
Dengan visi negara Nusantara yang maju, sejahtera, dan berkelanjutan, RPJPN menetapkan lima sasaran pokok yang ingin dicapai, yakni pendapatan per kapita setara dengan negara maju dengan pendapatan nasional bruto (GNI) per kapita sebesar US$ 5.500; kemiskinan nol persen dengan rasio Gini 0,29-0,32; daya saing dengan indeks pembangunan manusia 0,73; serta emisi karbon nol mencapai 93,5 persen pada 2045. Tidak ada sasaran yang menyebutkan soal maritim emas 2045. Maritim emas 2045 dapat dicapai dengan literasi dan pendidikan maritim yang merata, infrastruktur maritim yang merata, kesehatan ekosistem maritim, kesejahteraan masyarakat, serta maritim digdaya 2045.
Cara berpikir bahwa setiap zahir Nusantara terdapat kemaritiman dan kelautan perlu diluruskan. Jangan ada persepsi bahwa dalam makna “Nusantara”, semua kandungan kemaritiman sudah terakomodasi—situasi ini yang disebut “kebatinan Nusantara”. Begitu juga soal persepsi ekonomi hijau yang sudah tersirat mengandung ekonomi biru sebagai refleksi kemaritiman yang dipaksakan untuk diakui sebagai diksi kemaritiman—ini yang dimaksudkan dengan kemaritiman yang makin membatin (esoteris). Ciri pandangan ini adalah tidak diakuinya kata “maritim” dan “kelautan” dalam RPJPN. Padahal Bung Karno menyampaikan bahwa ciri bangsa maritim adalah sebagian besar pikiran, pekerjaan, dan kehidupannya di laut sehingga laut dan maritim menjadi warna dalam negara Nusantara.
Pelabelan “Nusantara” dianggap dapat mewakili semua arsitektur maritim. Jika demikian, seharusnya ia tecermin dalam kerangka tubuh RPJPN dengan untaian kata “maritim” dan “kelautan”. Jika kemudian kata-kata itu tidak ada, sebenarnya RPJPN ini mengingkari visi Nusantara itu sendiri.
Negara maritim Majapahit, misalnya, menempatkan sektor transportasi laut, pelabuhan, sumber daya ikan, pengawasan laut, serta konservasi dalam kebijakan dan hukumnya. Jika mau melihat gambaran Nusantara di laut pada masa lampau, relief di Candi Borobudur telah melukiskan ekosistem seperti mangrove. Jadi Nusantara tidak hanya diucapkan, tapi juga terefleksikan dalam sasaran, tujuan, dan program pembangunan.
Ketika mengeksekusi Nusantara tanpa menjadikan maritim sebagai sasaran dan tujuan, hal itu menunjukkan literasi penyusunnya mengenai maritim masih rendah. RPJPN seharusnya disusun oleh orang yang memiliki literasi maritim yang baik.
Ketika pemerintah Cina, misalnya, mendorong ekonomi maritim melalui Prakarsa Sabuk dan Jalan (BRI), semua komponen turut memperjuangkannya. Angkatan lautnya memperjuangkan landas kontinen dan basin laut sebagai batas yurisdiksi. Peneliti menjalankan riset bersama dan data terintegrasi berbasis komputer super. Anak muda berjuang dalam konferensi dan diplomasi internasional untuk membangun paradigma dunia tentang ekonomi berbasis maritim. Adapun guru-guru di sekolah mengajarkan sejarah kejayaan maritim kepada murid-muridnya.
Sementara itu, di negara kita, literasi maritim dibangun dengan data dan pengetahuan yang sangat terbatas serta terkesan simbolis tanpa dukungan program implementasi, apalagi diplomasi. Kemaritiman diikrarkan, tapi untuk diisi orang lain, bukan memperkuat kapasitas masyarakat sendiri.
Untuk keluar dari masalah ini, ada setidaknya tiga langkah utama yang perlu dilakukan. Pertama, memberikan pandangan dan petunjuk kepada masyarakat. Tahap ini merupakan langkah dasar yang harus dilakukan, baik di jenjang pendidikan dasar, menengah, maupun perguruan tinggi. Hal ini bertujuan menguatkan akal dan pikiran, bukan sekadar pancaindra, apalagi untuk pencitraan.
Kedua, diplomasi, yang harus dibangun dalam tataran sains serta politik lokal, nasional, dan internasional. Tiada guna deklarasi maritim kalau kemudian gerakan kita tidak memperbesar pengaruh di laut.
Tahap ketiga adalah memastikan jiwa dan raga negara terisi oleh manifesto kemaritiman. Ini memastikan adrenalin kemaritiman terus meningkat, semangat membara, serta darah terus mengalir untuk menggerakkan ekonomi dan ideologi maritim dalam napas negara maritim. Jiwa kemaritiman harus tumbuh dalam sanubari bangsa kalau Indonesia serius menjadi negara maritim.
PENGUMUMAN
Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebut lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan nomor kontak dan CV ringkas.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo