DIREKTUR Poetry International 73 Charles Osborne memanggil namanya, dan memintanya naik ke panggung -- di Queen Elizabeth Hall, London. Dengan tenang ia melangkah dari jajaran kursi penonton, lalu menghampiri mikrofon. Penonton yang belum begitu mengenal namanya tetap bertepuk, seperti ketika menyambut penyair-penyair beken yang telah mereka kenal. Lalu penyair bertubuh ramping yang mengenakan celana dan jas berwarna putih itu mulai membacakan sajak-sajaknya. Tidak ada yang istimewa. Bacaannya datar seakan tanpa emosi. Kontras dan terbanting dibandingkan Allen Ginsberg penyair beat dari Amerika yang malam itu membacakan puisi-puisinya dengan iringan akordeon. Ginsberg yang berewokan, berkaca mata, dan mengenakan dungaree itu tampak seperti buruh bengkel dan jorok dibandingkan penyair yang mengenakan setelan putih-putih itu. Tapi keplokan gemuruh seakan dikhususkan untuk Ginsberg -- sejak ia melangkah menuju panggung, sewaktu membacakan sajak-sajaknya, begitu pula ketika selesai dengan permainan akordeonnya. Walau memakai tongkat ketiak (crutch), Ginsberg tetap melangkah dengan gagah sambil mengangguk kepada Thomas Kinsella, Vasco Popa, W.H. Auden, Peter Porter, Oswald Mtshali -- para penyair yang duduk berjajar kira-kira tiga meter di belakang mikrofon. Setelah itu, Ginsberg pun menyenandungkan sajak-sajak anti-Perang Vietnam dengan bersemangat. Queen Elizabeth Hall, yang terletak di pinggir Sungai Thames, seakan tak sanggup menahan getaran tepuk tangan untuk Ginsberg. Penyair bersetelan putih tadi tampak jadi paria di tengah-tengah penyair besar di sekitarnya. Penonton jelas lebih akrab dengan W.H. Auden, yang meneguk air putih bergelas-gelas sebelum membacakan sajaknya malam itu. Juga dengan Peter Porter dan Thomas Kisella yang sering ikut dalam Poetry International itu. Kalaupun orang bertepuk tangan untuk penyair "tak beken" itu, karena ia, setahun sebelumnya, terusir dari negerinya -- Uni Soviet. Bukan lantaran sajak-sajaknya yang bagus atau karena bacaannya yang memikat. Waktu itu, ia jelas kalah populer dibandingkan Andrei Sinyavsky dan Yuli Daniel, dua penulis pembangkang pada era setelah Stalin. Apalagi jika ia dibandingkan Yevgeni Yevtushenko, yang ketika itu menjadi bintang penyair di Uni Soviet. Mungkin, karena ia tidak terkenal, maka panitia Poetry International 1973 tidak mencantumkan namanya dalam buku acara. Dibilang lupa agaknya tidak mungkin. Karena pembacaan puisi yang berlangsung dari 25 hingga 30 Juni itu telah dipersiapkan matang oleh he Poetry Book Society, yang bekerja sama dengan Dewan Kesenian Inggris Raya. Kabarnya, penyair ramping bersetelan putih itu tidak direncanakan ikut dalam pembacaan puisi di London tersebut. Ia, juga Allen Ginsberg, sebenarnya hanya mengikuti Poetry International di Rotterdam. Kebetulan selang waktu kedua pembacaan puisi itu tidak terlalu jauh, maka kedua penyair tersebut, yang belum kembali ke Amerika, menghadiri pembacaan puisi di London. Mengapa nama Ginsberg tercantum di buku acara, sedangkan namanya tidak? Soal nama itu sebenarnya tidak terlalu perlu dipermasalahkan, apalagi peristiwanya sudah empat belas tahun berlalu. Tapi, peristiwa itu ternyata tetap menjadi tanda tanya buat seorang ibu rumah tangga di Indonesia, yang kebetulan menyaksikan pembacaan puisi itu bersama suaminya. Adalah sang suami, yang baru membaca sebuah puisi penyair bersetelan putih itu di majalah Encounter terbitan London, yang membisikkan bahwa seniman pembangkang tersebut berbakat. Ia diusir pemerintah negaranya, karena berani menentang kuku kekuasaan. Karena bisikan suami itu, maka sang ibu rumah tangga menghampiri penyair tersebut begitu ia selesai membacakan puisinya. Penyair itu menggoreskan tanda tangannya di buku kecil yang dibawa ibu rumah tangga Indonesia itu. Oktober lalu, tanda tangan sang penyair diperlihatkan ibu rumah tangga tadi kepada suaminya. Nama itu jelas terbaca: Joseph Brodsky. Dialah pemenang Hadiah Nobel untuk kesusastraan tahun ini. Agaknya penonton yang menghadiri pembacaan puisi di Queen Elizabeth Hall pada 29 Juni 1973 tidak pernah membayangkan, sang penyair akan menerbitkan A Part of Speech, kumpulan puisinya yang bagus itu, pada 1980. Itulah salah satu buku yang menjadi perhatian The Swedish Aeademy of Letters, lembaga pemberi Hadiah Nobel. Brodsky, yang dulu ramping dan tampan itu, kini tampak dalam usia 47 tahun. Setengah kepalanya botak, dan sebaglan rambutnya yang tersisa telah memutih. Walau tetap menganggap dirinya bagian dari kesusastraan Rusia, ia kini telah memiliki kewarganegaraan Amerika. Sejak ia meninggalkan tanah airnya telah banyak perubahan yang terjadi di Uni Soviet. Beberapa buku yang dulu terlarang kini diterbitkan di Rusia. Drama yang dulu dibekukan sekarang boleh dipentaskan. Musik rock dan jazz berkembang bebas. Begitu pula aliran-aliran dalam seni rupa. Akankah mereka menerbitkan buku-buku Brodsky setelah penyair kelahiran Leningrad ini memenangkan Hadiah Nobel? Glasnost mungkin bisa menjawabnya. Apalagi salah seorang juru kampanyenya, penyair Yevtushenko, dengan tandas mengatakan, "Saya yakin, kesenian Soviet sedang berada pada tahap pra Renaissance... Kata-kata para penulis di negeri ini di masa lampau didengar, dan sekarang kata-kata itu lebih didengar."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini