Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rio Christiawan
Kriminolog dan Dosen Hukum Universitas Prasetiya Mulya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kepolisian kembali merilis dua tersangka kasus penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan, penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sangat jelas bahwa rilis kepolisian ini bukan hasil akhir yang diharapkan masyarakat. Kemungkinan atas penangkapan dua tersangka yang merupakan anggota kepolisian aktif ini ada dua. Kemungkinan pertama, rilis penangkapan ini kembali memunculkan kemungkinan bahwa tersangka hanya merupakan pihak yang "dikorbankan" dan secara kriminologis keduanya sebenarnya tidak memiliki kaitan langsung ataupun tidak langsung dengan peristiwa penyiraman air keras.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Logika kemungkinan ini terjadi, mengingat pada 23 Desember 2019 kepolisian merilis surat perkembangan pemberitahuan hasil penyidikan (SP2HP) yang menyatakan bahwa pelaku penyiraman air keras terhadap Novel belum diketahui. Demikian juga, wajah para pelaku yang dirilis kepolisian berbeda dengan sketsa wajah yang pernah disampaikan Kepala Kepolisian RI dan Kepala Kepolisian Daerah Metro Jaya pada akhir 2017.
Hal lainnya yang menguatkan kemungkinan bahwa kedua pelaku tidak memiliki kaitan sama sekali dengan kasus Novel adalah motif yang diungkap pelaku, yakni adanya dendam. Secara kriminologis, hal ini terkesan janggal dan dangkal serta berbeda dengan laporan tim gabungan pencari fakta (TGPF) yang dirilis pada 17 Juli 2019, yang inti enam rekomendasinya lebih menyoroti peran Novel di KPK dan enam kasus high profile. Artinya, kejanggalannya terletak pada perbedaan rekomendasi TGPF dan setelah diserahterimakan kepada tim teknis, baik profil maupun motifnya, yang berbeda sama sekali.
Sebagaimana diuraikan oleh Bonger (1993), motif dendam hanya akan mungkin terjadi bila pelaku dan korban sudah saling mengenal dan kepentingan pelaku secara langsung terinterupsi oleh tindakan korban. Artinya, dalam hal ini perlu dipastikan apakah profil tersangka yang kini ditahan oleh kepolisian memenuhi unsur tersebut.
Kemungkinan kedua, tersangka yang kini ditahan oleh kepolisian merupakan penghubung antara auktor intelektualis dan pelaku lapangan. Model kejahatan yang terdiri atas beberapa tingkat komando ini juga lazim terjadi, misalnya dalam kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen, yang kala itu melibatkan mantan Ketua KPK Antasari Azhar. Dalam hal ini, auktor intelektualis hanya berhubungan dengan penghubung, dan instruksi kepada eksekutor datang dari penghubung.
Maka, ada kemungkinan bahwa tersangka yang kini ditahan oleh kepolisian terlibat dalam kasus Novel dengan peran sebagai penghubung. Kemungkinan ini akan masuk akal jika wajah tersangka berbeda dengan sketsa yang dirilis polisi pada akhir 2017, mengingat kedua tersangka bukan sebagai eksekutor.
Demikian juga dengan teriakan "pengkhianat" yang disampaikan tersangka di depan wartawan. Hal ini mungkin berkorelasi dengan satu dari enam kasus high profile sebagaimana dimaksudkan TGPF.
Namun, jika secara empiris yang terjadi adalah kemungkinan kedua, hal ini masih menyisakan pertanyaan: mengapa untuk kejahatan serumit kasus Novel, hingga 23 Desember 2019 polisi belum mengetahui pelakunya, tapi "tiba-tiba" berselang lima hari polisi bisa menangkap dan menetapkan status tersangka?
Jika tersangka adalah penghubung, kini dengan mudah polisi dapat menangkap pelaku lapangan. Akan sangat janggal dan tidak logis jika kedua tersangka disebut sebagai pelaku tunggal dengan motif dendam kepada Novel. Sebagaimana diuraikan Nicolaus Stall (2001), pelaku tunggal adalah pihak yang melakukan kejahatan secara mandiri tanpa memberikan atau diberi perintah pihak lain.
Di Indonesia, kasus kejahatan yang melibatkan aparat pemerintah, baik sebagai pelaku maupun korban, tidak pernah dilakukan secara tunggal. Contohnya adalah kasus pembunuhan wartawan Udin, pembunuhan aktivis Marsinah, hingga pembunuhan Munir. Semuanya memiliki kesamaan pola, yakni bukan kejahatan yang dilakukan secara mandiri oleh auktor intelektualis dan berganti-gantinya plot kejahatan saat penyidikan, hingga pada akhirnya tidak terungkapnya pelaku ataupun auktor intelektualis yang sesungguhnya.
Dalam kasus Novel, secara logis kemungkinan yang terjadi cenderung menunjukkan bahwa kedua tersangka tidak memiliki kaitan dan tak terlibat dalam peristiwa penyiraman air keras. Namun polisi harus tetap menelusuri kemungkinan bahwa mereka terlibat sebagai penghubung dan menangkap auktor intelektualis serta eksekutor lapangannya.
Terlepas dari segala kemungkinan itu, kepolisian harus memenuhi harapan masyarakat akan penegakan hukum yang transparan dan tanpa rekayasa. Kepolisian perlu segera mengungkapkan seluruh rangkaian kejahatan kasus Novel dengan tidak berhenti sampai pada eksekutor, tapi mesti menjangkau auktor intelektualis dan motif yang sesungguhnya.
Guna mengungkap kasus ini, kepolisian harus berpegang pada laporan TGPF. Hanya, laporan TGPF memiliki kelemahan karena enam rekomendasinya masih terlalu umum dan belum menunjuk pada satu peristiwa yang menjadi latar belakang kasus Novel. Tim teknis dan kepolisian dapat melanjutkan laporan dan rekomendasi TGPF tersebut sehingga pelaku dan auktor intelektualisnya terungkap.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo