Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Obituari Hendrik Dikson Sirait, 5 Januari 1972 - 11 Mei 2023

Omong-omong, aku senang melihat fotomu yang ditaruh di depan pusara. Kau tersenyum. Rapi dalam balutan jas dan dasi. Badanmu berisi. Mirip aku jugalah.

15 Mei 2023 | 12.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Hendrik Dikson Sirait

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Blis, aku pamit pulang. Ada waktunya nanti kita berjumpa lagi. Langit mendung dan gerimis sudah datang. Sudah kutabur sendiri bunga di tanah yang kini menyelimutimu. Bunga yang aku beli di jalan dekat taman pemakaman. Kau tak akan kedinginan atau kesepian. Di makam itu sudah ada Timbul, adikmu. Berpelukanlah kalian.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Selain ribuan kelopak mawar, tadi aku beli juga tiga tangkai Melati. Untuk mengenang diskusi kita dulu di rumah sederhana di Jalan Penggalang itu. Bahwa apa yang perlu bagi generasi kita dari Pancasila cuma tiga: Kemanusiaan, Demokrasi dan Keadilan Sosial.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Agama biar saja jadi urusan pribadi orang seorang. Lagi pula, agama sering cuma bikin manusia bermusuhan. Dan Nasionalisme: itu sudah selesai dengan kemerdekaan Indonesia.

Tak usahlah aku tulis di sini apa kelanjutan diskusi kita tentang kemiripan Agama dan Nasionalisme. Bah! Aku pikir-pikir sekarang, memang subversif kali pikiran kita dulu itu ya! 

Tadi aku jumpa kawan-kawan lama kita. Sudah kusapa dan kusalami mereka. Selanjutnya aku memilih duduk merenung sendiri. Aku tak ingat, kapan terakhir kita jumpa dalam sembilan tahun terakhir. Sebelumnya, kita juga tak sering berjumpa. Tapi tiap kali menjelang Natal, pasti aku cari kau. 

Atau kau cari aku duluan dan beri kode. “Kak, anak PIJAR kagak semuanya ber-Lebaran!” Kontan kujawab, “Yoi, cing, lapan enam!”

“Kakak Dua Setengah”. Begitu kau ledek aku dulu. Kakak Kesatu itu Amir Daulay. Kakak Kedua: Coki Naipospos. Tak paham aku, kenapa kau dan Ferry Mpek sebut aku “dua setengah”. Apa karena Nuku yang ketiga? Tapi sesukamulah. Kagak pernah gue pikirin juga. 

Tapi ada kelakuan kalian dulu yang bikin aku mikir. Ferry dan kau merancang gerakan merebut kepemimpinan Presidium PIJAR dari Amir Daulay. Celakanya, aku yang kalian dorong mengganti Amir. Jelaslah aku jadi serba salah. 

Bukan apa-apa. Kalau berbeda pendirian saja kita semua sudah terbiasa. Tapi ada hal yang kau tak tahu. Saat itu, balik dari pelarian di Belanda, aku ditampung Amir di rumah kontrakannya. Rumah di dalam gang di Jakarta Timur itu diisi kami bertiga: Amir, adik Nurdin Fadli dan aku (Al-Fatihah untuk Amir dan Nurdin). Jadilah kami saling kikuk tiap kali bertemu di rumah. 

Aku sudah bilang Amir, bukan aku yang berencana, melainkan anak-anak didiknya sendiri yang kalian pimpin bertiga: Mpek, kau dan Oka. Tapi agaknya dia kagak percaya.

Nah, kalau kau nanti bertemu Amir, kau sampaikanlah ya salam dan kangenku. Kau akui jugalah, kau dan Mpek yang dulu mau kudeta! Biar habis kesalnya dia sama gua.

Omong-omong, aku senang melihat fotomu yang ditaruh di depan pusara. Kau tersenyum. Rapi dalam balutan jas dan dasi. Badanmu berisi. Mirip aku jugalah. 

Dulu saat mahasiswa, kita sama-sama kurus. Maklum, kita semua di PIJAR cuma kenal dua makanan dalam menu. Mie Instan dan Ketoprak. Padahal, sebagai aktivis mahasiswa yang ke sana sini dengan metromini dan jalan kaki, harusnya makanan kita empat sehat lima sempurna. 

Kudengar, Jokowi menempatkan kau jadi Komisaris BUMN. Syukurlah. Kau berhak mendapat apresiasi. 

Dulu kau kontak aku. Kau bilang mau mendirikan Almisbat untuk memenangkan Jokowi. Aku tak pernah menghalang. Padahal, saat itu aku pengurus pusat Partai Demokrat. Dan kau: saat itu Ketua PBHI Jakarta. Organisasi yang turut aku dirikan dengan Hendardi. 

Aku saat itu cuma pesan satu hal. Jangkar politik yang kita percakapkan dulu perlu terus kita jaga. Agar, kemanapun gelombang pilihan politik membawa, kita tak akan terseret jauh dari jangkar yang sudah bersama kita lemparkan. 

Kalimat penutup dalam percakapan telepon kita saat itu adalah: “Politik secukupnya. Persahabatan selamanya”. Mestinya aku yang bilang begitu. Sebab yang aku ingat adalah jawabanmu: ”Lapan enam, Kak!” 

Blis, gerimis makin berani. Sebelum aku pamit, kau maafkanlah dulu aku karena memilih tak menjengukmu di rumah sakit. Bukan hanya karena alasan pandemi. Tapi aku tak mau melihatmu saat sakit agar aku bisa selalu mengenangmu seperti yang aku ingat dulu. Atau sekurangnya seperti kau dalam foto yang keren itu di pusaramu. 

Nah, aku pulang ya! Sudah hujan besar sekarang. Alam seperti ikut berkabung. Biar kau tahu: diam-diam, dalam perjalanan pulang, mataku basah. Rasa kehilangan memang selalu datang belakangan. 

Tapi lalu terpikir oleh aku bahwa kau ini satu-satunya “Iblis” yang kepergiannya ditangisi. Aku jadi geli sendiri.  

Blis, sampai bertemu lagi! Jangan kau kudeta lagi Amir di sana!*

(Rachland Nashidik — “Kakak Dua Setengah”)

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus