Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Revisi Undang-Undang IKN memuluskan jalan bagi investor untuk menguasai lahan IKN.
Pemerintah mengobral lahan untuk investor melalui kebijakan dan regulasi.
Investor diiming-imingi hak atas tanah selama hampir dua abad.
Dewi Kartika
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saat konflik agraria di Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau, meletus, diam-diam pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat kembali menggelar karpet merah bagi para investor serta pengusaha di Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara lewat revisi Undang-Undang IKN. Tidak hanya memberikan beragam keistimewaan (privilege) untuk mensponsori pembangunan ibu kota baru itu, pemerintah juga memberikan keistimewaan untuk berbisnis di sana dengan mengobral tanah dan hutan alami di Kalimantan Timur. Itulah misi terkuat revisi Undang-Undang IKN sebagai cara menarik minat para pemodal.
Upaya revisinya dilakukan secara diam-diam, tanpa transparansi, dan tak ada proses rapat dengar pendapat umum atau konsultasi publik yang memadai dengan kelompok kritis. Sebab, ada tendensi kuat pemerintah bersama elite politiknya di DPR ingin mengobral tanah melalui pemberian hak guna usaha (HGU) dan hak guna bangunan (HGB) yang super-istimewa kepada para investor IKN. Perolehan tanah untuk proyek IKN (zona inti dan zona pengembangan) akan dilakukan melalui proses pelepasan kawasan hutan serta pengadaan tanah, baik pengadaan tanah melalui mekanisme pengadaan tanah untuk kepentingan umum hasil Undang-Undang Cipta Kerja maupun pengadaan tanah secara langsung.
Proyek IKN membutuhkan dana mencapai Rp 500 triliun, yang memerlukan skema-skema pendanaan yang menarik minat para investor. Selain akan memakai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara hingga 20 persen dari total kebutuhan proyek, pemerintah bersama Otorita IKN harus putar otak untuk mencari sumber dana lainnya dengan menggaet investor dalam negeri ataupun asing. Akibatnya, revisi Undang-Undang IKN ini tampak jelas telah secara gelap mata memperkenalkan dan menerapkan sistem dua siklus pemberian konsesi HGU dan HGB. Dengan sistem ini, pemerintah ingin memastikan para pemodal mendapatkan hak atas tanah untuk bisnis perkebunan selama 190 tahun (hampir dua abad) untuk HGU dan bisnis properti selama 160 tahun untuk HGB.
Modus obral tanah berkedok pembangunan ibu kota ini dilakukan dengan menaikkan level Peraturan Pemerintah Nomor 12/2023 yang mengatur dua siklus HGU dan HGB tersebut ke level undang-undang. Dengan begitu, kepastian investor mendapatkan konsesi tanah selama 190 tahun HGU dan 180 tahun HGB semakin kuat legitimasi hukumnya serta aman dalam konteks politik menjelang pergantian kekuasaan.
Kebijakan dua siklus HGU dan HGB ini melanggar serta mengkhianati Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), yang telah mengatur tata cara serta jangka waktu pemberian hak atas tanah dalam bentuk HGU dan HGB. Perubahan regulasi itu juga melanggar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21-22/PUU-V/2007 tentang pemberian konsesi sekaligus di muka. Mahkamah menyatakan pemberian hak atas tanah sekaligus di muka atau disebut "dua siklus" (pemberian hak, perpanjangan, dan pembaruannya) untuk 95 tahun HGU, 80 tahun HGB, serta 70 tahun hak pakai melanggar UUD 1945.
Aturan pemberian HGU hingga 190 tahun (dua siklus 95 tahun) itu juga bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21-22/PUU-V/2007 tentang Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. MK menyatakan HGU selama 75 tahun yang diberikan di muka sekaligus tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan bertentangan dengan konstitusi.
Konsep "di muka sekaligus" yang telah dinyatakan inkonstitusional itu pada prinsipnya sama dengan ketentuan "siklus" dan jaminan "dua siklus" untuk pemberian jangka waktu HGU serta HGB yang diatur dalam revisi Undang-Undang IKN. Regulasi yang memberikan konsesi hingga dua abad itu adalah kejahatan terhadap konstitusi dan UUPA. Pemerintah dan kroni politiknya seakan-akan tidak punya harga diri (dignity), rela obral-obral tanah, serta kekayaan alam.
Nuansa pembangunan IKN justru kental dengan narasi-narasi presiden dan para menterinya untuk menggaet investor sebanyak-banyaknya. Pemerintah dan elite politiknya gelap mata terhadap investasi hingga mengabaikan berbagai prinsip fundamental agraria dari bangsa Indonesia sendiri.
Prinsip kedaulatan agraria bangsa—kesadaran atas krisis ketimpangan penguasaan tanah yang sudah ada di Kalimantan Timur dan potensi konflik agraria yang makin besar dengan masyarakat setempat, termasuk masyarakat adat serta petani—absen dalam proyek ambisius IKN. Hal ini terjadi akibat orientasi dan model pembangunan ibu kota yang terlalu berambisi dalam memanjakan para investor demi memperoleh permodalan.
Tidak ada visi kerakyatan; pemenuhan dan pemulihan hak atas tanah bagi warga setempat; serta mengabaikan mitigasi risiko sosial dan ekologis dalam cetak biru IKN. Obral tanah dan kekayaan alam bagi investor ini juga mengabaikan kenyataan masih banyak masalah struktural agraria karena reforma agraria sejati tidak pernah dilaksanakan di Kalimantan Timur, terutama di lokasi IKN.
Hal ini bisa menjadi pedang bermata dua yang dapat merugikan masyarakat adat dan rakyat kecil lain. Ini sekaligus akan "menjerumuskan investor" dalam situasi konflik agraria dengan masyarakat setempat. Investor diiming-imingi undang-undang dan konsesi tanah hampir dua abad padahal Kalimantan Timur dan lokasi IKN itu bukanlah tanah kosong tanpa manusia dan bukan tanpa problem struktural agraria yang akut. Investor justru harus berhati-hati dengan iming-iming konsesi ini, jika tidak mau berhadapan dengan konflik agraria dan konflik sosial di masyarakat.
Demi misi mencari pemodal untuk berinvestasi, narasi yang dibawa-bawa pemerintah dan para promotor IKN adalah seolah-olah jaminan regulasi berarti pula jaminan tanah. Padahal jaminan regulasi akan percuma jika pemerintah menutup mata para investor terhadap realitas agraria-kehutanan di lapangan dan risiko sosial lainnya.
Proyek IKN dipromosikan seolah-olah tanah yang tersedia di Penajam Paser Utara, Kutai Kartanegara; dan Kalimantan Timur pada umumnya bebas dari konflik agraria, statusnya sudah clean and clear dari problem struktural agraria, bebas risiko sosial, serta bernilai tinggi untuk berbisnis. Padahal regulasi baru IKN ini bisa memperkeruh konflik agraria yang sudah ada di sana dan akan semakin memperparah ketimpangan penguasaan tanah yang telah terjadi. Tidak diragukan lagi bahwa kebijakan ekonomi-politik dalam Undang-Undang IKN lebih buruk daripada Undang-Undang Agraria zaman kolonial (Agrarische Wet 1870) yang sudah buruk, yang memberikan hak konsesi perkebunan kepada investor (maskapai perkebunan kolonial) paling lama 75 tahun.
Kebijakan dan praktik inkonstitusional agraria ini disebabkan oleh arah ekonomi-politik negara yang tidak lain dan tidak bukan mengabdi pada kapitalisme. Setelah Undang-Undang Cipta Kerja, Undang-Undang IKN adalah kejahatan mutakhir terhadap konstitusi dan UUPA.
Jangan lupa pula, 10 taipan yang telah digaet pemerintah guna menarik lebih banyak investor untuk bergabung itu banyak yang tidak bersih rekam jejaknya dari masalah perampasan tanah dan monopoli tanah oleh swasta yang dilarang UUPA. Mereka adalah aktor penyebab ketimpangan dan konflik agraria di banyak wilayah.
Tanpa reforma agraria sejati di Kalimantan Timur dan seluruh Kalimantan, proyek "lapar tanah" IKN akan menempatkan Otorita IKN serta para taipan dan investor lainnya (domestik serta asing) menjadi tuan rumah baru di Kalimantan. Sayangnya, penguasaan tanah itu akan diperoleh dengan mendiskriminasi hak-hak masyarakat adat, petani, nelayan, buruh kebun, masyarakat miskin, dan kelompok marginal lainnya dalam struktur agraria Kalimantan.
PENGUMUMAN
Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebut lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan nomor kontak dan CV ringkas.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo