Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Keabsahan Kebijakan Keuangan Pandemi

Substansi peraturan itu bermasalah karena presiden belum memutuskan soal status krisis sistem keuangan.

24 Agustus 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Opini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • DPR menyetujui rancangan undang-undang yang mengesahkan peraturan pemerintah soal keuangan pandemi.

  • Persetujuan ini agak aneh karena peraturan itu justru melucuti kewenangan anggaran dan pengawasan DPR.

  • Substansi peraturan itu bermasalah karena presiden belum memutuskan soal status krisis sistem keuangan.

Ketua Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum UGM

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini


Meskipun banyak dikritik masyarakat, rancangan undang-undang yang mengesahkan peraturan pemerintah soal keuangan pandemi tetap disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Nama resmi rancangan itu adalah Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Pengesahan dan Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19. Persetujuan ini agak aneh, karena peraturan pemerintah itu justru berisi pelucutan kewenangan anggaran dan pengawasan Dewan. Meskipun telah disetujui, bukan berarti masalah substansi peraturan tersebut tak bisa dipersoalkan. Saat ini, konstitusionalitasnya sedang diuji di Mahkamah Konstitusi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebagai peraturan yang dikeluarkan dalam ihwal kegentingan yang memaksa, pertanyaan mendasarnya adalah kedaruratan apa yang melatari peraturan itu. Hingga saat ini, ada dua kondisi darurat yang telah ditetapkan. Pertama, darurat kesehatan masyarakat berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2020. Kedua, status bencana nasional non-alam penyebaran Covid-19 berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020.

Kedua keputusan menjadi dasar hukum bagi berlakunya keadaan darurat dan kebijakan-kebijakan khusus untuk mengatasi kedaruratan. Maka, bisa diterima logika bahwa peraturan itu memuat materi kebijakan keuangan negara untuk mengatasi kedaruratan kesehatan dan bencana non-alam.

Persoalannya, peraturan itu tidak hanya mengatur soal kebijakan keuangan untuk penanganan Covid-19, tapi juga kebijakan stabilitas sistem keuangan. Bahkan materi soal stabilitas sistem keuangan jauh lebih dominan. Apakah pengaturan tersebut memenuhi alasan kedaruratan sistem keuangan?

Soal kedaruratan sistem keuangan sebenarnya telah diatur tersendiri dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan. Undang-undang ini masih berlaku dan tidak dicabut oleh peraturan tersebut. Ia mengatur secara lengkap langkah-langkah untuk mencegah dan mengatasi darurat sistem keuangan atau yang disebut sebagai krisis sistem keuangan, yaitu kondisi sistem keuangan yang gagal menjalankan fungsi dan perannya secara efektif dan efisien yang ditunjukkan dengan memburuknya berbagai indikator ekonomi dan keuangan.

Apakah Indonesia sedang berada dalam status "krisis sistem keuangan" sehingga diperlukan peraturan pengganti undang-undang? Menurut Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016, hanya ada satu otoritas yang berwenang menetapkan status krisis/darurat, yaitu presiden. Penentuan status krisis dimulai dengan kesepakatan Komite Stabilitas Sistem Keuangan, yang terdiri atas Menteri Keuangan, Gubernur Bank Indonesia, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).

Apabila Komite menilai stabilitas sistem keuangan berada dalam kondisi krisis, ia merekomendasikan kepada presiden untuk memutuskan perubahan status stabilitas sistem keuangan dari "normal" menjadi "krisis". Presiden memiliki waktu paling lambat 1 x 24 jam untuk memutuskan perubahan status tersebut. Apabila diputuskan status krisis, presiden menerima rekomendasi penanganan dari Komite. Namun, apabila presiden menolaknya, penanganannya dilakukan secara normal oleh lembaga-lembaga pemerintahan.

Apakah saat ini presiden telah menetapkan status krisis sistem keuangan? Jelas belum. Hingga saat ini, tidak ada keputusan presiden soal status krisis sistem keuangan. Undang-undang krisis memerintahkan agar penetapan status krisis itu dilakukan secara formal dengan sebuah keputusan presiden, sebagaimana penetapan status darurat lainnya. Penetapan ini sangat penting untuk menentukan kapan kewenangan penanganan krisis dapat digunakan. Selama tidak ada perubahan status, langkah/kebijakan darurat penanganan sistem keuangan, sebagaimana diatur dalam peraturan pemerintah, kehilangan alas pijakannya.

Tanpa status krisis sistem keuangan, pertama, akan ada pertanyaan yang serius soal keabsahan kebijakan keuangan yang dilaksanakan oleh Komite. Kedua, ratusan triliun uang negara yang digunakan untuk stabilitas sistem keuangan berpotensi memicu masalah hukum (korupsi) di kemudian hari. Ketiga, substansi peraturan pemerintah di atas yang berkenaan dengan penanganan darurat stabilitas sistem keuangan kehilangan "keabsahan kedaruratannya" sehingga menjadi tidak konstitusional.

Risiko hukum itu diselesaikan oleh peraturan pemerintah tersebut dengan menambahkan pasal "kebal hukum". Imunitas itu diberikan kepada pejabat Komite dan lainnya yang diberi kekuasaan luas untuk membuat kebijakan penanganan krisis sistem keuangan dan menjalankannya. Imunitas itu termuat dalam Pasal 27, yang menetapkan bahwa mereka tidak dapat dituntut secara perdata, pidana, dan tata usaha negara. Unsur kerugian negara juga dihilangkan karena semua anggaran negara yang digunakan dianggap sebagai biaya ekonomi untuk penanganan krisis.

Di satu sisi, pasal kebal hukum itu bisa diabaikan, dengan alasan kedaruratan (krisis) sistem keuangan menurut Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tidak terpenuhi. Di sisi lain, aturan kebal hukum tersebut jelas melanggar prinsip konstitusi dan negara hukum, yaitu prinsip kesamaan di hadapan hukum dan prinsip legalitas.

Dalam kondisi darurat sekalipun, tidak berarti harus ada kekebalan hukum. Pelanggaran terhadap prinsip konstitusi ini harus dikoreksi. Apalagi jika pelanggaran terhadap prinsip itu membuka peluang terjadinya korupsi atas nama kebijakan. Semoga Mahkamah Konstitusi memperhatikan hal ini.

 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus