Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Statistik Covid-19 di Yogyakarta lebih rendah dari provinsi lain di Jawa.
Padahal tingkat kepadatan dan mobilitas penduduknya termasuk tinggi.
Faktor perilaku sadar pandemi masyarakat diduga sebagai penyebabnya.
Gutomo Bayu Aji
Peneliti Pusat Penelitian Kependudukan LIPI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Statistik Covid-19 di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) memperlihatkan kecenderungan yang berbeda dengan keadaan Jawa pada umumnya. Dengan tidak bermaksud mengabaikan panduan tes Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) serta apresiasi terhadap dua organisasi sukarela pengawal data Covid-19, Kawal Covid-19 dan Lapor Covid-19, data Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 bisa digunakan sebagai perhitungan sementara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berdasarkan data Gugus Tugas pada 20 Juli, misalnya, jumlah kasus positif Covid-19 di Yogyakarta sebanyak 438 orang atau 0,9 persen dari kasus di Jawa dan 0,5 persen kasus di Indonesia. Adapun jumlah orang yang meninggal sebanyak 12 (2,7 persen) atau 0,4 persen kematian di Jawa dan 0,3 persen kematian di Indonesia.
Jumlah kasus positif Covid-19 di Jawa mencapai angka tertinggi, lebih dari separuh kasus di seluruh Indonesia, sehingga disebut sebagai episentrum Indonesia. Berdasarkan data pada 20 Juli lalu, jumlah kasus positif di Jawa mencapai 50.398 orang atau 57 persen dari seluruh Indonesia, yaitu Jawa Timur sebanyak 18.545 kasus (21 persen), DKI Jakarta 16.899 (19,2 persen), Jawa Tengah 7.286 (8,3 persen), Jawa Barat 5.548 (6,3 persen), Banten 1.682 (1,9 persen), dan DIY 438 (0,5 persen). Sementara itu, jumlah yang meninggal mencapai 2.823 orang atau 67 persen dari kematian di seluruh Indonesia, yaitu Jawa Timur sebanyak 1.433 orang, DKI (745), Jawa Tengah (359), Jawa Barat (190), Banten (84), dan DIY (12).
Namun episentrum di Pulau Jawa sebenarnya tidak merata di seluruh daerah. Statistik Covid-19 di DIY yang rendah dibandingkan dengan lima provinsi lain di Jawa menunjukkan perkecualian itu. Bila statistik di Jawa dibedakan berdasarkan wilayah kota dan desa, ada kemungkinan jumlah kasus di kota lebih besar daripada di desa. Artinya, daerah perdesaan di Jawa, termasuk perdesaan di DIY, juga tidak memberikan kesan sebagai episentrum Covid-19.
Ada pandangan mengenai hubungan yang kuat antara wabah dan faktor demografis. Dua faktor demografis yang dianggap mempengaruhi peningkatan jumlah kasus di Jawa adalah kepadatan dan mobilitas penduduk. Selain karena Jawa dikenal sebagai pulau terpadat di dunia, kasus Covid-19 yang berubah menjadi bencana di ibu kota negara dan sekitarnya pada April lalu terjadi pada tingkat kepadatan penduduk yang sangat tinggi, yaitu 15.663 orang per kilometer persegi serta mobilitas penduduk yang juga sangat tinggi.
DKI Jakarta, sebagai episentrum pertama di Jawa, dikhawatirkan membawa implikasi ke seluruh pulau ketika menerapkan kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) dan terjadi eksodus besar-besaran, terutama di kelas bawah. Hasil penelitian Narasi dan Lotadata, berdasarkan data pergerakan telepon seluler pintar menjelang PSBB, menunjukkan peningkatan pergerakan yang signifikan dari DKI menuju lima daerah di Jawa, termasuk DIY.
Pada pertengahan April lalu, pergerakan orang dari DKI dan sekitarnya ke DIY terlihat meningkat sekitar 39 persen. Jumlah pemudik ke wilayah DIY yang dicatat oleh pemerintah daerah setempat selama April-Mei mencapai 85.876 orang dengan 1.433 orang di antaranya berasal dari zona merah Covid-19.
DIY memiliki kepadatan 1.174 orang per kilometer persegi atau lebih padat daripada Jawa Tengah (1.030 orang per kilometer) dan Jawa Timur (813 orang per kilometer). Dari sudut mobilitas penduduk, DIY juga telah lama disebut sebagai miniatur melting pot Indonesia, yang juga tidak lebih rendah dari provinsi lain di Jawa.
Wilayah DIY terhubung menjadi satu kesatuan dengan daerah lain di Jawa, bahkan secara global. Berdasarkan data pergerakan pada Juni 2019, misalnya, tercatat ada 290 penerbangan domestik dan internasional di daerah ini dengan jumlah penumpang 27.717 orang. Adapun jumlah wisatawan mencapai 4,1 juta orang dan pelajar-mahasiswa dari berbagai daerah mencapai lebih dari 300 ribu orang.
Dengan demikian, faktor kepadatan dan mobilitas penduduk yang relatif tinggi di DIY dibandingkan dengan lima provinsi lain di Jawa tidak sepenuhnya menjelaskan statistik Covid-19 yang rendah. Jika bukan faktor demografis, lantas faktor apa? Salah satu faktor yang layak ditinjau adalah perilaku sadar penduduknya.
Pada pertengahan Maret lalu, setelah muncul kegaduhan mengenai kebijakan Covid-19 di Jakarta, Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X tampil dengan “Sapa Aruh”. Sapanya kepada warga DIY begitu menyentuh hati warga di tengah kekacauan informasi mengenai pandemi, mengajak masyarakat untuk tetap eling lan waspada, meluluhkan arogansi kekuasaan politik, dan mengedepankan pendekatan budaya.
Laku kepemimpinan Sultan ini seperti menyirep kesadaran masyarakat. Aktivitas ekonomi masyarakat yang dianggap berisiko perlahan-lahan surut. Solidaritas sosial menguat hingga memecut kebangkitan perilaku sadar masyarakat di seluruh penjuru kota dan desa.
Perilaku sadar ini mungkin menjadi kunci penjelas statistik Covid-19 DIY yang rendah. Perilaku sadar ini harus diletakkan dalam pemahaman bahwa disiplin dan kepatuhan masyarakat terhadap protokol kesehatan selama masa pandemi serta kebangkitan solidaritas sosial terjadi sebagai respons terhadap kepemimpinan atasannya yang senantiasa mengirim pesan kebijakan soal Covid-19 melalui pendekatan budaya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo