Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Di Papua kini muncul kontroversi mengenai revisi Undang-Undang Otonomi Khusus Papua versus penolakan terhadap otonomi khusus jilid dua.
Jakarta dan Papua saling lempar kesalahan dalam penyelenggaraan otonomi selama 20 tahun.
Sejumlah langkah harus dilakukan untuk memperbaiki hal tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Frans Maniagasi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Anggota Tim Asistensi RUU Otonomi Khusus Papua
Di Papua kini muncul kontroversi mengenai revisi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Papua versus penolakan terhadap otonomi khusus jilid dua. Jakarta dan Papua saling lempar kesalahan dalam hal penyelenggaraan otonomi selama 20 tahun. Ada penggiringan opini bahwa otonomi gagal dan isu referendum dikapitalisasi untuk menutupi kesalahan akibat inkonsistensi dalam penyelenggaraan otonomi tersebut.
Undang-undang itu mengandung sifat substantif dan simbolis. Ada empat faktor mendasar dari sifat substantifnya, yakni kesenjangan sosial, budaya, dan ekonomi antara orang asli Papua dan pendatang; kesenjangan pembangunan antara Papua dan wilayah-wilayah lain di Indonesia; pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan aparat keamanan; serta klarifikasi sejarah “penyatuan” Papua ke dalam Republik Indonesia. Dua faktor terakhir mewajibkan pemerintah membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.
Adapun yang sifatnya simbolis dan sering menjadi lambang perlawanan dalam demonstrasi mahasiswa serta masyarakat Papua, terutama yang menuntut Papua merdeka, seperti Bintang Kejora. Hal ini memicu kekerasan dari pihak keamanan terhadap para demonstran, padahal hal-hal simbolis ini telah diakomodasi dalam undang-undang tersebut.
Setelah hampir 20 tahun otonomi khusus berjalan, kewenangan khusus dalam Undang-Undang Otonomi Khusus Papua tidak pernah dijabarkan, padahal inilah “jantung” otonomi khusus. Kewenangan itu mengatur relasi serta kewenangan antara pemerintah provinsi dan kabupaten/kota, juga korelasi penyelenggaraan pemerintahan antara pemerintah pusat dan provinsi. Tidak ada inisiatif dari pemerintah pusat untuk mewujudkan pendelegasian kewenangan ke Provinsi Papua dan Papua Barat.
Peraturan daerah khusus dan peraturan daerah provinsi yang diatur dalam undang-undang itu masih sangat terbatas atau belum disusun. Kewenangan khusus itu berpengaruh pula terhadap pembentukan pengadilan hak asasi, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, serta Komisi Hukum Ad Hoc. Inisiasi pembentukan institusi-institusi otonomi khusus tersebut semestinya berasal dari Papua dan pusat.
Selain itu, tak semua peraturan tersebut dapat dilaksanakan secara efektif. Misalnya, pada 2008, peraturan daerah Provinsi Papua tentang kependudukan yang berupaya mengontrol masuknya migran sama sekali tidak dapat dilaksanakan. Komisi Hukum Ad Hoc hingga saat ini belum dibentuk di kedua provinsi itu walaupun perannya sangat besar demi mempercepat pembentukan produk-produk hukum.
Penyaluran dana otonomi khusus telah dilakukan sejak 2001. Namun Papua masih sangat bergantung pada sumber-sumber dana dari pusat, sesuatu yang ironis apabila ditinjau dari status otonomi khusus. Pendapatan asli daerah (PAD) kedua provinsi itu tidak banyak mengalami perubahan berarti. Keduanya belum memanfaatkan peluang bisnis di daerah, misalnya melalui keterlibatan badan usaha milik daerah dalam pengelolaan sumber daya alam.
Penyelesaian kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia, yang menjadi wewenang dan tugas pemerintah pusat, pun belum juga dituntaskan. Terakhir, kasus Paniai macet di tengah jalan ketika Kejaksaan Agung mengembalikan laporan dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia pada Maret lalu. Pemerintah pusat dan Papua juga tak berupaya membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.
Dengan demikian, ada beberapa hal yang perlu dilakukan. Pertama, pemerintah mengevaluasi secara menyeluruh penyelenggaraan otonomi khusus sehingga dapat diketahui di mana letak sukses atau tidaknya. Kedua, untuk itu, perlu dibentuk satu tim independen yang mengkaji aspek yuridis undang-undang tersebut serta evaluasi pelaksanaan di tiga bidang prioritas, yakni pendidikan, kesehatan, dan ekonomi rakyat.
Ketiga, amendemen pasal-pasal tertentu saja, sehingga tak mengubah hal-hal substantif yang menjadi marwah undang-undang itu. Keempat, penyaluran dan pemanfaatan dana otonomi khusus sebaiknya dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dengan nomenklatur dana afirmasi Papua dan Papua Barat. Dana itu disalurkan sesuai dengan program yang telah disepakati, serta pemerintah pusat ikut mengawasi dan mengontrolnya agar tepat sasaran.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo